Seulbi dan Rain terpaksa menjalani pernikahan yang tak ada cinta di dalamnya. Keduanya harus bertahan sampai selama satu tahun, sesuai isi perjanjian kontrak yang dibuat kedua orang tua Rain. Namun dalam kurun waktu itu, banyak hal terjadi hingga mereka menjadi saling terikat dan membutuhkan. Sayangnya perasaan yang sudah sama-sama kuat itu tetap jua harus terputus oleh perceraian dengan alasan yang sama kuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Saat ini mereka berdua berada di dalam kamar, kamar yang ditinggali Rain selama berada di rumah Joon.
"Sebutkan alasanmu mengikutiku sampai ke sini?" Rain menuntut, raut wajahnya sudah sangat ketat, tak sabar ingin memaki.
Sebelumnya dia sempat mendebat Joon karena mengizinkan Seulbi tinggal di rumah ini. Dan sekarang wanita itu merangsek paksa untuk bergabung dalam satu kamar yang sama. Jika begini apa bedanya dengan tinggal di rumahnya sendiri? Rain merasa kesal.
Seulbi membalik badan setelah menaruh kopernya di sudut ruang.
"Aku istrimu, apa kau lupa?" Dia bertanya balik. Ranjang berkasur empuk dihampirinya lalu duduk di bagian tepi, bersilang kaki. Wajahnya terdongak pada Rain, memasang tampang menjengkelkan yang tentu bertujuan untuk menantang.
Rain mendekat dengan hentakan kasar. "Kodok, kau berpikir ini pernikahan sungguhan?! Kau pikir aku benar-benar suamimu, hmm?"
Seulbi mengalihkan tatap pada langit-langit, bertingkah seolah sedang berpikir, sampai detik selanjutnya .... "Kupikir begitu adanya."
Kekesalan Rain makin meradang. "Kalau begitu segera bangun dari mimpimu dan pergilah dari sini!"
Lain Rain, lain pula Seulbi yang tetap bertahan dalam modenya, santai gila. Dia tak peduli kalimat kiasan bermakna usiran yang baru saja dilontarkan Rain. Misinya masih tetap sama.
Menekan kasur dengan kedua telapak tangan untuk berdiri, dia lalu bergerak mendekat ke hadapan pria yang secara hukum jelas adalah suaminya. Aroma tubuh khas Rain masih belum berubah, menyeruak ke penciuman tanpa permisi. Aroma yang seketika memancing senyuman sekaligus ingatan Seulbi tentang sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka, sekitar dua bulan lalu.
"Aku ingat saat aku bernyanyi di sebuah kafe, seseorang bertingkah seperti penggemar fanatik, memuji suaraku yang katanya bahkan lebih indah dari berlian. Mengejar sampai ke parkiran untuk meminta nomor ponselku. Dia bahkan blak-blakan berkata bahwa dirinya sangat menginginkan aku untuk jadi pasangan. Tapi---"
"Tapi itu terjadi sebelum aku mengetahui bahwa kau adalah kodok!" tampik keras Rain seraya mendorong tubuh Seulbi untuk menjauh. "Kau tidak patut sepercaya diri itu mengenai aku. Kau penipu!"
Iya, Rain mengaku bahwa dia memang sangat tergila-gila pada Mocca ketika itu, tepat acara peresmian kafe milik teman dekatnya, Jong Seo. Tanpa dia tahu, Mocca adalah nama panggung yang digunakan Seulbi saat bekerja.
Saking tergila-gila, Rain sampai mencari tahu apa pun tentang Mocca hingga berakhir membuatnya menyesali apa yang dia lakukan.
Dari seseorang yang merupakan kawan dekat Mocca di dunianya, Rain mengetahui beberapa poin identitas Mocca yang sebenarnya. Sampai akhir menemukan hal yang paling mengejutkan. Nama Lee Seulbi mencuat ke permukaan dalam masa ingin tahunya itu.
Ya, Lee Seulbi si gadis mata kodok yang dulu sangat dia benci eksistensinya.
Semakin benci lagi ketika takdir ternyata malah menyeretnya untuk menikahi wanita itu di masa kini.
Mengingat semua, Rain mengetatkan rahang. Apa pun tentang Seulbi baginya benar-benar hanya membuang waktu.
"Aku tidak menipu!" sanggah Seulbi. "Kau yang sudah buta sampai tak mengenali aku." Masih cukup terdengar santai.
"Dulu aku benci, sangat benci. Dan sekarang ... aku semakin benci lagi padamu ... Lee Seulbi!"
Melihat sorot mata Rain yang membara seperti kobaran api, Seulbi menelan ludah. Tapi dia tidak boleh goncang.
"Aku beri waktu kau hingga tengah malam," kata Rain lagi. "Pergi dari sini dengan kakimu sendiri ... atau kuseret dengan tanganku." Lalu pergi keluar kamar tanpa menoleh lagi.
