Kisah perjuangan hidup gadis bernama Cahaya yang terpaksa menjalani segala kepahitan hidup seorang diri, setelah ayah dan kakak tercintanya meninggal. Dia juga ditinggalkan begitu saja oleh wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini.
Dia berjuang sendirian melawan rasa sakit, trauma, depresi dan luka yang diberikan oleh orang orang yang di anggapnya bisa menjaganya dan menyayanginya. Namun, apalah daya nasibnya begitu malang. Dia disiksa, dihina dan dibuang begitu saja seperti sampah tak berguna.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Akankah Cahaya menemukan kebahagiaan pada akhirnya, ataukah dia akan terus menjalani kehidupannya yang penuh dengan kepahitan dan kesakitan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10 Pantang menyerah
Kai benar benar tidak bisa menerima penolakan Aya. Dia pun segera menelpon Elang.
"Halo, bro. Lu lagi sama Tari gak?"
"Iya, kenapa?"
"Gue kesana sekarang. Ada yang mau gue tanyakan sama Tari."
"Oke, gue tunggu."
Kai langsung berangkat ke apartemen Elang untuk menemui Tari. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan tentang Aya pada pacar sahabatnya itu.
Begitu tiba di apartemen Elang, Kai benar benar langsung menemui Tari.
"Kamu sudah berteman berapa lama dengan Aya?"
"Sejak awal kuliah."
"Dia pernah punya pacar sebelumnya?"
"Pernah, tapi itu dulu sudah sangat lama."
"Kamu tahu sesuatu gak tentang mantannya itu?"
"Gak tau. Soalnya dia gak mau cerita apapun tentang mantannya."
"Lu udah kayak wartawan aja bro!" celetuk Elang yang sejak tadi duduk di samping kekasihnya.
"Sorry bro, gue benar benar ingin tahu tentang Cahaya. Gue udah mencoba mendekati dia tapi gue gak dapat apa apa. Dia menolak gue mentah mentah."
"Apa? Mas Kai mencoba mendekati kak Aya?" tanya Tari tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
"Iya. Aku tidak akan meminta nomornya jika hanya untuk sekedar berkenalan." sahut Kai menanggapi keterkejutan Tari.
"Aku kira mas Kai hanya sekedar menggoda kak Aya. Aku tidak berpikir mas Kai seserius ini."
"Karena itulah aku butuh informasi tentang dia. Tapi, aku rasa kamu tidak punya jawaban untuk pertanyaanku."
"Kak Aya sangat tertutup. Dia hanya menceritakan yang perlu saja tentang dirinya. Aku juga gak berani untuk bertanya hal yang dia tidak mau ceritakan."
"Its oke. Aku akan mencoba mencari tahu sendiri tentang dia."
Mentari prihatin melihat raut wajah sedih Kai. Tapi dia tidak bisa membantu banyak.
"Semangat ya mas. Kalau mas benar benar serius dan tulus suka sama kak Aya, aku yakin suatu saat nanti mas Kai akan berhasil mendapatkan hati kak Aya."
"Thank you Mentari."
"Semangat bro, gue tau lu pasti bisa menaklukan hati Cahaya." sambung Elang menyemangati sahabatnya itu.
"Eh tapi, aku butuh bantuan kamu, Tari."
"Apa?"
"Bantu jagain Aya, soalnya seminggu kedepan aku di luar kota."
"Siap mas. Aku akan menjaga kak Cahaya dengan baik sampai mas Kai kembali."
Senang rasanya ada orang orang yang memberinya semangat disaat sedang merasa tidak baik baik saja.
~
~
~
Kembali ke hari hari kuliah. Aya sudah di kampus sejak pagi. Dia berada di ruang jahit menjahit untuk mengerjakan tugasnya.
Tari datang menghampiri sahabatnya itu dengan raut wajah kesal.
"Kak, kenapa sih gak cerita kalau mas Kai mencoba mendekati kak Aya?" tanyanya tiba tiba yang membuat Aya kaget dengan kedatangan sahabatnya itu secara tiba tiba.
"Kamu gak pernah nanya."
