Menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia adalah idaman semua pasangan suami istri. Hal itu juga yang sangat diimpikan oleh Syarifa Hanna.
Menikah dengan pria yang juga mencintainya, Wildan Gustian. Awalnya, pernikahan keduanya berjalan sangat harmonis.
Namun, suatu hari tiba-tiba saja dia mendapat kabar bahwa sang suami yang telah mendampinginya selama dua tahun, kini menikah dengan wanita lain.
Semua harapan dan mimpi indah yang ingin dia rajut, hancur saat itu juga. Mampukah, Hanna menjalani kehidupan barunya dengan berbagi suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Bertemu Novita
Usai pertemuan tadi, Ardiansyah terdiam seribu bahasa yang mana membuat Hanna semakin bingung dengan sikap atasannya itu.
"Kenapa, sih, dia? Aneh sekali," batin Hanna.
Dia tampak memikirkan sesuatu tentang perubahan sikap Ardiansyah. "Apa aku tadi buat kesalahan, ya? Eh, tapi enggak, deh, kayaknya. Dari tadi dia tak berbicara sepatah katapun."
"Apa kamu mengatakan sesuatu, Han?" tanya Ardiansyah sambil menatap Hanna.
"T-tidak, Pak. Saya tadi hanya membaca catatan pertemuan tadi," sanggah Hanna dengan kikuk.
Ardiansyah kembali acuh dan tak bertanya lagi, membuat Hanna dapat bernapas lega sambil mengelus dadanya. Khawatir dia kena marah karena gumamannya tadi didengar oleh atasannya.
Sesampainya di kantor, Ardiansyah dan Hanna memasuki ruangan masing-masing. Tentu saja, raut wajah Ardiansyah masih terlihat masam, membuat Arga juga kebingungan dengan sikapnya.
"Bagaimana pertemuan tadi, Pak? Apa ada kendala?" tanya Arga dengan hati-hati, takut menyinggung sang atasan.
"Tidak ada, semua berjalan lancar. Hanya saja ...,"
Arga tampak menyimak apa yang akan diucapkan atasannya itu, tetapi dia harus menelan pil kekecewaan disaat rasa penasarannya mulai tinggi.
"Ah, sudahlah tak ada yang perlu dibahas lagi," pungkas Ardiansyah lalu kembali sibuk dengan laptop di depannya.
"Untung Anda bos saya, kalau bukan mungkin sudah saya timpuk pake tumpukan berkas," batin Arga yang merasa kesal dengan kelakuan bosnya.
Tak terasa hari sudah sore, waktunya seluruh karyawan pulang ke rumah masing-masing. Namun, berbeda dengan Hanna, dia harus tetap di ruangannya sampai Ardiansyah menyuruhnya untuk pulang.
"Ya ampun, mau sampai kapan aku di sini? Baru juga hari pertama kerja udah ngenes aja nasibku," keluh Hanna sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Ekhem." Suara deheman mengagetkan Hanna yang semula menutup wajahnya, hingga tak tahu ada orang masuk ruangannya.
"Kenapa masih di sini? Nggak pulang atau memang terlalu nyaman di sini makanya kamu betah di sini," oceh Ardiansyah dengan wajah seolah tanpa dosa.
"Maaf, Pak. Mungkin Bapak lupa, lima belas menit yang lalu Bapak belum mengizinkan saya untuk pulang. Saya harus menunggu perintah dari Bapak baru bisa pulang."
Hanna berucap selembut dan sesopan mungkin, meski dalam hati dia ingin sekali memaki pria di hadapannya ini.
"Benarkah? Kalau begitu pulanglah, saya sudah memerintahmu," ucap Ardiansyah lalu membalikkan badan meninggalkan Hanna.
Hanna yang kesal dengan kelakuan bos sekaligus teman kuliahnya itu langsung menghentakkan kakinya. Ingin rasanya dia mengumpat dan memaki laki-laki itu.
Akhirnya, tanpa menunggu lama Hanna segera pergi meninggalkan kantor dan bergegas pulang dengan mengendarai mobilnya. Tak sabar rasanya untuk sampai rumah kemudian berendam di air hangat, untuk mengurangi beban di kepalanya.
***
Malam harinya Hanna hendak pergi ke kafe untuk bertemu dengan Annisa. Sudah lama mereka tak menghabiskan waktu bersama, semenjak Hanna menikah dengan Wildan.
Sesampainya di kafe, dia mencari keberadaan Annisa. Annisa yang kebetulan juga baru sampai langsung melambaikan tangan saat melihat kedatangan Hanna.
"Udah nunggu lama, ya?" tanya Hanna sambil menarik kursi dan duduk berhadapan.dengan Annisa.
"Enggak, kok. Aku juga baru sampai," jawab Annisa.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Annisa lalu melihat buku menu.
"Aku pesan cappuccino sama udang goreng tepung aja," ucap Hanna.
"Oke." Annisa memanggil pelayan lalu memesan dua porsi udang goreng tepung, cappuccino, dan lemon tea.
