“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mau berapa lama memeluk Jihan?
Fathi masih setia menatap tajam pada istri barunya, termasuk Jihan yang membalas tatapan suaminya dengan sorot yang tajam pula. Tengkuk Jihan masih dipegang oleh Fathi, jika orang luar melihat adegan saat ini seperti Fathi ingin mencium Jihan, namun itu tak akan terjadi.
Dalam beberapa menit di antara mereka berdua tidak ada yang mau mengalah untuk memaling pandangan, deru napas mereka saja saling berpacu dengan cepatnya seakan sedang menahan emosi yang menyergap di hati mereka masing-masing. Namun, tak selang berapa lama tangisan Ezra begitu kencang di luar ruang kerja Fathi, kemudian terdengarlah suara ketukan pintu.
“Mau sampai berapa lama Om Dokter mencekal tengkuk Jihan ini? Atau jangan-jangan sudah mulai tertarik melihat wajah Jihan yang cantik ini?” tanya Jihan dengan tenangnya.
Pria itu mencebik lalu mengembuskan napasnya dengan kasar. “Kamu bilang aku mulai tertarik dengan wajahmu! Jangan berharap Jihan, wajah kakakmu yang paling cantik dan membuat aku jatuh cinta hingga sekarang!”
“Oh baguslah kalau begitu, jangan sampai Om Dokter jatuh cinta sama Jihan, nanti jadi sakit hati,” jawab Jihan santai, tapi tubuhnya tiba-tiba dihentakan oleh Fathi hingga membentur tubuh suaminya, gadis itu luar biasa terkesiap, wajahnya pun kembali mendongak menatap suaminya. Sementara suara tangisan Ezra semakin nyaring di luar sana, sekaligus suara orang memanggil.
“Katanya tidak sudi menyentuh tubuh Jihan. Tapi lihatlah kenapa Om Dokter memeluk Jihan? Apa sejak tadi telinga Jihan salah dengar?”
Wajah Fathi mengeram mendengar kata Jihan barusan, tapi dibalik sorot matanya yang tajam ada saliva yang susah ditelan oleh tenggorokan Fathi di saat dia menatap iris mata Jihan yang berwarna hazelnut, ditambah bulu mata yang panjang dan lentik. Baru kali ini Fathi melihat jelas sorot mata yang indah tersebut. Hey kemana saja selama sembilan tahun berumah tangga dengan Embun! Itu tandanya Fathi tidak pernah main hati.
“Permisi Pak, ada Non Jihan, kah?” suara orang bertanya terdengar jelas dibalik pintu ruang kerja.
“Ya, Mbak tunggu sebentar!” jawab Jihan agak berteriak, sembari menatap pintu lalu kembali menatap Fathi.
“Mau berapa lama memeluk Jihan? Apa Om Dokter tidak dengar anaknya menangis kencang seperti itu?”
Fathi sejak tadi mendengar jelas anaknya menangis kencang, tapi merasa urusannya belum selesai dengan Jihan maka dia biarkan saja.
“Dasar papa yang egois! yang hanya mementingkan urusannya! Apa tidak dengar tangisan Ezra begitu kencangnya!” seru Jihan meninggikan suaranya dan dengan terpaksa Fathi melepaskan Jihan. Bergegaslah Jihan keluar dari kungkungan Fathi dengan membawa segenap rasa kecewa dan kesalnya.
“Urusan kita belum selesai Jihan!” ucap Fathi agak meninggi suaranya. Jihan yang baru saja mengampai handle pintu, berhenti sejenak lalu menatap daun pintu tersebut.
“Ya urusan kita tidak akan pernah selesai, kecuali kita bercerai. Jihan tunggu di saat Om Dokter menceraikan Jihan!” jawab Jihan dengan lantangnya, lalu meraih handle pintu tersebut.
“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikanmu, Jihan!” balas Fathi.
Jihan hanya menyunggingkan senyum miringnya lalu bergerak membuka pintu, dan keluar tanpa menoleh wajahnya ke belakang.
“Shit!” umpat Fathi kesal sendiri setelah berbicara dengan Jihan.
Jihan yang sudah keluar dari ruang kerja, langsung meraih tubuh keponakannya yang sejak tadi menangis.
“Habis bangun langsung cari Non, eh lama-lama Ezra nangis, sudah saya coba tenangi gak bisa juga,” lapor Ita si baby sitter.
“Cup ... cup anak Tante kok nangis. Dede mau cucu?” tanya Jihan sembari mengusap air mata yang ada di pipi bocah ganteng tersebut.
