Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Sementara itu di kamarnya.
"Apa yang kau lakukan pada mas Sigit? Dia kaka ku..!" Didit mengguncang tangan istrinya dengan kasar.
Rani yang terlanjur ketahuan tidak bisa mengelak.
Di tengah kebingungannya muncul ide nya.
Dia menutup pintu lalu tertawa terpingkal.
Didit semakin bingung di buatnya.
"Aku sedang marah, dan kau malah tertawa?" sergahnya.
"Bagaimana aku tidak tertawa, kau terlihat lucu sekali." Rani membelai pipi suaminya.
Didit menghempasnya dengan gusar.
"Iya, kau terlihat lucu karena menyangka aku benar-benar suka pada mas Sigit." jawab Rani.
Didit tidak mengerti.
"Aku tidak suka padanya, sebenarnya aku mendekati abangmu itu cuma karena uangnya.." Rani memainkan jarinya.
Didit menggeleng keras.
"Memang aku yang salah tidak melibatkan mu dalam rencana ku. Aku mau mas Sigit terperangkap rayuanku, setelah dia bertekuk lutut. kau tau apa yang akan terjadi? Kita bisa kuasai ;harta mas Sigit. Bisa kau bayangkan kalau aku sudah mendapatkannya? hidup kita akan lebih baik. Kau bisa membeli apapun yang kau mau tanpa harus mengemis dulu pada mas Sigit. Kau mengerti tidak?"
Didit mulai mengerti jalan pikiran istrinya.
Dia merasa kagum kepada Rani, selain cantik, dia juga punya otak yang pintar.
"Jadi ini rencananya? kau hanya pura-pura suka padanya?"
Rani mengangguk.
"Ooh, jadi begitu? Aku mendukungmu seratus persen."
"Iya, dan kau sudah menggagalkan usahaku yang hampir berhasil." jawab Rani jengkel.
'Ya, maaf sayang.. Salahmu sendiri tidak melibatkan aku dalam rencana mu." ucap Didit tersenyum.
Rani menarik nafas lega.
"Tapi ingat..! Tak seorangpun boleh tau tentang rencana kita, termasuk ibu." ucap Rani lagi.
Didit mengangguk pasti.
Tentu saja dia akan mendukung rencana Rani. kalau sudah menyangkut masalah uang, siapa sih yang bisa menolak?
Tapi yang sebenarnya terjadi, Rani merasa iri kepada nasib, May,. May lebih beruntung karena mendapatkan Sigit.
Sigit pria mandiri dan baik hati. Sedangkan Didit hanya anak manja yang masih bergantung pada keluarga. kalau di suruh memilih antara Sigit dan Didit, seribu kali dia akan memilih Sigit.
Tapi sayang, Tara hadir duluan sebelum mereka menikah, kalau tidak, mungkin tidak akan menjadi istri Didit saat ini.
Didit yang mata duitan, mendengar rencana istrinya langsung melupakan yang sudah terjadi. Justru dia memuji otak encer istrinya itu.
"Aku akan pura-pura minta maaf pada mas Sigit, dan aku bilang sedang mabok saat itu. Dia pasti memaafkan aku." ujar Rani dengan yakin.
Didit setuju.
Sementara itu Sigit yang merasa tidak enak hati menghampiri adiknya soer itu. Diapun belum memberitahu istrinya tentang masalah itu.
"Dit, aku mau minta maaf atas kejadian tadi pagi, semua yang terjadi tidak seperti yang lau lihat " Sigit merasa bersalah.
"Kau bicara apa, Mas,?aku sama sekali tidak marah, kok." jawab Didit acuh. Sigit menatap adiknya heran.
"Iya, aku tau Rani tidak bermaksud begitu. Saat itu dia sedang mabok." ujar Didit tersenyum.
Sigit merasa heran. kenapa Didit berubah begitu cepat. Jelas-jelas tadi pagi wajahnya sangat marah melihat kejadian itu.
