NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

"Apa? Kau berdiri jauh-jauh hanya untuk bertanya berapa banyak gelang itu?" Sekali lagi ucapan yang dilontarkan mengakibatkan Gita harus memasang ulang telinga, mendengarkan kemauan si anak tinggi satu ini.

Apa tidak bisa membahas di kelas saja? Seperti tidak pernah bersabar menunggu hasil saja. Laki-laki disapa Bian. Tinggi, rapi, kelihatannya cukup pintar berdebat, sering mendapat nilai terbaik dari yang baik, dan selalu membela hal yang benar, dan sekarang memiliki sifat tidak sabaran untuk segera mendapatkan. 

Apalah dia, apalah. Tidak ada yang sempurna di hidup ini, dunia ini.

Gita harus menghadap pandangan yang mengarahkan ke anak tinggi. "Gelang yang kumiliki itu?"

"Masih ada, tidak? Aku hendak membeli semua gelang penjualanmu yang kamu miliki saja. Mubadzir jika hanya disimpan sampai berdebu."

"Untuk apa kau membeli semua? Laki-laki seharusnya tidak boleh mengenakkan gelang lucu. Itu untuk perempuan saja. Dan kau lebih pantas dengan jam tangan, tetapi sekarang apa? Kau tidak punya."

"Kalau aku menjawab, kau akan terkejut."

"Tidak." Gelengan kepala sepertinya akan memotong ekspetasi yang disembunyikan oleh si anak tinggi. "Kau harus menjawab soalan ini, setelah itu aku ambilkan untukmu."

"Jangan berikan ke siapa pun, karena nanti kau akan tertawa kepada dirimu sendiri." Bian mengecilkan peringatan baru kepada Gita.

"Iya, cepat. Apa tujuanmu?"

"Kakak kelas sembilan yang lebih tinggi dari kelas kita, mereka berbicara tentang gelang itu."

"Kau bertemu dengan perempuan-perempuan di kelas sembilan? Idiot sifatmu! Kau berpacaran dengan mereka? Begitu tujuanmu sehingga kau mengucapkan bahwa aku akan tertawa sendiri? Tak tahu malu."

"Kau salah paham, Git. Mereka adalah sekumpulan fans biasa yang kebetulan aku juga melewati deretan kelas itu. Aku menemui teman lain, memangnya salah? Itu bukan urusanmu juga. Selain yang kamu pikirkan itu jahat, setidaknya aku bisa mempromosikan benda jualanmu. Impas, bukan?"

Ketika ucapan itu didengarkan, bantuan Bian mungkin bisa mengatasi tentang sisa-sisa gelang Gita. Gelang buatannya bisa laku keras karena kekuatan promosi orang dalam.

Ternyata memang efektif bekerjasama dengan murid populer. Trio nakal semestinya sudah menjadi tiga laki-laki idaman para perempuan.

Gaya berjalan mereka, visual ketampanan yang selalu mentok sampai seratus persen, pandangan yang bisa melelehkan perasaan.

"Benar juga, tetapi aku tetap melihatmu aneh. Sebelum kau akhirnya membeli semuanya, gelang yang kuberi gratis tadi, akan kau apakan?"

"Aku berikan ke seseorang. Mengapa? Tidak boleh?"

"Bukan seperti itu, bisa saja setelah ini gelang itu akan kau buang lalu bercerita seolah-olah sengaja dihilangkan."

"Itu pemikiranmu saja. Kael dan Azka tidak suka dengan benda ini."

Terasa lega bahwa Bian mengonfirmasi gelang buatannya. Tidak sia-sia pastinya, dan sekarang dia ingin mengambil semua gelang yang disimpan.

Biar saja mereka akan lakukan sesuatu, paling penting Gita segera mendapatkan uang dan barang dagangannya habis.

Gita, Salma, ketiga manusia yang tersorot menonjol disekolah "trio nakal" mengunjungi kelas mereka bersama. Menargetkan tempat yakni bangku belajar Gita dan Salma, Gita meraih sisa dagangan.

Enam gelang; dua berwarna biru, satu berwarna merah, dua berwarna hijau, dan satu berwarna hitam akhirnya diletakkan rapi.

"Semua barang itu menjadi delapan belas ribu." Gita memberi hasil harga yang ditotalkan keseluruhan.

Aura dompet sangat membahagiakan karena garis-garis berwana biru dan merah terlihat setelah Bian membuka isi didalam.

Bau kertas-kertas baru menenangkan, seperti angka nominal yang terjumlah besar.

"Apa kau tidak punya uang kecil selain lima puluh ribu? Aku tidak punya kembalian disini."

