(Revisi)
Merasa akhirnya bebas dari ikatan pernikahan dengan Elsa, wanita pilihan orangtuanya, Edward, berniat menata ulang hidupnya dan membangun rumah tangga bersama Lily, sang kekasih.
Namun tanpa disadari saat tangannya menggoreskan tandatangan di atas surat cerai, bukan sekedar perpisahan dengan Elsa yang harus dihadapi Edward tapi sederetan nasib sial yang tidak berhenti merudungnya.
Tidak hanya kehilangan pekerjaan sebagai dokter dan dicabut dari wasiat orangtuanya, Edward mendadak jadi pria impoten padahal hasil pemeriksaan dokter, dirinya baik-baik saja.
Ternyata hanya Elsa yang mampu mengembalikan Edward menjadi pria sejati tapi sayangnya wanita yang sudah terlanjur sakit hati dengan Edward, memutuskan untuk menikah kembali dengan Erwin, adik iparnya.
Apakah Edward akan memaksa Elsa kembali padanya atau memutuskan tetap menjadi pria mandul dan menikahi Lily ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Permintaan Maaf
Entah sudah berapa kali Edward menghela nafassambil memijat pelipisnya di dalam lift.
Sudah 2 minggu ini sakit kepala menderanya sampai-sampai ia harus mengurangi jumlah pasien yang diterimanya setiap kali praktek.
“Perlu saya antar ke apartemen, dokter ?” tanya Fahmi saat mereka sama-sama keluar di lantai dasar.
“Tidak usah, aku masih bisa sendiri. Tolong atur janji secepatnya dengan dokter spesialis yang kamu bilang, kalau perlu aku ingin cuti satu hari. Rasanya aku butuh istirahat total.”
“Baik dokter, akan saya jadwalkan di minggu depan.”
Keduanya berpisah di depan lobi karena Fahmi ke arah parkiran motor sedangkan Edward menuju parkiran mobil khusus dokter.
“Apa kabar Ed ?”
Edward terkejut melihat Lily sudah berdiri di samping mobilnya. Sudah 5 hari mereka tidak saling berkomunikasi dan Edward tidak berusaha membujuk kekasihnya itu seperti biasa karena begitu banyak masalah yang harus dibereskannya satu persatu.
“Maafkan aku yang terlalu emosi malam itu.” Bukan hanya mendekat, Lily langsung memeluk Edward dan menyandarkan kepalanya di dada pria itu.
“Maafkan aku, jangan mendiamkan aku lagi.”
Edward bergeming sambil menghela nafas, tangannya belum membalas pelukan Lily.
Beberapa hari yang lalu Edward sudah bertanya langsung pada daddy Robert tentang masalah Lily yang dikeluarkan mendadak dan hanya diberi waktu 3 hari untuk hengkang dari rumah sakit.
“Apa kamu sudah melamar dia untuk menjadi istrimu ?”
“Belum,” Edward menggeleng sambil mengerutkan dahi.
“Apa kamu tahu kalau dia semakin menggila setelah Elsa pergi ? Belum dilamar apalagi menjadi istrimu, dia sudah yakin pasti menjadi menantu keluarga Hartawan dan semena-mena pada para dokter magang dan ners di sini. Kamu yakin akan menikahi perempuan semacam itu ?”
Kecupan bibir Elsa di pipinya membuat lamunan Edward terputus, ia pun menatap wanita yang sangat dicintainya itu dengan wajah sendu.
“Ed, I’m so so so sorry. Aku benar-benar janji tidak akan mengulanginya lagi.”
“Kenapa kamu jadi mudah emosi padahal Elsa sudah tidak ada lagi bahkan aku tidak pernah menyinggung masalah dia di depanmu.”
“Ed, kamu keberatan aku cemburu ? Perempuan mana yang tidak langsung gelap mata melihat noda lipstik dan kemerahan di tubuh calon suaminya ?”
“Kamu tidak percaya kalau aku tidak selingkuh.”
“Maafkan aku, Ed, aku percaya padamu. Aku yakin penyebabnya bukan karena kamu berniat selingkuh dariku. Aku percaya kamu adalah pria jujur yang hanya mencintaiku.”
Lily tersenyum manis, tangannya sudah melingkar dan bergelayut di leher Edward lalu dengan berjinjit ia pun memulai aksi rayuan yang selalu membuat Edward langsung luluh.
Lili langsung memagut bibir Edward tapi pria itu tidak membalasnya hingga Lily melepaskan ciumannya dan menatap Edward dengan dahi berkerut.
“Aku antar kamu pulang sekarang.” Edward melewati Lily dan masuk ke dalam mobilnya.
Tidak lama Edward melajukan mobilnya meninggalkan parkiran rumah sakit.
“Ed, ada masalah apa di rumah sakit atau dengan orangtuamu ? Apa mereka masih memaksamu soal gadis kampung itu ?”
Edward menggeleng sambil tersenyum tipis, entah kenapa hatinya mulai tidak nyaman setiap kali Lily menyebut Elsa dengan sebutan gadis kampung.
“Sepertinya aku perlu menyesuaikan diri untuk menggantikan posisi daddy. Tidak mudah jadi dokter sekaligus pimpinan rumah sakit.”
“Semuanya butuh waktu, Ed, aku yakin kamu pasti bisa begitu juga dengan daddy Robert . Aku akan selalu mendukungmu, Ed. Kita akan menghadapi semua masalah ini sama-sama, berbagilah bebanmu padaku.”
