Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan tahanan biasa
Harry Zhao melangkah keluar dari selnya dengan anggun, seolah jeruji besi tak lebih dari sekadar tirai tipis yang bisa ia singkap kapan saja. Hanya satu siulan, dan sipir segera membuka pintu, membiarkannya melangkah bebas ke koridor penjara yang dingin. Namun, sebelum ia benar-benar melewati ambang pintu, sebuah suara menahannya.
“Harry, izinkan aku tidur di tempat tidurmu yang nyaman,” pinta seorang teman selnya, suaranya penuh harap.
Harry menoleh, dan seketika matanya menyapu ruangan yang selama ini ia tempati. Sel itu bukan sekadar sel. Itu adalah surga tersembunyi di balik jeruji, sebuah kemewahan yang tak layak dimiliki oleh seorang tahanan. Kasurnya lembut bak awan yang mendekap, AC menghembuskan kesejukan seperti angin musim semi, televisi besar mengusir sepi, dan perabotan di sekelilingnya lebih pantas berada di kamar suite hotel bintang enam.
Tapi di tengah segala kenyamanan ini, ada satu hal yang selama ini terabaikan—Anna.
Anna.
Anna yang tengah mengandung, membawa kehidupan baru dalam rahimnya. Anna yang selama ini hanya ia pandang sekilas, namun kini bayangannya memenuhi benaknya.
Harry menatap kasurnya. Jika ia harus menggantinya, itu akan memakan waktu lama, penuh negosiasi rumit dan mungkin penyelundupan lagi. Namun, di dalam hatinya, ada sesuatu yang berbisik lembut—bahwa tak ada yang lebih berharga selain melihat Anna beristirahat dengan nyaman, membiarkan dirinya tenggelam dalam hangatnya pelukan malam tanpa rasa sakit atau lelah.
Ia menarik napas dalam, lalu menggeleng pelan.
“Tidak,” ucapnya, suaranya mantap. “Kasur itu akan kuberikan kepada Anna.”
Tanpa ragu, ia mendorong pria itu menjauh dan melambaikan tangan kepada sipir. Dalam hitungan menit, segala kemewahan yang pernah menjadi miliknya kini dipindahkan ke sel Anna.
Saat semuanya selesai, Harry berdiri di depan sel yang kini kosong dan dingin. Tak ada lagi kasur empuk, tak ada lagi kehangatan di dalamnya. Hanya lantai yang dingin sebagai satu-satunya tempat untuk merebahkan diri.
Namun, di balik pengorbanan ini, hatinya justru terasa lebih hangat dari sebelumnya.
Anna, kau pasti akan tersentuh… Aku ingin kau tahu, aku melakukan ini bukan sekadar karena iba. Aku ingin kau nyaman, aku ingin kau bahagia.
Harry memejamkan mata, merasakan sesuatu berdesir di dadanya. Anak itu…
Mungkin dia bukan darah dagingku.
Tapi apa artinya darah jika hatiku telah memilih untuk mengakuinya?
Aku ingin melindunginya. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa ia panggil ayah tanpa ragu.
Anna, aku ingin kau percaya… Aku akan ada untukmu dan untuk anak ini. Aku akan menjadi pria yang lebih baik, seorang ayah yang akan menyayanginya seutuhnya.
Di dalam penjara yang dingin dan penuh kebisuan, Harry Zhao merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—cinta yang hadir bukan dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan kecil yang penuh makna.
Harry menunggu beberapa saat di sel milinya, ia sengaja membiarkan Anna larut dalam keterkejutan dan haru atas semua yang telah ia berikan. Ia tahu, setiap inci kenyamanan yang kini dimiliki Anna adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan datang dari dirinya. Tapi Harry ingin Anna merasakannya—bukan hanya sebagai bentuk perhatian, tetapi sebagai pernyataan.
Bahwa ia ada di sini.
Bahwa ia peduli.
Dan tentu saja, bahwa ia ingin Anna membalasnya dengan cara yang hanya bisa diberikan seorang wanita kepada pria yang telah memenangkan hatinya.
Harry menyunggingkan senyum kecil. Ia bisa membayangkan bagaimana kasur yang ia berikan akan menjadi saksi dari malam-malam penuh kehangatan di antara mereka. Ia bisa merasakan sentuhan Anna bahkan sebelum itu terjadi, bisa mendengar bisikan namanya di antara desahan penuh kerinduan.
Namun, tiba-tiba pikirannya melompat ke sesuatu yang lain.
Aku harus menyelidiki siapa saja yang pernah tidur dengan Anna.
Wajahnya mengeras. Hatinya berdesir dengan perasaan yang sulit dijelaskan—bukan hanya sekadar rasa ingin memiliki, tetapi juga ketidakrelaan yang merayapi benaknya.
