Kehidupan Elizah baik-baik saja sampai dia dipertemukan dengan sosok pria bernama Natta. Sebagai seorang gadis lajang pada umumnya Elizah mengidam-idamkan pernikahan mewah megah dan dihadiri banyak orang, tapi takdir berkata lain. Dia harus menikah dengan laki-laki yang tak dia sukai, bahkan hanya pernikahan siri dan juga Elizah harus menerima kenyataan ketika keluarganya membuangnya begitu saja. Menjalani pernikahan atas dasar cinta pun banyak rintangannya apalagi pernikahan tanpa disadari rasa cinta, apakah Elizah akan sanggup bertahan dengan pria yang tak dia suka? sementara di hatinya selama ini sudah terukir nama pria lain yang bahkan sudah berjanji untuk melamarnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melaheyko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ADIKNYA NATTA
🍃🍃🍃🍃
Menjelang pagi, Natta terbangun, seluruh tubuhnya sakit dan pegal-pegal karena tidur di sofa. Tapi, ketika dia melihat makanan di atas meja sudah bersih bersama bungkusannya. Ia mendadak merasa tenang. Bungkusan makanan itu sudah berpindah ke tempat sampah yang berada di dapur. Natta melirik pintu kamar itu, bergerak dan Elizah muncul dengan wajah tegang ketika melihatnya. Mereka saling bertatapan kemudian sama-sama membuang pandangan, mereka sangat canggung.
“Aku mau ke kamar kecil tapi kamar kecil di rumahmu ini kenapa tidak memiliki pintu?” tutur Elizah. Natta menggaruk pelipisnya.
“Aku hanya hidup sendirian, aku merasa tidak butuh pintu.” Natta bangkit dan Elizah menciut. Natta menutupi pintu kamar mandi dengan kain seadanya, Elizah menunggu dan tetap saja dia tak nyaman. Mana bisa dia melakukan hal bebas di dalam sana sementara pintunya hanya berupa kain.
“Nanti siang akan aku pasangi pintu,” kata Natta menyadari ketidaknyamanan istrinya.
Elizah berlalu tanpa membalas kata-katanya.
Setelah mandi dan salat, Elizah mengurung diri. Natta juga tak berniat untuk memanggilnya keluar. Setelah agak siang, Natta pergi untuk membeli beberapa barang dan makanan. Meninggalkan Elizah dan meninggalkan secarik kertas di atas meja.
Setelah Natta pergi, barulah Elizah keluar dan membaca pesan dari Natta.
“Banyak barang yang harus aku beli. Tetap di rumah sampai aku pulang, hubungi aku jika ada sesuatu”
Elizah meletakkan kertas itu, dia merasa tidak membutuhkannya.
Siang, Natta belum juga pulang. Elizah yang merasa tidak akan membutuhkannya sekarang sebaliknya. Elizah kemudian menelepon nomor ponsel yang ditulis Natta di kertas tadi. Tanpa menunggu lama, Natta mengangkat teleponnya.
Elizah bingung harus mengatakan apa, dia hanya diam membisu.
“Halo?” Suara tegas Natta membuat Elizah tersentak.
“Ini aku,” balas gadis itu lirih.
“Ada masalah?” ujar Natta dan Elizah menggigit bibirnya. “Halo, Elizah?”
“Hmmm, iya...anu-----”
Elizah sangat ragu untuk mengemukakan apa yang dia butuhkan sekarang.
“Aku pulang sekarang,” ujar Natta mematikan panggilan dan Elizah mendesis.
Elizah merapatkan kedua kakinya, menahan sesuatu. Menunggu dengan sabar kembalinya Natta. Ketika pintu dibuka, Elizah tersentak dan Natta masuk dengan terburu-buru.
Natta keheranan melihat Elizah diam. Hanya memandangnya, sebelum kembali dia bahkan berpikir gadis itu kenapa-kenapa.
“Kenapa?” Natta mendekat.
“Aku sudah bilang, aku butuh sesuatu.” Elizah mendelik sebal.
“Iya, apa?”
Elizah menggigit bibirnya kelu. Bagaimana caranya menjelaskan sekarang?
“Beri saja aku uang,” kata Elizah mengarahkan telapak tangannya.
Natta menggeleng tidak mau.
“Kamu butuh apa?”
Natta khawatir jika gadis itu memiliki uang, ia nekat pergi meninggalkannya.
