NovelToon NovelToon
Teluk Narmada

Teluk Narmada

Status: tamat
Genre:Tamat / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Angin pagi selalu dingin. Ia bergerak. Menerbangkan apa pun yang sekiranya mampu tuk diterbangkan. Tampak sederhana. Namun ia juga menerbangkan sesuatu yang kuanggap kiprah memori. Di mana ia menerbangkan debu-debu di atas teras. Tempat di mana Yoru sering menapak, atau lebih tepatnya disebabkan tapak Yoru sendiri. Sebab lelaki nakal itu malas sekali memakai alas kaki. Tak ada kapoknya meskipun beberapa kali benda tak diinginkan melukainya, seperti pecahan kaca, duri hingga paku berkarat. Mengingatnya sudah membuatku merasakan perih itu.

Ini kisahku tentangku, dengan seorang lelaki nakal. Aku mendapatkan begitu banyak pelajaran darinya yang hidup tanpa kasih sayang. Juga diasingkan keluarganya. Dialah Yoru, lelaki aneh yang memberikanku enam cangkang kerang yang besar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 18

Fara sudah bisa makan dengan lahap. Nafsu makannya telah kembali. Setelah beberapa demam tinggi. Bibi muncul dari ruang samping sambil membawa sebuah pisau untuk mengupas apel.

"Jadi, di sana memang tempat yang menyenangkan?" tanyaku setelah obrolan kami terjeda karena bibi pergi ke dapur untuk mengambil pisau.

"Iya, Cine. Nenek Mei suka sekali membuat cemilan manis. Bahkan, masakannya juga manis. Lidah jawanya tidak pernah berubah," ujar bibi.

Ini kali ke dua aku menceritakan dan bertanya tentang nenek Mei setelah pertama kali ke rumah ibu-ibu tua itu dua hari yang lalu dan langsung menceritakan bibi sepulang dari sana.

Aku tak melihat nenek Mei saat melewati rumah sekaligus mushola itu. Entah tidur, entah ke mana. Yang jelas, aku belum melihatnya lagi sejak pertama kali kami bertemu.

"Kasihan nenek Mei. Dia kesepian."

"Kamu sering-sering ke sana juga nggak apa-apa. Nenek Mei pasti senang."

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Sedikit cengengesan, "Aku sebenarnya mau, Bi. Tapi, terkadang rasanya males. Bukan apa-apa, Nenek Mei kalau bercerita itu panjang banget. Mana nggak ada jeda lagi. Seolah-olah ingin menderita detail kisah hidupnya selama lebih dari setengah abad itu."

Bibi tertawa, sambil terus mengupas apel untuk Fara yang sebelumnya guling-guling sambil mengamuk karena ingin memakan buah apel.

"Jangan marah, Bi. Aku nggak bermaksud. Tapi, Bibi pasti mengerti."

"Iya, Cine. Bibi paham. Tapi, kalau memang kamu merasa seperti itu, kenapa kamu tetap lewat sana. Artinya, kamu memasrahkan diri kalau nantinya nenek Mei melihatmu dan mengajakmu berkunjung ke rumahnya lagi," ucap bibi.

Si kecil Fara telah selesai dengan suapannya. Walaupun piringnya masih menyisakan puluhan butir nasi. Juga mungkin ratusan butir menjadi remah. Mata hitamnya tak sabar melihat apel kuning yang setengah telanjang itu. Poninya yang mulai memanjang menutupi sebelah matanya. Aku segera memperbaiki jepit rambutnya yang hampir jatuh dan menyampingkan poni dengan jepit rambut itu.

"Entahlah, Bi. Di sisi lain, aku ingin menemaninya lagi. Dia baik hati." Aku menjawab mantap.

"Terus, maunya gimana?"

"Maunya, kalau ketemu dan diajak mampir yaudah, aku bersedia menemani. Tapi, kalau nggak ketemu, maka aku lega juga karena tidak harus mendengarkan celoteh panjangnya itu."