Sembari menunggu pesanan datang, mereka mengisi kekosongan dengan mengobrol. Namun, Hanna lebih mendominasi pembicaraan dan menceritakan pengalaman pertamanya bekerja.
Annisa tak dapat menyembunyikan tawanya saat mendengar cerita Hanna tentang kelakuan Ardiansyah. "Kamu sadar nggak, sih, Han?"
"Sadar apa?" tanya Hanna.
"Kalau bosmu itu sebenarnya ada rasa ke kamu," ujar Annisa.
"Ngaco kamu, An. Mana mungkin dia ada perasaan ke aku? Lagian masih banyak wanita cantik yang masih single di luaran sana," elak Hanna yang tak percaya dengan apa yang dikatakan Annisa.
"Terserah kamu aja, sih. Karena aku yakin seratus persen kalau bosmu itu menyukai kamu."
"Ini pesanannya, Nona. Silakan, dinikmati." Obrolan mereka terhenti setelah pelayan mengantarkan pesanan.
"Makasih," jawab Annisa.
"Mbak Hanna," ucap pelayan tadi, yang tak lain ialah Novita.
"Kamu ...," Ucapan Hanna terhenti saat melihat Novita yang memakai seragam pelayan kafe tersebut.
"Iya, Mbak. Saya kerja di sini," ucap Novita ketika Hanna melihat penampilannya saat ini.
"Oh." Hanya kata itu yang terucap dari bibir Hanna. Dia tak tahu harus bereaksi seperti apa saat bertemu calon mantan madunya.
"Mbak, kalau ada waktu, bisa kita bicara sebentar setelah ini? Kebetulan sebentar lagi saya sudah mau pulang."
"Aku nggak bisa lama-lama di sini karena besok ada urusan penting," tolak Hanna.
"Saya mohon, Mbak. Sekali ini saja, saya janji ini terakhir kalinya saya berbicara dengan Mbak Hanna," pinta Novita.
"Baiklah, aku tunggu di parkiran. Jika dalam waktu lima menit kamu tidak di sana, aku tidak akan memberi kesempatan sekali lagi untuk bicara."
"Iya, Mbak. Saya pastikan akan datang tepat waktu." Setelah mengucapkan itu, Novita kembali ke dalam.
Annisa yang sejak.tadi menyimak langsung mencecar Hanna. "Siapa dia? Kok, kenal kamu? Ada urusan apa?"
"Makan dulu, nanti aku cerita," jawab Hanna.
"Ish." Annisa kesal karena Hanna mengulur waktu untuk menjawab pertanyaannya tadi.
Selesai makan, Hanna pun menjawabpertanyaan Annisa tentang siapa Novita. Hingga tanpa sadar Annisa menggebrak meja karena terkejut dengan penjelasan Hanna perihal Novita.
"Gila kamu, Han. Bisa-bisanya kamu masih sabar berhadapan dengan pelakor itu. Kalau aku yang jadi kamu, udah tak jambak tadi," oceh Annisa.
"Aku nggak mau mengotori tanganku, An. Buat apa bersikap barbar kalau endingnya nggak menguntungkan untuk kita? Mending main cantik dan elegan, kecuali udah di batas kesabaran."
Annisa hanya geleng-geleng kepala, Hanna bahkan menjelaskan perihal Novita tanpa ada emosi sedikit pun yang terlihat di wajahnya. Justru dia terlihat santai seolah yang dia hadapi bukan madunya.
****
Sesuai ucapannya tadi, Novita sudah menunggu kedatangan Hanna di parkiran, lebih tepatnya di samping mobil Hanna. Tak lama Hanna muncul dari dalam kafe dan berjalan menuju tempat parkir mobilnya.
"Cepatlah! Apa yang ingin kamu bicarakan?" ucap Hanna tanpa basa-basi.
"Mbak, tidak bisakah berikan kesempatan kedua untuk Mas Wildan? Mas Wildan benar-benar hancur, Mbak. Terlebih setelah Mbak Hanna mengusir dan menggugat cerai, besoknya Mas Wildan mendapat kabar jika jabatannya sebagai CEO terpaksa diturunkan. Sekarang Mas Wildan hanya bekerja sebagai karyawan biasa," jelas Novita.
Hanna cukup terkejut saat tahu jika posisi Wildan sudah digantikan. Dia sama sekali tak mengetahui hal itu karena memang sejak mengusir Wildan dan Novita, dia belum bertemu mertuanya lagi.
"Lalu apa urusannya denganku? Itu sudah jadi konsekuensi dari perbuatan kalian. Jangan hanya mau di saat senangnya saja, kamu pun harus merasakan susahnya juga. Yang namanya orang menuai hasil kerja keras, tentunya di awali dengan bersusah payah dulu, bukan tiba-tiba langsung dapat enaknya," ujar Hanna yang tak terpengaruh dengan cerita Novita.
"Lebih introspeksi diri kalian untuk menjadi lebih baik lagi. Dan ingat satu hal, jangan sampai apa yang aku alami saat ini, akan kamu alami suatu saat nanti."
Tanpa menghiraukan Novita yang sudah berlinang air mata, Hanna segera masuk mobil dan mengemudikannya meninggalkan area kafe.