"Ya harusnya gak usah nunggu aku nanya duluan. Kak Aya kan bisa cerita sama aku."
"Aku tidak menyukainya, jadi aku pikir untuk apa menceritakannya sama kamu."
"Kakak gak suka sama mas Kai?!"
"Hmm."
"Kak Aya, mas Kai itu baik, ganteng, kaya raya dan humoris juga tau. Masak sih kakak gak suka sama dia."
"Ya mau gimana lagi, aku gak suka sama dia."
"Kenapa sih bisa gak suka sama mas Kai? Atau kakak masih belum bisa melupakan mantan kakak itu, ya?"
Raut wajah Aya seketika berubah kala Mentari mengungkit tentang bajingan itu.
"Seberapa bagusnya sih mantan kak Aya itu, gantengan mana dia sama mas Kai?"
"Tari! Kalau kamu benaran sahabat aku, please stop membahas hal gak penting itu. Aku gak suka." ucap Aya malas.
"Ya udah deh, maaf. Aku cuma merasa mas Kai pantas buat kak Aya."
"Udah ya Tari. Aku gak akan pernah menerima siapapun meski bukan Kai sekalipun. Aku gak mau pacaran!" Aya menegaskan lagi untuk membuat sahabatnya itu mengerti.
Mentari akhirnya diam, dia tidak lagi berani bertanya lebih banyak. Aya sangat menakutkan saat marah.
~
~
~
Aya pulang dari kampus jam delapan malam. Begitu tiba di depan rumahnya dia melihat seporsi makanan digantung di ganggang pintu. Aya tau siapa yang mengiriminya makanan itu.
"Maafkan aku, Tari. Aku tidak akan pernah menerima sahabat pacarmu itu. Bahkan jika bukan dia sekalipun, aku tetap tidak bisa." Gumam Aya meraih makanan itu lalu membuangnya ke tong sampah.
Terlihat kejam memang, tapi Aya benar benar tidak ingin diganggu oleh Kai lagi, dia bahkan sudah memblokir nomor Kai.
"Hari yang melelahkan."
Aya melangkah menuju kamar mandi. Dia mandi sebentar, lalu berganti pakaian lalu dia segera tidur. Sayangnya tidurnya tidak nyenyak, karena mimpi menakutkan itu datang lagi.
"Cahaya, papa sayang kamu nak. " Bisik pria itu sambil menyentuh sembarang tubuh gadis remaja itu.
"Papa kenapa?" tanya Aya yang mulai ketakutan karena papa tirinya itu semakin aneh.
"Kamu diam saja sayang. Papa hanya akan memanjakanmu."
"Jangan pa! Jangan menyentuhku." teriak Aya protes dan hendak menjauh dari pria gila itu.
Dia marah, tidak suka dengan penolakan Aya, sehingga dia memaksa Aya dan memukulnya diberbagai tempat ditubuhnya.
" Ibu aku takut! Tolonggg..." jeritnya sambil menangis.
Gadis tiga belas tahun itu sangat ketakutan dan kesakitan. Dia sendirian dianiaya tanpa ampun oleh ayah tirinya itu.
"Tolong! Jangan... Ibuuu..."
Mimpinya belum usai, kedua tangan dan kakinya terikat di setiap bagian sudut ranjang dengan tubuh polos tanpa busana. Dua orang laki laki menyentuh tubuhnya atas perintah seseorang yang pernah mengucapkan kata cinta padanya.
"Tidakkk..."
Aya terbangun dengan napas tertahan dan berat. Dia sangat ketakutan saat ini, menangis sendirian terduduk diatas kasurnya sambil memeluk lututnya.
"Hanya mimpi. Semua ini hanya mimpi." gumamnya mencoba menenangkan diri.
"Tidak apa apa Aya. Kamu baik baik saja sekarang." mengelus kepala dan pundaknya sendiri.
"Tenang Aya, tenang."
"Semuanya baik baik saja."
Dihapusnya air matanya, dia juga mencoba menenangkan dirinya dan melupakan mimpi menakutkan itu.
