Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Detektif yang Mengintai
Detektif yang mengintai dari kejauhan itu tersenyum tipis, seolah olah ia telah menemukan mangsa yang selama ini ia cari cari di tengah kekacauan kota. Ia berdiri dengan tenang di ujung jembatan kayu yang reyot, membiarkan rintik hujan membasahi mantel panjangnya yang berwarna kelabu. Matanya yang tajam mengunci sosok Fatimah yang berdiri mematung di tengah gempuran angin malam yang menusuk tulang.
"Zahra Al-Fahri, atau haruskah aku memanggilmu dengan nama barumu?" tanya pria itu dengan suara berat yang menembus deru aliran sungai.
Fatimah tidak menjawab, jemarinya mencengkeram kain cadarnya sendiri dengan sangat kuat hingga sendi tangannya memutih. Ia merasa terjebak di antara dua kematian, yakni sungai yang meluap di bawahnya atau pria misterius yang membawa bukti identitasnya. Jantungnya berdegup tidak keruan, memacu adrenalin yang membuat seluruh tubuhnya gemetar hebat di bawah sorotan lampu mobil yang menyilaukan.
"Siapa Anda sebenarnya dan apa yang Anda inginkan dari saya?" suara Fatimah akhirnya keluar, meskipun terdengar pecah dan tidak stabil.
"Panggil saja aku Baskara, dan aku bukan musuhmu, setidaknya untuk saat ini," Baskara melangkah maju, membuat kayu jembatan di bawah kakinya berderit ngeri.
"Jangan mendekat! Saya tidak memiliki urusan dengan siapapun yang bekerja untuk ayah saya," teriak Fatimah sambil mundur selangkah menuju tepian jembatan.
Baskara segera menghentikan langkahnya dan mengangkat kedua tangannya ke udara, mencoba memberikan isyarat bahwa ia tidak bersenjata. Ia tahu bahwa mental wanita di depannya ini sedang berada di titik nadir setelah pelarian yang melelahkan. Namun, tugasnya sebagai penyelidik bayaran menuntutnya untuk membawa Fatimah kembali sebelum orang orang Pratama menemukannya terlebih dahulu.
"Aku tidak bekerja untuk Pratama, justru aku sedang menyelidiki kebusukan yang ia sembunyikan selama bertahun tahun," ujar Baskara dengan nada yang lebih melunak.
"Lalu kenapa Anda membawa foto itu? Dari mana Anda mendapatkan gambar masa lalu saya?" Fatimah menunjuk foto di tangan Baskara dengan tatapan penuh kebencian.
"Ini adalah potongan kepingan teka teki yang ditinggalkan oleh teman pengacaramu, Arfan, sebelum ia terjebak di lorong itu," jawab Baskara singkat.
Mendengar nama Arfan disebut, pertahanan Fatimah seketika runtuh dan ia jatuh terduduk di atas kayu jembatan yang basah. Bayangan Arfan yang tertimbun tanah demi menyelamatkannya membuat rasa bersalah menyayat hatinya lebih dalam daripada luka fisik manapun. Ia merasa sangat tidak berguna, membiarkan orang lain menderita sementara ia hanya bisa berlari menyelamatkan nyawanya sendiri.
"Arfan... apakah dia masih hidup? Tolong katakan pada saya kalau dia baik baik saja!" pinta Fatimah dengan isak tangis yang mulai meledak.
"Dia pria yang tangguh, tapi jika kamu tidak segera ikut denganku, pengorbanannya akan menjadi sia sia," Baskara mengulurkan tangannya sekali lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih mendalam.
"Tapi saya tidak bisa mempercayai siapapun lagi, dunia ini terasa sudah cukup gelap bagi saya," bisik Fatimah sambil menundukkan kepalanya dalam dalam.
"Percayalah pada niat baik yang membuatmu tetap bertahan sejauh ini, Fatimah," Baskara mencoba meyakinkan dengan suara yang tenang namun berwibawa.
