NovelToon NovelToon
Love Or Tears

Love Or Tears

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Putu Diah Anggreni

Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kedatangan orang tua Dimas

Pagi itu, sinar mentari musim semi menembus tirai tipis di kamar Rani, membangunkannya dari tidur yang gelisah. Udara terasa sejuk dan segar, namun Rani merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Hari ini, orang tua Dimas akan berkunjung.

Rani bangkit perlahan, kakinya menyentuh lantai kayu yang dingin. Ia berjalan menuju jendela, membuka tirai sepenuhnya dan membiarkan cahaya matahari memenuhi kamar. Di luar, bunga-bunga di taman mulai bermekaran, kontras dengan suasana hatinya yang kelam.

Dengan langkah berat, Rani menuju lemari pakaian. Ia memilih gaun berwarna pastel lembut, elegan namun tidak berlebihan. Saat ia menyisir rambutnya di depan cermin, Rani melihat bayangan Dimas melintas di belakangnya.

"Ingat apa yang kukatakan semalam," ujar Dimas dingin, tanpa menatap Rani. "Bersikaplah seolah kita bahagia. Ayah tidak boleh curiga."

Rani mengangguk pelan, matanya bertemu dengan mata Dimas di cermin. Untuk sesaat, ia melihat kilatan emosi di mata suaminya - mungkin penyesalan? Namun secepat kilatan itu muncul, secepat itu pula menghilang.

Pukul 10 pagi, bel rumah berbunyi. Aroma kue jahe yang baru dipanggang memenuhi rumah, bercampur dengan wangi bunga segar yang Rani letakkan di vas-vas kecil di seluruh ruangan. Dimas, yang sudah rapi dengan kemeja biru muda dan celana kain abu-abu, membuka pintu dengan senyum lebar yang terlihat dipaksakan.

"Ayah, Ibu, selamat datang," sambut Dimas, memeluk kedua orang tuanya. Rani bisa melihat bahunya menegang saat ia melakukan ini, seolah gestur kasih sayang ini asing baginya.

Rani muncul di belakang Dimas, senyum hangat terpasang di wajahnya. "Selamat datang, Ayah, Ibu. Senang sekali kalian bisa berkunjung." Ia berusaha agar suaranya terdengar ceria dan tulus.

Ibu Dimas, Nyonya Hartono, langsung memeluk Rani. Wanita paruh baya itu mengenakan blus sutra berwarna marun dan rok panjang hitam, wangi parfum mawarnya memenuhi indera penciuman Rani. "Aduh, menantuku semakin cantik saja. Bagaimana kabarmu, Nak?"

"Baik sekali, Bu," jawab Rani, berusaha menjaga nada suaranya tetap riang. "Mari, silakan masuk. Saya sudah menyiapkan teh dan kue kesukaan Ibu."

Mereka duduk di ruang tamu yang telah ditata rapi. Sofa kulit cokelat terlihat hangat di bawah cahaya lembut dari lampu kristal. Dimas mengambil tempat di samping Rani, tangannya melingkar di pinggang istrinya dalam gestur mesra yang terasa asing dan tidak nyaman bagi Rani.

Rani bisa merasakan kehangatan tubuh Dimas di sampingnya, namun ia juga bisa merasakan ketegangan di setiap otot suaminya. Ia bertanya-tanya apakah orang tua mereka bisa melihat ketidaknyamanan ini.

"Jadi, bagaimana kehidupan rumah tangga kalian?" tanya Tuan Hartono, matanya menatap tajam pada pasangan muda di hadapannya. Pria itu duduk tegak di kursinya, auranya penuh wibawa.

Dimas tersenyum, tangannya meremas lembut pinggang Rani. Sentuhan ini, yang seharusnya menenangkan, justru membuat Rani ingin menjauh. "Sangat baik, Ayah. Adinda adalah istri yang luar biasa."

Rani merasakan pahitnya kebohongan itu di lidahnya, namun ia tetap tersenyum dan mengangguk. "Dimas juga suami yang hebat. Kami sangat bahagia." Ia bisa merasakan Adinda bergejolak di dalam dirinya, seolah tidak setuju dengan kebohongan ini.

Nyonya Hartono tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harap. "Syukurlah. Lalu, kapan kami bisa menimang cucu?"

Pertanyaan itu membuat Rani membeku sejenak. Cangkir teh di tangannya bergetar sedikit. Ia melirik Dimas, yang tetap tenang, wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun.

"Kami sedang berusaha, Bu," jawab Dimas lancar. "Tapi kami tidak ingin terburu-buru. Adinda masih ingin fokus pada karirnya dulu."

Rani merasa lega Dimas tidak memaksakan isu anak ini, meski ia tahu itu hanya untuk menjaga penampilan. Namun, kata-kata Dimas tentang "berusaha" membuat perutnya mual. Mereka bahkan tidak pernah tidur sekamar lagi sejak malam pertama pernikahan mereka.

Sepanjang hari, Rani dan Dimas terus memainkan peran pasangan bahagia. Mereka bercanda, saling menatap penuh kasih, dan bahkan bergandengan tangan saat mengantar orang tua Dimas berkeliling rumah. Setiap sentuhan, setiap kata manis, terasa seperti duri yang menusuk hati Rani.

Saat mereka menunjukkan taman belakang yang indah, Nyonya Hartono berkomentar, "Ah, tempat yang sempurna untuk cucu-cucu kita bermain nanti."

Rani hanya bisa tersenyum paksa, sementara tangan Dimas di pinggangnya terasa semakin berat.

Ketika hari mulai gelap, langit berubah menjadi campuran warna oranye dan merah muda. Burung-burung berkicau, kembali ke sarang mereka. Orang tua Dimas akhirnya berpamitan.

"Terima kasih atas kunjungannya, Ayah, Ibu," ujar Rani, suaranya sedikit serak setelah seharian berpura-pura.

Begitu pintu tertutup, Dimas langsung melepaskan tangannya dari pinggang Rani dan berjalan menjauh tanpa kata. Suara langkahnya yang menjauh terdengar keras di rumah yang kini sunyi.

Rani berdiri sendirian di ruang tamu, menatap foto pernikahan mereka yang terpajang di dinding. Dalam foto itu, mereka tersenyum bahagia, Dimas menatapnya penuh kasih. Rani bertanya-tanya, akankah ada hari di mana kebahagiaan dalam foto itu menjadi nyata?

Dengan berat hati, Rani mulai membereskan cangkir dan piring bekas jamuan tadi. Suara denting porselen terdengar nyaring dalam kesunyian rumah. Ia tahu besok pagi, kehidupan akan kembali seperti biasa, dingin dan tanpa cinta.

Malam semakin larut, dan Rani akhirnya naik ke kamarnya. Dari kamar sebelah, ia bisa mendengar suara Dimas yang sedang menelepon seseorang, Mungkinkah Kayla? Rani menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran itu.

Saat ia berbaring di tempat tidur yang terasa terlalu besar untuk dirinya sendiri, Rani membiarkan air matanya jatuh. Untuk saat ini, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan palsu tentang hari yang penuh kehangatan dan kasih sayang, meski hanya sesaat. Besok, ia harus kembali menjadi Rani yang kuat, Rani yang bisa bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini.

Di luar, bulan bersinar terang, seolah mengejek kesepian yang Rani rasakan. Dalam kegelapan kamarnya, Rani berbisik pelan, "Adinda, apa yang harus kulakukan?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!