"Tapi sudahlah. Ini lebih baik dari yang ku bayangkan." ucap Sigit dalam gati. Dia berusaha menganggap semua biasa saja. termasuk kepada Rani. Diapun bersikap biasa.
***
"Mas, tadi pagi kau terlihat aneh." aku mendekati suamiku yang sedang melototi kertas-kertas di hadapannya.
"Apa maksud mu? Tidak ada apa-apa." jawabnya masih fokus pada pekerjaan nya.
Walau merasa penasaran, aku berusaha diam. lalu kami mendengar kegaduhan di depan.
Saat kami lihat, Tara dan Bulan sedang menangis.
Mereka memperebutkan es krim di tangan Tara.
Ibu mertua terlihat melerainya. dia berhasil mendapatkan es krim itu dan memberikannya kepada Tara.
Tentu saja Bulan yang sudah berusia tiga tahun mengerti kalau di perlakukan tidak adil.
Dia menangis dan menghambur ke arahku.
Aku dan mas Sigit yang tiba di sana merasa kesal.
"Ada apa ini?" tanyaku gusar. Mataku menatap ibu mertua.
"Tara sedang makan es krim. tapi Bulan merebutnya..." jelas ibu mertua.
"Lalu ibu memberikannya kepada Tara?"
"Tentu saja, Bulan masih kecil. Dia belum boleh memakannya." ucapnya tenang.
"Ibu tau? Es krim itu punya Bulan. Bilal yang memberikannya... Darimana ibu tahu itu milik Tara?" jawabku sengit.
"Ooh, aku pikir itu milik Tara. Biasanya juga begitu. Sudahlah, jangan di perpanjang. Ibu minta maaf." jawabnya dengan enteng.
Dadaku bergemuruh melihat ketidak adilan itu.
Dan mas Sigit yang berdiri menyaksikannya tidak bicara sepatah katapun.
Bulan memang sudah melupakan es krimnya. Dia sudah kembali ceria dalam pangkuanku. tapi hatiku tidak bisa setenang Bulan.
Akan ku balas semua ini. Anak ku punya hak yang sama dengan Tara di rumah ini, bahkan mungkin lebih karena ayahnya adalah tulang punggung keluarga.
"Bulan sayang.., lihat ini, ibu bawakan apa?" aku sengaja membelikan anak ku es krim yang enak.
Dengan tingkah polosnya anak ku itu makan sambil belepotan. Aku biarkan Tara memandangi kami dengan air liurnya.
Tak tega juga rasanya melampiaskan amarah kepada anak sekecil itu.
"Tara mau?" tawarku.
Anak manja itu mengangguk.
Saat sudah ku ulurkan es krim itu. Aku tarik kembali.
"Bu Dhe akan memberikan es krim ini, tapi Tara janji jangan suka merebut apa yang menjadi milik adik Bulan, ya..!" nadaku terdengar kesal.
Gadis kecil itu mengangguk.
Setelah ku berikan es krim itu, Bulan dan Tara terlihat akur. Sebenarnya Tara anak baik. Tapi karena terlalu di manja sikapnya jadi egois.
Tapi suasana itu berubah runyam saat Rani datang.
"Lepas es krim itu. Ibu bisa belikan yang lebih enak dari itu..!" ucapnya dengan angkuh lalu merampas es krim itu dan melemparnya ke hadapanku.
Aku tertegun. Apanya yang salah hingga dia semarah itu.
"kau jangan pura-pura baik, May. Aku dengar sendiri sebelum memberikan es krim itu aku mengancam Tara dulu." ucapnya dengan nada keras.
"Mbak, jangan berteriak di depan mereka." ucapku masih berusaha tenang. Aku menyuruh Tara dan Bulan bermain di dalam.
"Apanya yang salah? Aku hanya menasehatinya agar tidak mengulanginya lagi." aku membela diri.
