Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20.
.
Seiring berjalannya waktu, Aya semakin mahir dalam membuat tas daur ulang. Ia tidak hanya membuat tas dengan desain yang sederhana, tetapi juga membuat tas dengan desain yang lebih kompleks dan artistik.
Tas-tas buatan Aya semakin dikenal oleh masyarakat luas. Banyak orang yang memesan tas buatan Aya untuk berbagai macam keperluan. Aya pun kewalahan menerima pesanan.
Namun, kesuksesan tidak membuat Aya lupa diri. Ia tetap rendah hati.
*
*
*
Hari itu, Aya dan Marcel sedang dalam perjalanan dari mall setelah membeli beberapa pernak-pernik hiasan untuk kerajinan tas nya. Di tengah perjalanan, mereka melihat beberapa orang difabel dan kaum dhuafa yang sedang mengamen dan mengemis di pinggir jalan.
Aya merasa kasihan melihat kondisi mereka semua. "Tuan Muda, tolong berhenti!” ucapnya tiba-tiba membuat Marcel mengerem mendadak.
“Aya, ada apa?” Marcel bertanya panik. Takut ada sesuatu dengan gadis yang dicintainya. Menatap sekeliling. Untung yang mereka lewati adalah jalanan bebas parkir. Untung juga jalanan sedang sepi.
“Lihat mereka!”
Ujung jari Aya mengarah pada orang-orang yang sedang duduk di pinggir jalan. Di antaranya ada perempuan duduk sambil memegang tongkat. Tatapannya kosong. Sepintas saja terlihat kalau itu seorang tunanetra. Ada juga pemuda berpenampilan lusuh yang berjalan menggunakan kruk.
“Kasihan sekali. Mereka pasti kesulitan mencari nafkah," kata Aya kepada Marcel.
Marcel menatap ke arah Cahaya, lalu engangguk. Ia mencoba meraba maksud gadis itu. Mungkin sedang membandingkan dengan dirinya sendiri yang juga seorang difabel. Atau mungkin sedang mengingat kehidupannya di masa lalu.
“Kamu ingin memberi sedekah pada mereka?” tanya Marcel kemudian mengambil dompet di saku jaketnya. mengangguk setuju. “Ini. Kamu bisa berikan pada mereka.” Mengulurkan beberapa lembar berwarna biru yang ia ambil dari dompet pada Aya.
Aya menatap ke arah Marcel, dalam hatinya merasa senang, tuan mudanya termasuk murah hati. Namun, bukan itu yang ia ingin.
"Tuan Muda, bagaimana kalau kita bantu mereka?” tanya Aya. Tatapannya memohon penuh pengharapan
“Tidak mau memberikan sedekah? Lalu apa?” Marcel masih tidak mengerti maksud Aya.
“Sedekah hanya akan habis untuk sekali makan. Mereka butuh lebih dari itu untuk bertahan hidup. Pekerjaan yang membuat mereka tidak lagi mengamen dan meminta-minta. Karena orang yang pernah memberikan sedekah pada mereka sekali, belum tentu akan memberikannya lagi ketika bertemu di kemudian hari. Bisa jadi si dermawan akan merasa jengah bertemu terus-menerus.”
“Aya, bisakah kamu bicara to the point? Aku masih tidak mengerti arah pembicaraan mu.”
“Apa Tuan Muda bisa merangkul mereka? Kita ajari mereka cara membuat tas daur ulang. Siapa tahu, mereka bisa menghasilkan uang dari keterampilan itu," usul Aya.
Marcel menoleh ke arah Cahaya dengan mengerutkan kening. Akhirnya pria itu mengangguk paham. Dan ia setuju dengan gagasan tersebut.
"Ide yang bagus, Aya! Aku setuju sekali. Kita akan bantu mereka, tapi apa mereka akan menerima begitu saja?" tanya Marcel.
“Saya juga tidak tahu. Kita hampiri saja dulu mereka.”
“Baiklah.” Marcel menurut saja.
Namun, ketika Aya hendak membuka pintu mobil untuk turun, Marcel mencekal pergelangan tangannya.
Deg
“Ada apa, Tuan Muda?” tanya Aya dengan dada berdebar, karena pergelangan tangannya berada dalam genggaman tangan Marcel.
“Apa yang akan aku dapatkan jika aku ikut denganmu membantu mereka?” Marcel menatap wajah Cahaya lekat.