“Kamu sendiri sudah punya rencana apa ?”
“Seperti yang sudah kubilang padamu, Ed. Aku akan membuka praktek di rumah saja supaya bisa punya lebih banyak waktu untuk mendampingimu, tidak terikat dengan jadwal rumah sakit yang padat.”
“Tidak berminat untuk menjadi dokter spesialis ?” Lily menggeleng.
Tangannya merangkul lengan Edward yang sedang mengemudi dan menyandarkan kepalanya di bahu pria itu.
“Aku akan belajar jadi spesialis istri saja, Ed. Aku ingin menjadi istri yang membuatmu bahagia seperti mommy Silvia.”
Edward kembali tersenyum dan mengangguk-anggukan kepala.
“Sudah ada rencana akan praktek dimana ?” Lily melepaskan pelukannya dan mengangguk-angguk sambil tersenyum sumringah.
“Aku sudah menemukan rumah yang bisa dipakai sebagai tempat praktek juga. Lokasinya sangat strategis dan tidak jauh dari rumah sakit.” Edward melirik sekilas dengan dahi berkerut.
“Rumah itu bisa kita jadikan tempat tinggal setelah kita menikah dan aku sengaja memilihnya supaya kamu tidak perlu menyetir jauh setiap hari. Aku juga sudah membayangkan bisa sekali-sekali datang membawakanmu makan siang atau menjadi penyemangat sebelum kamu melakukan operasi.”
Wajah Lily berbinar sambil membayangkan semua rencananya sampai tidak memperhatikan ekspresi Edward yang bereaksi sebaliknya.
“Bukannya rumah di sekitar sini besar-besar dan harganya bisa dibilang mahal ?”
Lily tertawa. “Aku bukan perempuan materialistis, Ed jadi jangan khawatir, rumah yang aku pilih sesuai kebutuhan dan kantongmu. Apa kamu ada waktu untuk melihatnya bersamaku besok atau lusa ? Agensinya bilang sudah ada beberapa orang yang berminat jadi aku tidak mau keduluan. Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan rumah itu, Ed, tapi tidak sebesar cintaku padamu.”
Edward tersenyum tipis saat Lily kembali menggombal sambil mencium pipinya.
“Aku akan pastikan dulu jadwalku. Besok terlalu mendadak, mungkin lusa atau 2 hari lagi.”
Tidak lama mobil berhenti di tempat kost Lily yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit.
Bangunan 3 lantai yang cukup mewah untuk ukuran rumah kost dengan biaya sewa yang cukup menguras kantong adalah pilihan Edward.
Tentu saja Lily tidak akan menolaknya karena semua biayanya ditanggung oleh Edward.
Edward bilang ia tenang menempatkan Lily di situ karena selain homogen, penghuninya kebanyakan dokter-dokter muda yang sedang menjalani koas atau magang di rumah sakit milik keluarga Hartawan.
Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengantar Lily sampai ke depan gerbang tapi kali ini tidak ada tanda-tanda pria itu akan memberikan kecupan singkat sebelum pergi.
“Ed.”
Edward yang sudah siap-siap berbalik badan kembali menoleh. Matanya membola saat Lily menghambur ke dalam pelukannya.
“Terima kasih karena kamu sudah begitu baik padaku. Aku janji akan membalas semua cintamu itu setelah kita menikah nanti. Aku janji akan menjadi istri yang baik dan selalu ada untukmu.”
Satu tangan Edward menepuk-nepuk bahu Lily tapi tangan lainnya tidak memeluk kekasihnya.
“Istirahatlah. Besok aku mengabarkanmu.”
Meski merasa sedikit aneh dengan sikap Edward, Lily menurut dan melambaikan tangan saat pria itu sudah di dalam mobil.
Aku yakin kamu sedang galau karena kedua orangtuamu yang menyebalkan itu. Tidak akan aku beri celah untuk mereka meracuni pikiranmu Edward ! Aku akan membuatmu terikat padaku seumur hidup, batin Lily sambil tersenyum smirk.
Sampai di apartemen, Edward tidak menunda lagi untuk membersihkan diri. Tubuhnya sangat lelah tapi bukan kebiasaannya tidur di ranjang tanpa mandi apalagi selesai bekerja di rumah sakit.
Alisnya menaut saat membuka lemari pakaian dan melihat isinya banyak yang berkurang. Kaos favorit yang biasa dipakai untuk tidur tidak ada satupun di tumpukan padahal Edward punya 5 potong hanya beda warna dan motif.
Edward menghela nafas panjang saat teringat kalau sudah lama ia tidak menyentuh yang namanya mesin cuci. Selama ini ada Elsa yang mengurus semua keperluannya bahkan merapikan pakaian Edward sampai kembali lagi di lemari.
Sudah 2 minggu wanita itu tidak lagi menjadi penghuni di sini membuat Edward sampai harus memanggil jasa kebersihan karena tidak ada waktu untuk merapikannya sendiri tapi lupa mengurus pakaian kotornya.
Tidak bisa dipungkiri kalau seminggu terakhir ini, pikirannya sering tiba-tiba terusik dengan ingatan akan Elsa, istri yang tidak pernah dianggapnya tapi tanpa sadar membuat hidup Edward baik-baik saja.