Tapi Rani terus ngotot menyudutkan ku.
Hingga ibu mertua turun tangan.
"Kapan ada kedamaian di rumah ini. Punya menantu baru dua saja sudah seribut ini...!" teriaknya keras.
"Makanya biarkan kami hidup mandiri..!" tanpa sadar aku dan Rani mengucapkan kalimat yang sama.
Ibu mertua terbelalak.
"Kalian?" dia mengarahkan telunjuknya kepada kami. Hingga datang bapak mertua dan ikut menghakimi.
"Semua gara-gara kau, May. Sebelum kehadiranmu di sini, Rani tidak pernah berani melawanku, apalagi bicara ingin mandiri. tidak pernah.." ucap ibu mertua menggeleng.
"Ya, kau pembawa sial, May. Seingat ku, sejak Sigit menikahi mu, tak sekalipun ada ketenangan di rumah ini. Ada saja masalah." timpal ayah mertua.
"Ayah dan ibu beranggapan begitu? kenapa tidak suruh saja mas Sigit memulangkan ku.." kali ini aku lupa batasanku sebagai seorang menantu.
"May...!" ibu mertua mengangkat tangannya. tapi saat itu mas Sigit masuk dan menegurnya.
"Ada apa ini?"
Aku tidak mau menjawabnya. Biar mereka yang menjelaskan semuanya.
"Ibu? tolong jelaskan kenapa kau mau menampar, May?" wajah mas Sigit sangat penasaran.
"Sejak kehadiran May di rumah ini semuanya berubah. Setiap hari ada saja ketegangan dan keributan."
"Ya, sebaiknya kau pikirkan ini baik-baik. Tidak baik mempertahankan wanita yang jelas-jelas membawa kericuhan." timpal ayah mertua.
"Apa? ayah bilang apa? Memangnya apa yang di lakukan oleh, May?"
Tatapan mas Sigit tajam ke arahku.
"Jelaskan, May. apa yang sudah kau lakukan hingga membuat orang tuaku sangat murka." bentak mas Sigit.
"Percuma aku jelaskan karena kau pasti membela keluargamu, Mas. Dan itu sudah sering terjadi." jawab ku tenang.
"Lihat..! Bagaimana pandainya istri mu itu membalik kan kan kata-kata." wanita yang bergelar ibu mertua itu menunjuk ku.
"May, jaga ucapanmu... Atau aku tidak bisa mentolelir kesalahan mu lagi."
"Tunggu apa lagi? Ceraikan dia..!" bapak mertua ikut mengipasi suasana yang sudah gerah.
Rani hanya terdiam, entah apa yang ada di pikirannya. Aku melihat ada senyuman samar di ujung bibirnya.
"Iya, Mas. Aku mohon maaf karena sudah terpengaruh hasutannya untuk melawan ibu.." ucap Rani terbata.
Bola mataku membesar. Bisa-bisanya dia memfitnahku seperti itu.
"Kau bohong, Mbak..!" teriak ku tak terima.
"Rani benar. May sudah menghasutnya untuk
minta pisah rumah. Kau tau itu tidak mungkin bagi ibu. Lebih baik ibu mati daripada melihat kalian tercerai berai." ucapnya menangis.
Dengan wajah berang mas Sigit menarik tanganku.
Dia membawaku ke kamar.
"Aku lelah menghadapi ini setiap saat. Tidak bisakah kau mengalah sedikit? Mereka orang tuaku?"
"Aku tau itu, dan maaf kalau aku tidak bisa menuruti kemauanmu. lepaskan aku, lalu tuntaskan bakti mu..!" ucapku tenang.
.Mas Sigit menggeleng.
"Bagaimanapun kau meminta, aku tidak akan pernah menceraikan mu.. kau dengar?" dia keluar sambil membanting pintu.
💞Hay readers tercinta..
Mohon dukungannya dong. Like kemen dan vote nya jangan lupa🙏