Selama melihat Gita yang menunggu uang kecil, Bian beralih pandangan dengan kedua temannya. "Kalian punya sepuluh ribunya... satu, lima ribunya... satu, uang dua ribu dan uang seribu?"

"Tidak ada. Aku kekurangan uang, ini. Sepuluh ribu pun tidak bisa." Kael berbisik menjawab. "Kalau ada, sudah dari tadi aku beri padamu."

"Kau, Az?"

"Aku berhemat minggu ini. Tidak bisa membantumu, sobat."

"Kabar burung yang beredar, kalian adalah orang-orang terkenal. Uang kecil tidak punya? Patut dipertanyakan kondisi ekonomi kalian."

Gita memasang tatapan datar, bosan. Sejak tadi setelah Bian gagal meminta uang kecil, anak laki-laki itu membuka ulang dompet miliknya.

"Kalau tidak bisa membayar, benda ini aku tarik kembali. Kalian bisa menunggu besok, karena aku akan membawanya."

Semuanya berakhir damai ketika Bian membuka ulang dompet itu, memilih selembar warna biru. "Ini, tidak perlu kembalian."

Gita mengambil bahagia. "Nah, silahkan dibawa. Sekarang benda itu milik kalian. Terserah mau diapakan, paling penting aku tidak akan mengganggu urusan."

Bian memasukkan ke saku miliknya.

"Ini saja yang bisa aku berikan padamu. Besok ini, minggu depan, sebulan, setahun, aku tidak akan pernah menjualnya lagi."

"Mengapa? Bakatmu begitu bagus dan itu sayang jika kamu tidak melanjutkan."

"Kau ingin tau mengapa aku akan berhenti?"

Empat murid yang berkerumun menjadi ketergantungan untuk menyimak apa yang akan dijawab oleh anak berkucir rambut.

Tampak menggeleng bersama karena tidak tau.

"Aku akan fokus belajar. Gelang itu hanya sebagai tempat hobbi saja. Kalian juga selalu mengomentari tentang hidupku disini. Iya, tidak?"

Dan Gita memberikan semua gelang sampai tidak bersisa. Ludes habis dibawa oleh Bian.

"Pergilah dan jangan pernah menemui kami lagi," usir Gita setelah Bian berhasil mendapatkan benda itu.

"Oke, kami pergi. Terima kasih tentang gelang ini."

Trio nakal berjalan meninggalkan kami berdua.

"Jangan sampai kita bertemu lagi, ya."

Salma pun menyaksikan perpisahan tiga remaja.

Pada meja yang berdempet, Gita menempelkan dirinya hingga dapat menyentuh permukaan tembok putih. Memejamkan mata, ingin membuat sebuah ketenangan.

"Sepertinya Bian sangat mempercayakanmu untuk membuat lebih banyak gelang itu, Git."

Gita membuka lagi sepasang mata yang meredup. "Percaya? Percaya bagaimana maksudmu, Sal?"

"Aku mengamati wajahnya selama dia berbicara denganmu. Seperti ada perasaan menginginkan karya buatamu lagi, tetapi kamu menghiraukan."

"Hei, kata-katamu itu seperti orang dewasa saja, Sal. Kamu belajar darimana? Sudah dikaitkan dengan perasaan-perasaan segala."

"Aku mendengarkan dari ibuku. Dia memang bekerja sebagai ahli psikolog. Terkadang memberi pelajaran tentang bahasa mata. Selebihnya aku tidak boleh tau. Tidak tau mengapa sebabnya."

"Sudah tentu, kalau itu. Ibu dan Anak sama saja. Sama-sama pintar. Kamu belajar rajin disini. Ibumu ahli psikolog. Tidak diragukan lagi."

Gita memangku wajah. Rasa kantuk dan bosan mengharuskan untuk ditahan lama.

Perempuan yang kurang beruntung dapat merasakan kehadiran Orang tuanya termasuk Ibu, hanya bisa merenung menyimak cerita temannya.

Kesedihan tidak bisa dirasakan lagi dikarenakan ia tidak bisa menangis ketika Ibu dimakamkan setelah ayahnya dan neneknya yang terlebih dahulu masuk.

Sore setelah pemakaman selesai, semua orang yang menonton telah meninggalkan tempat. Menjalani kehidupan seperti biasanya.

Terkecuali Gita yang masih berusia lima tahun beserta kakaknya yang beranjak mulai dewasa, hanya diam merenung. Berhadapan dengan tiga gundukan pasir yang dihiasi oleh bunga-bunga beragam warna.

Tangisan itu telah berganti. Gita tidak pernah menangis lagi, agar tidak memikirkan ulang tentang kejadian pemakaman.

Dia benci menangis, sampai sekarang.

Keduanya tetap berbincang bersama, hingga bel berbunyi bekerja.

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!