“Cu-cu ante,” jawab Ezra masih dalam keadaan sesegukan.
“Minta cucu aja sampai cari Tante, ya udah Tante bikinin cucu ya, jangan nangis lagi ya Sayang,” pinta Jihan dengan lembutnya, dikecuplah pipi tembem Ezra berulang kali hingga tangisan Ezra berubah menjadi tawaan yang renyah. Dan diam-diam dibalik pintu ada yang mengintip, sesekali pria itu menarik napas panjang.
Kasih sayang Jihan pada Ezra memang seperti seorang ibu kandung, yang datang begitu saja sejak Ezra dilahirkan. Di awali Jihan yang suka dengan anak kecil, maka naluri keibuannya keluar begitu saja tanpa harus berpura-pura.
Inilah mengapa kedua orang tua Jihan dan Fathi menginginkan mereka menikah karena demi tumbuh kembang Ezra, walau buat mereka berdua pernikahan ini sangatlah menyakitkan, terutama Jihan. Sanggupkah Jihan bertahan dalam pernikahannya? Atau justru Fathi yang tak mampu bertahan?
Malam pun tiba ...
Bik Murni dibantu Ita sedang menyajikan makan malam untuk majikannya, sementara Jihan sedang bersama Ezra di ruang keluarga menikmati channel coco melon di televisi. Pria itu keluar dari ruang kerjanya dengan raut wajahnya yang masam menuju meja makan. Dan Bik Murni bergegas menyiapkan makan malam buat majikannya tersebut seperti biasa. Sebenarnya Bik Murni kali ini agak segan untuk melayani Fathi di meja makan mengingat Jihan sudah jadi istri majikannya, tapi melihat Jihan tidak turut ke meja makan akhirnya memilih melakukan seperti hari-hari sebelumnya.
Entah sengaja atau tidaknya, Fathi memilih kursi yang menghadap ke ruang keluarga, jadi bisa melihat interaksi Jihan yang bersama anaknya.
Di atas meja sudah tersedia piring yang kosong, sepertinya Bik Murni sudah siapkan untuk Jihan.
“Suruh dia makan, Bik,” pinta Fathi dengan ekspresi datarnya.
“Dia siapa ya Pak?” tanya Bik Murni yang merasa ambigu dengan permintaan majikannya. Fathi hanya mengerakkan dagunya ke arah ruang keluarga dan Bik Murni langsung paham.
“Baik Pak.” Bik Murni bergegas menghampiri Jihan.
“Non Jihan, diminta Bapak untuk makan malam,” ucap Bik Murni.
Jihan mendongakkan wajahnya, lalu menolehkan wajahnya ke belakang bahu. “Makasih Bik, suruh saja Bapaknya makan duluan, lagian mana etis baby sitter makan bareng sama majikannya,” jawab Jihan sembari tersenyum tipis, lalu kembali bermain dengan Ezra. Perut Jihan memang lapar tapi dia enggan makan satu meja dengan suaminya, lagi pula bukankah suaminya mengatakan jika posisi dia bukanlah istri di rumah suaminya melainkan sebagai baby sitter.
Bik Murni agak terkejut dengan jawaban Jihan, apa mau dikata wanita paruh baya itu, akan tetapi tetap menyampaikan pesan dari Jihan.
“Maaf Pak, kata Non Jihan ... dia akan makan nanti. Bapak duluan saja,” lapor Bik Murni saat kembali mendekati meja makan, mau sebut kata baby sitternya seperti kata Jihan tidak jadi.
Fathi tidak berkata lagi dan kini fokus dengan menikmati santapan makan malamnya dengan hati yang kesal. Pikir dia masih untung berbaik hati mengajak istrinya makan malam bersama, tapi rupanya ditolak secara halus.
“Ck ...!” berdecak kesallah Fathi tanpa sebab.
Sekitar setengah jam kemudian Fathi sudah menyelesaikan makan malamnya, lalu dia bergerak ke ruang keluarga dan duduk di samping Ezra yang tampak sibuk dengan cemilan biskuitnya sembari nonton televisi, melihat kehadiran Fathi gadis itu pun beranjak dari duduknya.
“Ezra sama papa ya, Tante mau ke belakang, dan gak boleh nangis ya,” pinta Jihan, dan bocah kecil itu hanya mengangguk paham lalu bola mata kecilnya menatap papanya yang saat itu bertampak garang. Kenapa Om Dokter mau marah lagi sama Jihan?
Bersambung ... ✍🏻