Jantung Seulbi terhentak keras saat pintu dibanting kasar dari luar oleh tangan Rain. Ditatapnya pintu itu dengan pandangan terkejut sekaligus sakit. Perasaannya tiba-tiba terasa tertimpa sesuatu yang sangat besar hingga sulit untuk bernapas. Diusapnya dada untuk menetralkan rasa.
"Kau harus tenang, Seulbi. Kau tidak boleh terpancing. Suasana-suasana seperti ini harus biasa kau hadapi. Bertahanlah."
Meraup udara sebanyak yang dibutuhkan, Seulbi terus menenangkan diri.
Suara mesin mobil terdengar di halaman, segera Seulbi melihat ke jendela. Ternyata benar Rain. Pria itu pasti pergi saat sedang kesal begini.
Di lantai satu, Joon berdiri menatap kepergian Rain dengan sorot keruh. Kedua tangan terselip di antara dua saku celana. Pikirannya cepat menerka, sesuatu pasti terjadi antara sahabatnya itu dan istrinya.
Sekarang tatapannya beralih ke puncak tangga.
"Apa Seulbi baik-baik saja?" tanya hatinya.
Tanpa berpikir banyak, Joon mencelat cepat menaiki tangga untuk mengecek keadaan Seulbi.
Sampai di depan pintu, telapak tangannya ragu untuk mengetuk. Terdiam merunduk menatap pasang kakinya yang beralas sandal rumah berwarna putih.
Dalam posisi itu, pintu terbuka tiba-tiba dan mengejutkan Joon. Seulbi muncul dengan pakaian sudah berganti dan rambut disisir lurus, tergerai begitu saja.
"Joon, kau sedang apa?"
Pria itu mendadak linglung dan garuk-garuk kepala. "Hehe, maaf, aku ... umm, tadi aku melihat Rain keluar. Aku menerka sesuatu pasti terjadi di antara kalian. Karena ini rumahku, aku pikir harus bertanggung jawab jika terjadi apa-apa," jelasnya. "Umm, Seulbi ... kau baik-baik saja, 'kan?"
Seulbi merasa lucu sampai senyumnya merekah indah. "Aku tidak apa-apa, Joon. Kami memang bertengkar, tapi itu bukan masalah besar. Terima kasih sudah mencemaskanku."
Senyuman itu membuat Joon seperti terkena gendam, terdiam beku. Matanya diam tanpa berkedip sampai detik merangkak jauh.
"Joon!"
Teguran Seulbi kemudian mengacaukannya. "Ah, ya?"
"Kau kenapa?"
Joon gelagapan sendiri. "Uh, tidak, tidak," elaknya, lalu mulai mencari cara. "Umm, Seulbi, ayo santai dan minum kopi. Sepertinya kau butuh teman."
Seulbi terkekeh menyikapi betapa manisnya pria itu. "Baiklah, ayo!" Dengan tanpa ragu digamit tangan Joon lalu berjalan bergandengan turun ke lantai satu.
Joon tersihir lagi, namun hanya sesaat. Akhirnya tersenyum dan bersemangat.
"Kau tunggu di sini. Akan kubuatkan kopi yang enak."
Seulbi mengangguk patuh. Empuk sofa lawsen yang menghadap taman belakang terhalang kaca, didudukinya. Sementara Joon mulai sibuk dengan mesin pembuat kopi.
Keadaan mereka di ruang yang sama. Joon memang sengaja mendesain ruangan itu untuk bersantai.
Ponsel digamit dari saku cardigan, Seulbi memainkan dan berbalas pesan dengan teman sekantor.
Pemandangan yang dia buat tak lepas dari perhatian Joon. Pria itu terus memerhatikan. "Bagaimana bisa Rain membencinya? Seulbi begitu menarik. Aku yakin si bodoh itu hanya membual karena mempertahankan ego di masa lalu," cicit hatinya sembari menggeleng tak habis pikir.
Terhitung lima menit, dua gelas latte panas sudah terhidang. Seulbi menerima satu. Dia mencium aromanya sembari memejamkan mata. "Hmm, aku merasa seperti di kafe."
Joon tersenyum, satu cangkir ada di kaitan tangannya. "Aku memang pekerja kafe, dan aku pemiliknya juga," ungkapnya.
"Benarkah?!" Seulbi terkejut.
"Ya."
"Apakah di sana ada panggung untuk penyanyi?"
"Tentu."
"Waah! Apa aku bisa bernyanyi di kafe-mu itu?"
Joon memandangnya sesaat tanpa bekata, lalu .... "Kau ingin?"
"Sangat! Aku rindu bernyanyi dengan piano dan gitarku," ujar Seulbi bersemangat. "Kalau begitu di mana tempatnya?"
"Jauh di Gangnam."
Seulbi langsung mendesah dan menyesalkan, "Huft, kenapa sejauh itu?"
Senyuman Joon tersungging lagi, terselip sesuatu yang sepertinya membuat pria itu cukup bahagia.
"Kalau hanya ingin bernyanyi dan bermain musik, tak perlu jauh-jauh datang ke kafe-ku di Gangnam."
"Hmm?"