Dealova, gadis cantik dengan segala kesedihannya. Dipaksa menjadi orang sempurna membuat Lova tumbuh menjadi gadis yang kuat. Dia tetap berdiri saat masalah datang bertubi-tubi menghantamnya. Namun, sayangnya penyakit mematikan yang menyerang tubuhnya membuat Lova nyaris menyerah detik itu juga. Fakta itulah yang sulit Lova terima karena selama ini dia sudah menyusun masa depannya, tapi hancur dalam hitungan detik.
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Esok harinya, Lova masuk sekolah seperti biasa. Dia benar-benar menginap di apartemen Aksa kemarin. Yang lebih ekstrim lagi, mereka tidur 1 ranjang. Tentu saja Aksa yang memaksa.
Wajah Lova terlihat lesu tak bersemangat. Tapi Aksa tak menghiraukan dan lebih memilih pura-pura tidak tau. Pria tampan itu sedang memasak sarapan untuk pujaan hatinya.
"Saya juga bawa bekal untuk kamu. Mulai sekarang, kamu gak boleh makan di kantin lagi," ucap Aksa.
"Bapak boleh paksa saya tinggal di sini, tapi tolong, jangan atur-atur saya, bisa?"
Karena sudah muak, jadilah Lova melawan. Dia tak mau terus-terusan diatur ini itu. Pemilik tubuhnya adalah dirinya sendiri, bukan Aksa ataupun orang lain.
Lova duduk di kursi pantry, sedangkan Aksa sedang memasak.
"Kamu berani melawan saya?"
Dari nada bicaranya saja sudah terdengar tak enak.
"Bapak gak pernah mikirin perasaan saya. Saya juga manusia, Pak!"
"Tapi, sekarang kamu sudah menjadi milik saya, Lova. Jadi, kamu harus patuh sama saya," balas Aksa. Dia berusaha untuk tidak emosi dan terus melanjutkan kegiatannya tanpa menoleh ke arah Lova.
"Nggak mau!" Lova berdiri dan hendak beranjak dari duduknya, namun, ucapan Aksa berhasil menghentikan Lova.
"Kalau kamu berani melangkah, saya gak segan-segan menghancurkan hidup kamu. Kamu lupa? Saya tau semua tentang kamu." Aksa berbalik menatap punggung Lova yang terdiam.
"So, saya tekankan lagi, jangan pernah membantah. Kalau kamu nurut, maka saya juga akan baik sama kamu," lanjutnya.
Lova mengepalkan tangannya kuat-kuat. Lihat, dia kalah lagi.
Dengan rasa terpaksa, Lova kembali duduk di kursinya. Sedangkan Aksa tersenyum puas melihat Lova patuh padanya, ya meskipun harus diancam dulu.
****
Kai menggeram frustasi saat ponsel adiknya tak bisa dihubungi. Dia sudah kembali bekerja dan tak bisa pulang karena jadwalnya cukup padat. Jadi, Kai tidak bisa melihat Lova dan menjaganya.
"Kenapa hp nya gak aktif?" kesalnya. Bohong kalau dia tidak khawatir. Lova adalah berlian baginya dan harus dijaga sebaik mungkin, walupun kadang dia lalai.
"Kenapa?"
Kalyana, wanita cantik itu hari ini datang ke rumah sakit tempat kakaknya bertugas.
"Ngapain ke sini?" Kai malah balik bertanya sembari menatap adiknya yang berdiri di ambang pintu.
"Gak boleh? Ini kan rumah sakit keluarga gue juga," jawab Kalya seraya menutup pintu.
"Kenapa, sih? Lo ada masalah?" lanjutnya.
"Hp Lova gak aktif, gue khawatir kalau papa apa-apain dia lagi," jawab Kai. Dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, jemarinya memijat pelipisnya yang berdenyut.
"Papa sama mama lagi di luar kota kalau lo lupa," ujar Kalya.
Wanita dengan kemeja biru muda itu memilih duduk di sofa yang ada di ruangan kakaknya.
"Luar kota?" Kening Kai mengerut.
"Iya. Jangan bilang lo gak tau?" Kalya menghela nafas.
Memang benar, Kai tidak tau kalau kedua orang tuanya ada di luar kota. Lalu, Lova bagaimana?
"Terus, Lova sama siapa?"
"Ya sama pembantu lah, pake nanya!" ketus Kalya, dia malas sekali jika membahas tentang Lova.
Kai menghela nafas berat. Ia tau kalau Lova tidak akan macam-macam seperti remaja lainnya, tapi tetap saja Kai khawatir.
"Udahlah gak usah dipikirin. Dia udah dewasa, bisa jaga diri kali," ucap Kalya.
"Dia cewek, mana bisa gue diem aja kayak gini?" kesal Kai.
"Gue juga cewek, kenapa lo gak se khawatir itu kalau sama gue? Adek lo bukan cuma Lova!" Kalya mengeluarkan unek-uneknya.
"Na, gue kayak gini karena Lova itu masih anak sekolah. Lo tau sendiri dia gak punya teman," jelas Kai berusaha membuat Kalyana paham.
Wajah Kalya tertekuk. Dia tak puas dengan jawaban kakaknya. Kalaupun karena masih sekolah, kenapa dulu dia tak diperhatikan seperti itu juga?
"Lo aja yang pilih kasih! Gue jadi makin gak suka sama tuh cewek!" ketusnya.
****
"Lova, kiw kiw..."
Gibran, Venus beserta antek-antek mereka datang menghampiri Lova yang sedang duduk santai di bangku yang ada di pinggir lapangan.
"Kalian mau tawuran apa gimana? Segala bawa rombongan," cibir Lova.
"Iya, mau tawuran di hati lo," jawab Venus menggoda.