“Apa maksud Tuan Muda?” Tenggorokan Cahaya serasa tercekat. Ia tidak tahu apa yang diinginkan oleh tuan mudanya,.dan kenapa tiba-tiba saja tuan mudanya meminta sesuatu imbalan untuk apa yang akan mereka lakukan? Sejak kapan tuan muda Marcel menjadi perhitungan?
“Sebagai imbalan, aku minta kamu memanggilku hanya dengan nama saja? Jika kamu tidak enak ketika kita berada di rumah, setidaknya lakukan itu jika kita hanya berdua saja seperti ini. Jangan memanggilku dengan sebutan tuan muda. Itu membuatku merasa menjadi orang asing bagimu.”
Cahaya menelan ludahnya kasar. Hal seperti itu pernah diminta oleh Tuan Muda Marcel sebelumnya, dan waktu itu dia menolak. Tapi sekarang dia benar-benar butuh. Dia ingin tuan muda Marcel mau membantu para difabel dan kaum duafa itu.
“Lalu saya harus memanggil Tuan Muda dengan sebutan apa?”
“Kalau kamu tidak mau memanggilku dengan nama saja kamu boleh memanggilku dengan sebutan kakak. Kak Marcel. Bagaimana?”
Lagi-lagi Cahaya menelan ludahnya. Apa harus? Tapi sepertinya dia memang tidak memiliki pilihan.
“Ba baiklah, Ka Kak Mar Cel.” Akhirnya sebutan itu meluncur juga dari mulutnya meskipun terbata.
Marcel tersenyum lebar. “Oke! Kita turun!”
Aya dan Marcel kemudian turun dari mobil. Cahaya membawa serta kantong plastik berisi jajanan yang tadi dia beli di mall. Mereka berdua pun berjalan menghampiri para difabel tersebut.
“Permisi… Ini buat kalian semua!” Aya mengulurkan kantong yang ada di tangannya.
Mereka yang berada di lokasi itu menatap ke arah Cahaya dan Marcel kemudian saling pandang. Tapi kemudian satu diantara mereka, yang tampaknya paling tua di antara mereka, berdiri dan menerima apa yang telah diberikan oleh Cahaya.
“Terima kasih, Nona!” ucapnya. “Woi lihat ada yang bagi-bagi makanan!” Teriaknya memanggil teman-temannya.
Beberapa yang sebelumnya duduk agak jauh bergegas mendekat. Satu di antara mereka mengambil makanan dari kantong plastik itu lalu memberikannya pada gadis yang duduk dengan memegang tongkat.
Aya tersentuh melihatnya. Mereka benar-benar rukun. Padahal kondisi mereka kekurangan. Cahaya mengambil tempat duduk di dekat gadis tunanetra. Dan melihat mereka makan dengan lahap seperti tak pernah menyentuh makanan.
Sementara itu, Marcel duduk di dekat pemuda yang berjalan menggunakan kruk. Matanya memindai sekeliling, sepertinya tempat itu memang adalah pos mereka.
“Di mana kalian kalian tinggal?” tanya Marcel.
Pemuda difabel yang berada di dekatnya menoleh. “Di bawah jembatan Kuningan.” Jawaban yang cukup singkat.
“Pekerjaan kalian setiap hari mengamen dan meminta? Apa tidak ingin mencari pekerjaan lain? Bukankah sangat panas berada di jalanan kala terik matahari menyengat?”
“Anak muda!” Pria yang tadi menerima kantong plastik dari cahaya, yang sepertinya adalah pimpinan mereka menatap tidak suka ke arah Marcel. “Tahu apa kau tentang kehidupan kami? Kamu hanyalah anak orang kaya yang terlahir dengan sendok emas di mulutmu,” ucapnya sarkas.
“Paman, maaf. Tuan muda tidak bermaksud seperti itu.” Cahaya merasa tidak enak karena Marcel mendapatkan tanggapan seperti itu.
Si pimpinan terkekeh sinis. “Oh, seorang tuan muda rupanya?” ucapnya mengejek.
“Kami menghampiri kalian, sama sekali tidak bermaksud untuk menghakimi apalagi menertawakan kehidupan kalian. Justru kami ingin menawarkan solusi, supaya kalian tidak lagi meminta-minta di pinggir jalan.”
“Solusi? Solusi seperti apa? Kalian akan menyuruh kami mencari pekerjaan? Tidak usah kalian ajari. Kami berada di sini bukan karena kami pemalas dan tidak mau bekerja. Tetapi karena tidak ada yang mau memberikan pekerjaan pada orang-orang seperti kami.”
. cuit cuit
nyesel kan skrg..?
Marcel,,cintamu tdk bertepuk sblh tangan,,,jgn ragu..ungkapkan sj..