Bibi mengernyitkan dahi. Lantas menatapku tajam.

"Kamu orang baik tapi jahat atau orang jahat tapi baik. Tapi, mungkin yang tepat kamu adalah orang ribet," cetus bibi kepadaku.

Apel Fara telah selesai dikupas. Bocah itu sangat ceria meraih buah yang tak cukup digenggam dengan satu tangan itu.

Fahim ke luar dari kamarnya sambil mengucek mata. Ia baru bangun dari tidur siangnya. Jarang-jarang dia begitu. Karena biasanya, sepulang sekolah ia akan langsung bermain kelereng bersama teman-temannya dan pulang ketika bibi datang menjemputnya yang membawakannya hadiah berupa sebuah rotan.

"Apelku mana?" tanya Fahim yang belum sepenuhnya nyawanya terkumpul.

Aku segera mengeluarkan satu buah apel dari dalam kantong plastik yang aku bawa. Fahim menerimanya dengan mata berbinar. Seolah rasa kantuk itu sirna dalam sekejap.

"Kalau suaminya nenek Mei, seperti apa orangnya?"

❀❀❀

Langkahku berhenti di depan sebuah rumah sederhana bercat putih. Terasnya terlihat berdebu. Padahal, sewaktu aku ke sini, lantainya bersih dan wangi. Keadaan rumah juga sangat sepi. Sarang laba-laba terlihat pada sudut dinding. Ke mana nenek Mei?

Setelah bertanya banyak kepada bibi, aku memutuskan untuk mengunjungi nenek Mei lagi. Tepis dahulu perihal celoteh panjangnya, yang penting aku bisa melihat keadaanya sekarang. Semoga baik-baik saja. Walaupun keraguan sedikit meremas batinku, sebab rumah ini terlihat tidak dihuni selama beberapa hari. Ah tidak, baru tiga hari yang lalu aku ke sini. Mungkin, rumah ini tidak dihuni selama dua hari? Atau rumah ini tidak diurus selama dua hari?

"Assalamu'alaikum, Nenek Mei!" panggilku tanpa naik ke teras.

"Assalamu'alaikum, Nenek Mei!" Aku memanggilnya ulang yang kali ini naik ke teras dengan sandalku.

Tok tok tok.

"Nenek Mei!" panggilku untuk yang ketiga kalinya.

Beberapa detik kubiarkan hening. Tidak ada jawaban. Apalagi gagang pintu yang ditarik penghuninya dari dalam.

Pandanganku mengarah pada kaki. Ah, terasa tidak sopan jika menaikkan sandal ke lantai. Tapi, kakiku akan menginjak debu jika tidak menggunakannya. Aku langsung kembali ke bawah setelah itu.

Suasana kampung tampak sepi. Mungkin semua tidur siang. Termasuk nenek Mei. Tapi, ini sudah hampir asar.

Mushola kosong. Di shaff perempuan juga. Tidak ada nenek Mei di sana. Aku mengembuskan napas. Lebih baik pulang saja. Nenek Mei pasti tidur.

Letak mushola yang tepat berada di seberang rumah nenek Mei. Hanya berjarak jalanan kecil dari tanah ala daerah perkebunan. Suara gagang pintu terdengar dari gerbang mushola. Aku melihat gagang pintu rumah nenek Mei bergerak. Sesuatu yang dinanti-nantikan. Tapakku melesat dan dalam sekejap senyuman meluruh. Nenek Mei ke luar, namun ia tak sendiri. Di belakangnya ada seorang gadis yang sepertinya lebih muda dariku.

"Shinea!" Nenek Mei menyapa.

"Assalamu'alaikum, Nenek Mei."

"Wa'alaikumussalam."

Gadis itu berjalan ke arahku. Ia mengenakannya alas kaki yang digunakan dari dalam. Apakah dia gadis yang tiba-tiba diajak mampir juga sepertiku?

"Jadi, kamu Shinea itu ya," sapanya sambil mengulurkan tangan.