Elizah menundukkan wajahnya dan Natta mengamati setiap pergerakannya dengan intens.
“Aku butuh pembalut!” dengan kesal Elizah bersuara.
Natta bersandar kasar lalu menggaruk pelipisnya.
“Ya sudah beli,” katanya memberikan uang.
“Aku tidak bisa bergerak,” kata Elizah sangat pelan.
Natta mendesah, ternyata itu yang membuat Elizah duduk mematung menahan sesuatu.
“Aku belum pernah membeli benda begituan,” kata Natta dan Elizah kesal.
“Benda itu bagian dari jiwanya perempuan tahu!” Sentaknya kesal dan Natta menahan tawa.
“Kalau salah?”
Elizah memberikan ponselnya, memperlihatkan merk dan ukuran yang harus suaminya beli. Natta mengangguk dan pergi.
Elizah mengusap wajahnya kasar, ia sangat malu.
🍃🍃🍃🍃
Natta pergi ke sebuah warung tidak jauh dari tempatnya tinggal. Pemilik warung sedang tidak ada, digantikan anaknya yang masih gadis. Gadis itu bernama Suri, dia sangat berbahagia ketika ia kembali melihat Natta.
“Mas Natta kemana aja?” Dengan gerakan centil ia bertanya.
“Aku butuh ini, yang sama persis.” Natta memperlihatkan gambar yang Elizah kirimkan. Suri terdiam melongo.
“Itu kan pembalut, Mas. Buat apa?” Suri menatap Natta serius.
Natta mengerjapkan mata.
“Iya saya butuh itu,” katanya dan Suri mengambilkannya. Natta memberikan uang dan tidak memperdulikan kembalian yang terus diserukan oleh Suri.
“Buat apa sih Mas Natta beli pembalut?” gumam Suri penasaran.
Sesampainya di rumah, Natta memberikan benda itu kepada Elizah. Elizah pergi dengan langkah penuh kehati-hatian. Sementara Natta memilih keluar supaya Elizah bisa leluasa.
Setelah selesai, Elizah merasa sangat lega. Elizah menoleh melihat Natta masuk membawa makanan.
“Kamu belum makan,” ucap Natta dan Elizah menerimanya kemudian kembali mengunci diri di dalam kamar.
Natta yang kesal hanya bisa diam.
Berhari-hari, Elizah hanya mengurung diri. Menangis, makan, tidur. Tidak ada keakraban yang berarti antara Natta dan Elizah. Sampai tak terasa, Elizah sudah satu Minggu tinggal bersama dengan Natta. Natta tidak pernah meminta haknya, memendam ketika diabaikan, mencoba tetap sabar ketika kehadirannya tidak dianggap.
Kesabaran laki-laki ini terkikis di hari ke empat belas, bukan karena dia ingin diperlakukan sebagai seorang suami. Tapi dia takut kemurungan yang terus melingkupi Elizah, akan merusak psikisnya. Maka dari itu, hari ini dia memutuskan untuk mengatur janji dengan Furqon.
Mereka bertemu di sebuah taman, duduk sambil memulai percakapan dengan yang ringan-ringan.
“Bagaimana keadaan istrimu?” tanya Furqon.
Bukan langsung menjawab, Natta menyesap kopi hitamnya lebih dulu. Furqon yang tak kunjung mendapatkan jawaban pun menoleh, iseng pula menyenggol bahu keponakannya.
“Kamu sudah menikah sekarang. Hidupmu akan baik-baik saja dan Om akan merasa tenang,” kata Furqon tersenyum.
Natta menatap pamannya itu sekilas.
“Pernikahan kami pernikahan siri, apa Om kira pernikahan yang terpaksa seperti kami ini akan menjadi keluarga yang harmonis? Menikmati waktu berdua, berbulan madu, begitu?” tegas Natta, Furqon memicingkan matanya.
“Kami bahkan tidak pernah berbicara selama tiga puluh menit. Dia hanya sibuk mengurung diri, menangis, dia hanya akan menemuiku ketika lapar. Dia hanya akan mengawali obrolan ketika membutuhkan sesuatu.”
Penjelasan Natta membuat Furqon merasa sedih.
Tangan Furqon berayun membelai bahu keponakannya itu. Natta hanya bisa menyandarkan tubuhnya dengan lemas.
“Kamu nggak bahagia? Kamu merasa tersiksa menikah dengan Elizah?” tanya Furqon dengan suara berat.
