Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Janda Genit
Akay berdiri di depan sebuah rumah khas Jawa dengan ukiran Truntum di pintunya. Ukiran yang melambangkan cinta kasih yang bersemi kembali itu tampak begitu indah di bawah cahaya lampu teras yang temaram.
Dengan satu tarikan napas, Akay mengetuk pintu.
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya dengan kebaya sederhana. Wanita itu menatapnya dengan ragu sejenak, seolah ingin bertanya, tapi sebelum sempat mengeluarkan suara, seulas senyum langsung mengembang di wajahnya.
“Tuan Akay?” tanyanya dengan wajah cerah. “Suami Non Aylin?”
Akay mengangguk pelan.
“Saya Mbok Inem, yang ngasuh Non Aylin. Mendiang Nenek Ros sudah mengirimkan foto Tuan ke kami. Mari masuk!”
Akay melangkah masuk, matanya langsung menangkap interior rumah yang begitu khas dengan budaya Jawa. Ruangan itu dipenuhi perabot kayu jati berukir halus, lengkap dengan kain batik yang menghiasi beberapa sudutnya. Aroma kayu dan dupa wangi samar tercium, memberikan suasana yang begitu tenang.
Saat keduanya melangkah lebih dalam, Akay bertanya, “Aylin ada, Mbok?”
Pertanyaan itu membuat Mbok Inem terdiam sesaat. Tatapan wanita itu melembut sebelum akhirnya menggeleng pelan.
“Semenjak pulang ke kampung bersama Nenek Ros, Non Aylin belum pulang ke sini sama sekali, Tuan.”
Akay terdiam, pandangannya menyapu seluruh ruangan, mencoba mencari sesuatu yang mungkin bisa memberinya petunjuk tentang istrinya.
Mbok Inem tampak memahami kebingungan Akay. Dengan ramah, ia mulai menunjukkan ruangan-ruangan di dalam rumah itu. Ruang tamu yang dipenuhi foto-foto lawas, ruang keluarga dengan meja besar khas rumah Jawa, dan kamar Aylin yang masih tetap sama seperti dulu, seolah menunggu pemiliknya kembali.
Setelah berkeliling, Mbok Inem berbalik menatap Akay. “Tuan ingin makan malam? Saya bisa memasakkan sesuatu.”
Akay menoleh, menyadari baru sekarang perutnya terasa lapar.
“Apa pun yang Mbok masak, saya makan.” jawabnya santai.
Mbok Inem tersenyum, wajahnya tampak semakin cerah. Sambil berjalan menuju dapur, ia bergumam pelan, lebih pada dirinya sendiri, “Nenek Ros memang tidak salah memilih menantu. Entah mengapa, sejak pertama kali melihat foto Tuan, saya sudah merasa kalau Tuan adalah pria baik yang pantas untuk Non Aylin.”
Akay mendengar gumaman itu, namun ia hanya diam, menatap dapur tempat Mbok Inem mulai memasak.
Entah kenapa, ia merasa perasaan yang sama.
Akay duduk di ruang tengah dengan laptopnya, matanya terpaku pada layar, meski pikirannya masih mencoba beradaptasi dengan lingkungan barunya. Rumah ini terasa asing, tapi di saat yang sama, ada kehangatan yang berbeda dari apartemen atau hotel tempatnya biasa tinggal.
Dari dapur, terdengar suara percakapan.
"Mbok, masak apa?" suara seorang wanita muda terdengar ceria, tapi ada nada centil yang membuat Akay mengernyit samar.
“Tum, kenapa baru pulang sore begini?” suara Mbok Inem terdengar kesal.
“Mbok, jangan panggil aku Tum, dong! Panggil Mira aja, biar lebih keren,” protes wanita itu. “Tadi pekerjaanku sudah kelar, jadi aku sempatin jalan-jalan cuci mata dulu. Siapa tahu ada duda tajir yang kepincut sama janda muda seksi nan memesona kayak aku.”
Akay menghentikan jarinya yang tadinya mengetik. Matanya sedikit menyipit mendengar celotehan itu. Janda muda yang mencari duda kaya?
Dari dalam dapur, terdengar helaan napas berat dari Mbok Inem. “Ya sudah, kalau sudah pulang, bantuin sini! Masak banyak ini.”
Tumirah—atau Mira, seperti yang ingin dipanggilnya—terdengar mendekat. “Kenapa tiba-tiba masak banyak? Apa Non Aylin pulang, Mbok?” tanyanya penuh selidik.
“Bantuin masak aja! Nggak usah banyak tanya,” balas Mbok Inem ketus, jelas malas meladeni pertanyaan yang nggak perlu.
Mira masih belum menyerah. “Apa ada tamu, Mbok?” tanyanya dengan nada penasaran.
Mbok Inem menghela napas kasar, enggan menjawab. Tapi seperti dugaan, Mira justru makin kepo. Bukannya membantu memasak, dia malah melangkah keluar dari dapur, berniat ke ruang tamu. Ia memang pulang lewat pintu belakang, jadi belum sempat melihat siapa yang datang. Dengan rasa ingin tahu yang membuncah, Mira melangkah ringan, membayangkan kemungkinan menarik yang mungkin ia temukan.
"Hei, mau ke mana kamu?" Mbok Inem mendelik, benar-benar kesal dengan janda satu ini. Dia tahu betul kalau Mira paling nggak bisa melihat pria tampan dan berkantong tebal tanpa langsung pasang radar. Dengan napas mendesah, Mbok Inem pun buru-buru mengikutinya, takut wanita itu berulah.