Harry menarik napas panjang, lalu melangkah maju dengan percaya diri. Namun, sebelum ia benar-benar memasuki sel, seorang sipir memberinya secarik kertas kecil.
"Ingat, jangan bercinta di dalam kamar sel."
Mata Harry menyipit. Amarahnya langsung menyala. Tanpa ragu, ia meremas kertas itu dan meraih kerah sipir tersebut, menekannya ke dinding.
"Tak ada satu orang pun yang bisa melarangku jika Anna menginginkanku," bisiknya dingin, sebelum melepaskan cengkeramannya dan melangkah masuk dengan kepala tegak.
Namun, di depan pintu sel Anna, ia disambut dengan pemandangan yang tidak ia harapkan.
Tiga teman sel Anna berdiri di sana, ekspresi mereka penuh perlawanan.
"Kau ingin kami pindah ke sel lain?" salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut pendek dan wajah sinis, menyilangkan tangan di dada.
"Hei! Satu sel ada empat orang! Kau pikir kami ini apa? Anak ayam yang bisa kau desak-desakkan begitu saja?" sahut yang lain, nada suaranya lebih tajam.
Anna, yang masih duduk di ranjang dengan ekspresi terkejut, hanya bisa menatap mereka bertukar argumen.
Harry mendengus. Ia tidak butuh perdebatan panjang. Dengan gerakan ringan, ia melambaikan tangannya—sebuah isyarat yang lebih kuat dari seribu kata.
Seketika, ekspresi tiga wanita itu berubah. Mereka saling berpandangan, seolah ingin memberontak, tapi mereka tahu siapa yang mereka hadapi.
"Apa kau pikir Anna ingin ini?" suara yang paling keras dari mereka kembali berbicara. "Apa kau yakin dia senang mendapatkan semua ini? Kau hanya melakukan ini untuk dirimu sendiri, bukan? Untuk membuatnya merasa berhutang padamu!"
Harry menatapnya, kali ini lebih lama.
"Kau pikir aku peduli dengan pendapatmu?" tanyanya dengan nada santai, tapi ada bahaya terselubung dalam suaranya.
Wanita itu terdiam, wajahnya menegang. Namun, sebelum ada yang bisa mengatakan apa pun lagi, Anna akhirnya membuka mulutnya.
"Pergilah."
Suaranya pelan, tapi cukup jelas.
Tiga temannya terkejut, tapi melihat ekspresi Anna yang tak tergoyahkan, mereka tidak punya pilihan lain. Satu per satu, mereka meninggalkan sel, meskipun masih dengan raut wajah tidak terima.
Begitu pintu sel tertutup, suasana mendadak sunyi.
Anna menarik napas, lalu mengalihkan pandangannya ke layar televisi.
Harry, yang sudah duduk di tepian ranjang, menyadari perubahan ekspresinya. Ia mengikuti arah pandangannya dan melihat berita yang terpampang di layar.
Ethan Ruan akhirnya sadar dari komanya setelah dua minggu.
Anna terpaku sejenak, tapi kemudian tanpa ekspresi, ia mengambil remote dan mengganti siaran ke channel fashion.
Harry Zhao menyandarkan tubuhnya ke ranjang, matanya mengamati Anna yang kini duduk bersandar di kepala tempat tidurnya. Ia memperhatikan bagaimana wanita itu mengganti siaran televisi tanpa minat, seolah tidak ada satu pun yang benar-benar menarik perhatiannya.
Suasana di antara mereka terasa hening untuk beberapa saat, hanya suara pelan dari televisi yang mengisi ruang. Namun, Harry tidak terburu-buru untuk berbicara. Ia menikmati detik-detik ini, saat di mana Anna tidak mengusirnya atau menolaknya.
Setelah beberapa saat, Harry akhirnya membuka suara, suaranya terdengar santai.
"Jadi, bagaimana menurutmu?" tanyanya.
Anna menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar. "Apa?"
"Semua ini." Harry menggerakkan tangannya, menunjuk ke seluruh ruangan yang kini lebih nyaman daripada sel kebanyakan. "AC, kasur empuk, televisi… hidupmu di sini tidak lagi seperti tahanan biasa."
Anna menghela napas pendek. "Aku tidak meminta semua ini."
"Tapi kau menerimanya."
Kali ini, Anna tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap layar, lalu mengecilkan volume televisi sebelum menoleh ke arah Harry.
"Aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu, Harry. Apa kau menginginkan sesuatu dariku?"
Harry tersenyum kecil, menyandarkan kepalanya ke tangan. "Aku tidak akan memungkiri bahwa aku memang menginginkan sesuatu."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?