Satu pesan masuk ke hp nya. Aya pun segera memeriksanya meski tadi sempat terkejut mendengar suara notif yang datang tiba tiba.
((Malam cantik. Aku sekarang diluar kota. Selama aku tidak ada, jaga kesehatan ya. Jangan lupa makan dan jangan bergadang.))
Pesan dari Kai dengan nomor barunya. Pesan itu membuat Aya sedikit merasa lega dan tersentuh.
"Aya apa yang kamu pikirkan? Dia tidak berbeda dengan semua bajingan itu." dengan cepat Aya menghapus pesan itu dan dia kembali berbaring memejamkan mata untuk bisa kembali tidur.
Sementara itu, Kai berada di hotel luar kota. Dia melamun di koridor kamarnya dengan membiarkan angin malam itu menampar wajahnya.
Beberapa saat kemudian dia mengetik dilayar hp nya mengirimkan pesan pada Cahaya.
"Kenapa begitu sulit untuk mengenalmu, Cahaya. Tidak bisakah kamu merasakan betapa seriusnya aku?"
Drrrttt
Hp nya bergetar, panggilan masuk dari bundanya yang segera dia jawab.
"Halo bunda."
"Hmm, kebiasaan gak mengucap salam." celoteh bundanya yang membuat Kai mengulagi mengucap salam pada bundanya.
"Tumben bunda telpon? Ada berita baik apa nih."
"Bunda cuma mau tau, kamu kapan pulang?"
"Aku baru sampai tadi sore, eh bunda udah nanya kapan pulang aja."
"Ya bunda mau ngatur acara pertemuan keluarga. Makanya bunda nanya kapan kamu pulang, supaya jadwal pertemuannya bisa bunda atur."
Wajah Kai tampak tidak senang saat bundanya mengatakan tentang pertemuan keluarga.
"Kali ini kamu gak boleh nolak Aisyah lagi. Dia udah selesai S2 nya. Sekarang Aisyah sudah jadi dosen resmi. Bunda mau kalian setidaknya bisa mulai ta'aruf."
"Aku sudah punya pacar bunda."
"Gak ada pacar pacar. Putusin aja."
"Bunda, aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa tanpa dia."
"Kalau begitu kenalkan dia sama bunda. Kalau dia gak jauh lebih baik dari Aisyah, kamu harusnya tahu seperti apa keputusan bunda."
"Tapi, bun..."
"Kai, Aisyah pilihan terbaik buat kamu nak. Bunda gak maksa kamu harus langsung menikahi Aisyah. Bunda hanya ingin kamu menyempatkan waktu untuk mengenal Aisyah lebih dulu. Bunda mohon Kai, kali ini aja kamu nurut sama bunda, nak." ucap bunda dengan suara yang terdengar menahan tangis.
Bunda tahu persis, putra sulungnya itu tidak akan membiarkannya bersedih. Karena itu lah dia berpura pura seakan menahan tangisan. Usahanya berhasil, Kai tampak merasa bersalah padanya.
"Iya bunda. Akan aku coba."
"Terimakasih ya nak. Bunda melakukan ini karena bunda sayang banget sama kamu."
"Aku juga sayang bunda."
"Jadi, kapan kamu pulang?"
"Enam hari lagi, bun."
"Ya udah, sampai jumpa enam hari lagi ya sayang."
"Hmm."
Panggilan berakhir setelah saling mengucapkan salam.
Huh!
Kai menghela napas berat. Rasanya sesak. Dia merindukan Cahaya, seluruh pikirannya hanya dipenuhi dengan Cahaya.
"Dia lagi apa ya? Apa dia baik baik saja?" gumamnya bicara sendiri.
"Dia bahkan tidak membalas pesanku." menatap layar hp berharap pesan yang tadi dia kirimkan mendapat balasan.
"Kenapa dia tampak sangat ketakutan? Sorot matanya seperti menyimpan luka yang dalam." Kai mengingat sorot mata Aya pagi itu saat dia menemuinya untuk sarapan.
Semangat kakak Author, ditunggu kelanjutannya 💪
Author berhasil membuatku menangis 👍
Semangat kakak Author 💪