Akay hanya mengangkat sebelah alis. Percakapan di dapur itu cukup menarik, tapi ia tidak berniat ikut campur. Namun, baru saja ia kembali fokus ke laptopnya, suara langkah mendekat dari dapur.
Tak lama kemudian, seorang wanita muda muncul di ambang pintu, dandanannya lumayan menor, dengan pakaian yang agak ketat untuk ukuran seseorang yang tinggal di rumah ini. Senyumnya melebar begitu melihat Akay.
“Oh… jadi beneran ada tamu, toh? Ini siapa?” Tumirah langsung bertanya dengan mata berbinar.
Akay menutup laptopnya dengan pelan, menatap wanita itu tanpa ekspresi.
Mbok Inem yang mengekor di belakang Tumirah langsung menepuk dahinya. “Tumirah! Jangan ganggu tamu!” tegurnya.
“Tamu?” Tumirah mendekat dengan senyum semakin lebar. “Jadi, Mas ganteng akan menginap di sini?” tanyanya, nada suaranya dibuat selembut mungkin.
Akay menatapnya beberapa detik, lalu bangkit dari duduknya. “Aku Akay,” jawabnya singkat, tanpa ada minat untuk berbasa-basi.
Tumirah tampak tak terpengaruh oleh sikap dingin itu. Malah, matanya berbinar lebih terang. "Mas Akay kerja apa?” tanyanya lagi, jelas mencari celah untuk menggali informasi lebih banyak.
Akay mendesah dalam hati. Sudah cukup. Ia meraih laptopnya dan berjalan ke arah kamarnya. “Aku kerja,” jawabnya dingin, lalu tanpa basa-basi, ia melangkah pergi, meninggalkan Tumirah yang masih berdiri di ruang tengah dengan bibir manyun.
Mbok Inem hanya bisa menggelengkan kepala sambil kembali ke dapur. “Sudah kubilang jangan ganggu tamu…” gumamnya.
"Astaga, ganteng banget! Muka-muka tajir nih!" Tumirah spontan berbisik dengan mata berbinar. Namun saat melihat pria itu masuk ke kamar Aylin, dahinya berkerut, penuh tanda tanya. Tanpa berpikir panjang, ia buru-buru mengejar Mbok Inem, rasa penasaran menguasainya.
"Mbok, kenapa Mas Akay masuk ke kamar Non Aylin?" tanya Tumirah dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Mbok Inem yang sedang mengaduk sayur di panci hanya melirik sekilas sebelum menjawab dengan nada datar, "Karena dia suami Non Aylin."
Tumirah terbelalak, nyaris tersedak udara. "Apa?!" Suaranya melengking, matanya membesar tak percaya. Ia cepat-cepat menoleh ke arah kamar Aylin, lalu kembali menatap Mbok Inem dengan ekspresi shock. "Apa?!Serius, Mbok? Bukan cuma ngekos di sini?"
Mbok Inem mendengus, sudah menduga reaksi ini. "Ya jelas serius! Jadi jangan coba-coba ganggu dia, Tum."
Tumirah masih tertegun, rasa kecewanya lebih besar dari keterkejutannya. "Sayang banget…," gumamnya pelan, bibirnya manyun. "Padahal kalau masih jomblo, boleh juga tuh…"
Mbok Inem hanya menghela napas panjang, malas meladeni janda genit satu ini.
Tumirah masih terdiam beberapa detik sebelum mendekat ke Mbok Inem dengan ekspresi setengah protes. “Kok aku baru tahu? Sejak kapan Non Aylin nikah, Mbok? Kok nggak ada pesta? Nggak ada kabar? Gimana, sih? Jangan-jangan cuma pura-pura…” gumamnya, matanya kembali melirik ke arah kamar Aylin dengan rasa penasaran yang membuncah.
Mbok Inem menoleh tajam. “Mau pura-pura atau beneran, itu urusan mereka. Yang jelas, dia itu suaminya Non Aylin! Jangan coba-coba pasang perangkap buat dia, Tum. Aku udah hafal tabiatmu.”
Tumirah pura-pura tertawa santai, meski ekspresinya tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kekecewaan. “Ah, Mbok, aku 'kan cuma tanya.” Suaranya dibuat ringan, seolah tak peduli, tapi di dalam kepalanya, roda pikirannya mulai berputar.
"Suami Non Aylin? Kenapa baru dengar sekarang? Nggak ada acara pernikahan, nggak ada kabar apa pun… Jangan-jangan cuma hoax? Bibir Tumirah melengkung tipis, matanya berkilat penuh perhitungan. Kalau ini hanya kebohongan… bukankah itu artinya masih ada peluang?"
Ia menggigit bibir, lalu tersenyum kecil. “Yah… kalau dia benar-benar suami Non Aylin, ya sudah, aku nggak bakal macam-macam…” katanya dengan nada yang tidak terlalu meyakinkan.
Mbok Inem hanya melotot curiga. “Bagus kalau begitu. Sekarang bantuin aku masak, daripada mikirin yang nggak-nggak.”
Tumirah mendengus pelan, tapi tetap membantu. Meski begitu, pikirannya masih berputar, mencari celah.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Akay merasa dijebak nenek ros menikahi cucunya...
Darah Akay sudah mendidih si Jordi ngajak balapan lagi sama Aylin...benar² cari mati kamu Jordi..ayo Akay bilang saja ke semua teman² Aylin kalo kalian sudah menikah
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