"Eakkk!" Yang lain menyahuti.
"Dih! Gak jelas lo!" ketus Lova.
"Nih, gue bawain coklat buat lo." Venus menyodorkan sebuah coklat pada Lova.
"Cie elah!" cibir Gibran.
"Apa? Lo iri gak gue kasih coklat? Sorry ye, gue masih normal!" ucap Venus.
"Nih ambil, Va!" lanjutnya masih menunggu Lova mengambil.
"Kasih Gibran aja, tuh! Gue lagi diet!"
"Lah, bisa gitu? Niat gue tuh ngasih elo, bukan si pantat cacing!"
Lova memutar bola matanya. Dengan malas dia mengambil coklat tersebut.
"Seenak jidat lo ngatain gue pantat cacing!" sahut Gibran tak terima.
"Mending kalian pergi aja kalau mau ribut doang! Hus hus!" usir Lova sambil mengibaskan tangannya. Telinganya sakit mendengar perdebatan keduanya.
"Nggak. Gue mau nemenin lo aja!" balas Venus, bersiap untuk duduk di sebelah Lova, namun Lova cepat-cepat mendorong tubuh tinggi itu.
"Pergi sana! Gue mau sendiri!"
"Udahlah kita cabut aja. Pas banget gue lagi laper, mending kita ke kantin aja!" sahut Guntur, salah satu teman Gibran dan Venus.
"Yeee, dasar perut karet!" kesal Venus.
"Sana pergi! Btw thanks coklatnya!" ucap Lova.
Karena sudah di usir, Venus dan kawan-kawan memilih segera pergi dari sana. Takut tiba-tiba Lova ngamuk.
Sebenarnya, bukan tanpa alasan Lova mengusir mereka. Tadi dia melihat Aksa yang berdiri di pinggir koridor sambil memperhatikannya, jangan lupa tatapannya yang setajam silet. Dari jauh saja kelihatan seram, apalagi kalau didekati.
****
Saat jam pelajaran sedang berlangsung, Lova izin ke toilet karena dia merasa mual. Badannya juga terasa hangat. Padahal tadi dia tidak apa-apa.
Dan sekarang, Lova sedang bersimpuh di depan kloset untuk memuntahkan isi perutnya. Wajahnya bahkan sudah pucat.
Nafas Lova terengah-engah. Dia mengusap bibirnya, lalu berdiri dan membasuh wajah dan juga kumur-kumur, setelahnya dia mengusap wajahnya dengan tisu kering.
"Maag lagi?" gumamnya bertanya-tanya.
Tiba-tiba, seseorang masuk dan langsung mengunci pintu hingga membuat Lova menoleh dengan cepat.
"Pak Aksa?"
Aksara menatap tajam Lova.
"Kamu berani dekat dengan laki-laki lain?" tanyanya langsung. Dia juga berjalan mendekati Lova sampai si gadis menempel di dinding. Sebelah tangannya menempel dinding, mengurung Lova.
"N-nggak..." Mata Lova sudah berkaca-kaca, menatap kecewa ke arah Aksa.
"Saya punya mata, Lova," desis Aksa. "Kamu hanya milik saya, jangan berani-beraninya kamu dekat dengan lelaki lain selain saya!"
"T-tapi, mereka teman saya, Pak..."
Tentu Lova tau siapa yang dimaksud Aksa.
"Saya gak peduli mereka teman kamu atau bukan, yang perlu kamu pahami adalah, jangan dekat-dekat lelaki manapun, paham?"
Lova mengusap wajahnya dengan kasar, dengan berani, Lova menatap tajam Aksa.
"Itu hak saya! Bapak gak seharusnya ngatur-ngatur kayak gini! Saya capek!" tekan Lova.
Sungguh, dia tak ingin selalu diatur. Lova hanya ingin hidup tanpa diatur dan dipaksa ini itu.
"Oh, kamu membantah saya?" Aksa tersenyum miring.
"Kenapa? Bapak mau ancam saya lagi? Iya?!"
Aksa mengangguk berkali-kali, senyum miringnya tak luntur sedikitpun menambah kesan menyeramkan.
"Kalau begitu, saya akan membuat perhitungan sama mereka, supaya gak berani dekati kamu lagi. Bagaimana?"
Nafas Lova memburu. Marah? Jelas!
"Kenapa Bapak tega sama saya?! Saya capek, Pak! Saya pengen hidup tenang!" pekik Lova. Bodo amat kalau teriakannya didengar orang.
"Semuanya akan tenang kalau kamu menurut. Sesimpel itu, tapi kamu gak bisa melakukannya," balas Aksa dengan santai.
Bugh! Bugh! Bugh! Lova memukuli dada Aksa dengan keras.
"JAHAT!!"
Aksa membiarkan Lova memukuli dadanya, dia tau Lova butuh pelampiasan saat ini. Ia tau, sejak lama Lova memendam rasa kesalnya.
"Kenapa saya harus ketemu sama manusia kayak Bapak?! Harusnya kita gak pernah ketemu!" Lova menangis sambil terus memukul dada Aksara. Isak tangisnya terdengar memilukan.
Hingga beberapa detik kemudian, tiba-tiba tubuh gadis itu ambruk dalam pelukannya membuat Aksa kebingungan. Untung saja tangannya sigap mendekap Lova agar tak terjatuh.
"Lova?" panggil Aksa sembari menepuk-nepuk pipi Lova. Wajahnya terlihat khawatir meskipun tak terlalu nampak.
"Shit!"
Saat menyadari Lova pingsan, Aksa segera menggendongnya dan membawanya keluar dari ruangan sempit itu.
***
up up up! CRAZY UP!
oiya janlup up ya kak