Aku membalas uluran itu.

Mungkin nenek Mei menceritakan tentangku kepala gadis ini.

"Iya, Shinea," ucapku memperkenalkan diri.

"Naima."

Mendengar suara langkah seseorang yang lewat, aku menengok sejenak untuk menepis kecanggungan. Ternyata orang lewat adalah Yoru. Langkahnya terhenti tepat di depan kami. Membuat cerita bibi tentang suami nenek Mei teringat lagi. Sebuah alasan yang membuatku datang ke sini.

"Yoru! Lama sekali kamu!" seru Naima tanpa kusangka seperti seorang sahabat dekat Yoru.

Lelaki nakal itu mendekat. Masih setia dengan kemeja krem lusuh itu. Tanpa alas kaki.

Kehadiran Yoru membuatku teringat cerita bibi karena ia mengatakan bahwa suami nenek Mei pernah bercerita kepada murid-muridnya, bahwa sewaktu kecil ia terkenal sebagai anak yang paling nakal di desanya. Pikiranku langsung mengingat Yoru saat itu juga.

Kok akrab? Batinku.

Terdengar suara batuk berdahak dari nenek Mei. Wajah keriput itu tampak pucat. Ah, aku paham sekarang. Nenek Mei pasti sedang sakit sehingga membiarkan rumahnya berdebu.

"Mana obat batuknya?" Naima bertanya.

Yoru mengeluarkan tiga sachet obat dari sakunya.

"Masuk lagi ya, Nek. Nenek nggak boleh lama-lama di luar. Ayo, masuk juga Shinea," pinta Naima.

Aku mengangguk perlahan dalam kebingungan. Apa yang terjadi? Kami sedang apa? Siapa Naima? Mau apa Yoru?

Yoru menyusul tanpa bersuara sedikit pun kepadaku. Hei, dia menurut dengan perempuan itu. Siapa sebenarnya dia? Dia bahkan membawa Yoru ke tempat nenek-nenek yang kesepian. Kenapa Yoru jinak kepadanya? Lantas, mengapa aku harus kesal?

1
_capt.sonyn°°
ceritanya sangat menarik, pemilihan kata dan penyampaian cerita yang begitu harmonis...anda penulis hebat, saya berharap cerita ini dapat anda lanjutkan. sungguh sangat menginspirasi....semangat untuk membuat karya karya yang luar biasa nantinya
Chira Amaive: Thank you❤❤❤
total 1 replies
Dian Dian
mengingatkan Q sm novel semasa remaja dulu
Chira Amaive: Nostalgia dulu❤
total 1 replies
Fie_Hau
langsung mewek baca part terakhir ini 😭
cerita ini mengingatkan q dg teman SD q yg yatim piatu, yg selalu kasih q hadiah jaman itu... dia diusir karna dianggap mencuri (q percaya itu bukan dia),,
bertahun2 gk tau kabarnya,,, finally dia kembali menepati janjinya yg bakal nemuin q 10 tahun LG😭, kita sama2 lg nyusun skripsi waktu itu, kaget, seneng, haru..karna ternyata dia baik2 saja....
dia berjuang menghidupi dirinya sendiri sampai lulus S2,, masyaAllah sekarang sudah jd pak dosen....

lah kok jadi curhat 🤣🤦
Chira Amaive: keren kak. bisa mirip gitu sama ceritanya😭
Chira Amaive: Ya Allah😭😭
total 2 replies
Iif Rubae'ah Teh Iif
padahal ceritanya bagus sekali... ko udah tamat aza
Iif Rubae'ah Teh Iif
kenapa cerita seperti ini sepi komentar... padahal bagus lho
Chira Amaive: Thank youuuu🥰🤗
total 1 replies
Fie_Hau
the first part yg bikin penasaran.... karya sebagus ini harusnya si bnyak yg baca....
q kasih jempol 👍 n gift deh biar semangat nulisnya 💪💪💪
Chira Amaive: aaaa thank you🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!