Natta memandangnya, dengan yakin Natta menggeleng kepala.
“Sebelum kami menikah, aku memang tertarik padanya. Tapi aku tidak pernah membayangkan kami bersatu dengan cara seperti itu,” lirih Natta kemudian menekuk wajahnya dalam-dalam.
Belaian lembut dari Furqon membuatnya tenang.
“Om yakin, Elizah akan bisa menerima kamu sepenuhnya. Asal kamu harus lebih sabar, semuanya nggak mudah buat kamu apalagi buat Elizah. Gadis yang tak pernah keluar dari tempat kelahirannya itu tiba-tiba menikah dengan kamu yang tak dia kenal, dia juga dibuang keluarganya sementara kamu masih punya Om.”
Natta terdiam.
“Elizah hanya memiliki kamu seorang, dan Om yakin dengan seiringnya waktu, kamu dan Elizah akan bisa menjalani rumah tangga yang normal sebagaimana suami-istri pada umumnya.”
Entahlah, Natta merasa begitu pesimis.
🍃🍃🍃🍃
Sementara di rumah, Elizah yang sedang menjemur pakaian di balkon terkejut dengan suara ketukan pintu. Natta sedang tidak ada dan Elizah belum pernah bertemu dengan manusia lainnya di tempat tinggal barunya.
Samar-samar Elizah mendengar suara perempuan. Menyerukan nama Natta. Terlintas dalam benaknya apa pria itu memiliki kekasih? Bisa saja pria itu memilikinya, bukan?
Elizah yang mendadak diliputi rasa penasaran pun akhirnya membukakan pintu. Tampaklah sosok Suri yang menatapnya nanar. Suri keheranan karena ada seorang perempuan di rumah Natta. Beberapa waktu lalu juga Natta membeli pembalut. Siapakah gerangan gadis berkerudung yang memiliki kulit bersih di hadapannya ini?
“Kamu siapa?” tanya Suri datar.
“Emmmm,,,,” Elizah bingung harus mengakui dirinya sebagai apa. Sebagai istri? Jelas tidak mungkin, dia sendiri belum bisa menerima pernikahannya dengan Natta.
Kebetulan, Natta datang dan Elizah membuka pintu lebar-lebar. Suri memperhatikan dengan saksama.
“Aku adiknya mas Natta.” Pengakuan itu didengar oleh Natta.
Demi Tuhan! Natta merasakan hatinya terasa diremas. Kecewa dengan pengakuan Elizah.
Sementara Suri, langsung cengar-cengir dan meraih tangan Elizah.
“Oh ini adiknya mas Natta. Pantesan mas Natta pernah beli pembalut heheheheh.” Suri yang memang periang membuat Elizah tersenyum dan sejak tadi Natta memperhatikan mereka berdua.
“Iya, saya adiknya,” kata Elizah. Elizah merasa malu karena persoalan pembalut itu dibahas lagi.
“Eh ini, aku ke sini cuman mau mengembalikan kembalian waktu itu.” Suri memberikan lembaran uang dan Elizah menerimanya. “Kamu nggak pernah keluar ya? Soalnya aku nggak pernah lihat.”
Elizah mengangguk. Suri memperkenalkan diri begitu juga dengan Elizah. Namun, suara dehaman Natta membuat obrolan mereka terjeda.
“Eh, Mas Natta udah pulang.” Suri mesem-mesem dan Elizah kembali masuk ke dalam rumah.
Setelah Suri pergi, Natta menutup pintu. Dia memperhatikan Elizah.
“Kamu berbicara apa sama Suri?” tanya Natta tegas dan Elizah menoleh.
“Bukan apa-apa,” balasnya kemudian duduk. Natta memberikan makanan, Elizah menerimanya.
“Kamu kenapa nggak bilang sama Suri kalau kita suami-istri. Kenapa bohong?” Natta kesal dan Elizah melihat ke arahnya.
“Memangnya ada yang salah? Kita menikah juga karena salah paham, nggak ada hal-hal yang membuat aku perlu mengakui hubungan kita.” Elizah begitu sinis lalu berdiri, seperti biasa dia ingin menghindar tapi Natta meraih tangannya dan dengan kasar Elizah menepisnya.
“Makan dulu,” ucap Natta dan Elizah tidak mau. Dia sudah tidak selera karena perdebatan mereka barusan.
Mirza emang ya keras kepala takut banget turun martabat nya