Tiba tiba, suara deru mesin motor terdengar dari arah hutan di seberang sungai, memecah ketenangan sementara di antara mereka berdua. Cahaya lampu senter kembali terlihat bergerak cepat di antara pepohonan, menandakan bahwa anak buah Haikal telah menemukan lubang keluar gorong gorong. Baskara segera menoleh ke arah hutan dan ekspresi wajahnya berubah menjadi sangat serius, menyadari bahwa waktu mereka telah habis.
"Masuk ke mobil sekarang juga, atau kita berdua akan tamat di sini!" perintah Baskara sambil menarik lengan Fatimah secara paksa.
Fatimah tidak memiliki kekuatan untuk melawan lagi, ia membiarkan Baskara menuntunnya masuk ke dalam kursi penumpang mobil hitam tersebut. Baskara segera melompat ke kursi pengemudi dan menginjak pedal gas hingga ban mobil berdecit hebat di atas aspal yang licin. Peluru mulai menghujani badan mobil mereka, menciptakan suara dentuman logam yang memekakkan telinga dan membuat Fatimah meringkuk di bawah kursi.
"Tetap menunduk! Jangan pernah angkat kepalamu sampai aku memberikan tanda aman," teriak Baskara sambil memutar kemudi dengan lihai untuk menghindari serangan.
"Ke mana Anda akan membawa saya pergi? Apakah kita akan kembali ke panti asuhan?" tanya Fatimah dengan nafas yang tersengal sengal di tengah kepanikan.
"Terlalu berbahaya untuk kembali ke sana sekarang, mereka sudah memantau setiap sudut kota yang berhubungan denganmu," Baskara terus memacu mobilnya menjauh dari area sungai.
"Lalu di mana saya harus bersembunyi? Saya tidak memiliki tempat lain untuk dituju," suara Fatimah terdengar sangat putus asa.
Baskara tidak langsung menjawab, ia melirik ke arah kaca spion untuk memastikan tidak ada kendaraan yang membuntuti mereka di tengah kegelapan malam. Ia harus mengambil rute memutar melalui gang gang sempit di pinggiran kota untuk menghilangkan jejak dari informan Pratama yang tersebar luas. Dalam benaknya, hanya ada satu tempat yang cukup aman untuk menyembunyikan wanita yang identitasnya bisa mengguncang seluruh tatanan bisnis di negara ini.
"Kita akan menuju ke sebuah sudut gang yang tidak pernah terjamah oleh orang orang ayahmu," ucap Baskara sambil mematikan lampu depan mobil agar tidak terlihat dari kejauhan.
"Gang? Apakah itu tempat yang aman bagi seorang wanita?" tanya Fatimah dengan nada ragu yang sangat jelas.
"Tempat itu gelap dan kotor, tapi di sanalah kebenaran biasanya bersembunyi di balik bayangan," Baskara membelokkan mobilnya masuk ke sebuah lorong sempit yang dipenuhi tumpukan sampah.
Mobil itu berhenti tepat di depan sebuah pintu besi tua yang terlihat sangat berkarat dan dipenuhi coretan coretan liar. Baskara keluar terlebih dahulu, memastikan situasi di sekitar lorong benar benar sepi sebelum membukakan pintu untuk Fatimah. Hawa dingin dan bau lembap langsung menyapa indra penciuman Fatimah saat ia melangkah keluar dari mobil yang hangat.
"Masuklah, dan jangan pernah membuka cadarmu meskipun kamu merasa tidak ada orang di sekitarmu," peringat Baskara sambil mendorong pintu besi itu hingga terbuka.
Fatimah melangkah masuk ke dalam ruangan yang hanya diterangi oleh satu lampu pijar kuning yang berkedip kedip tidak stabil. Di dalam sana, terdapat banyak layar pemantau yang menampilkan berbagai sudut kota, serta tumpukan berkas yang berserakan di atas meja besar. Fatimah menyadari bahwa ia baru saja masuk ke dalam markas rahasia seorang informan yang selama ini memburu jejak keluarganya.
"Siapa yang sedang Anda awasi dari sini?" tanya Fatimah sambil melihat ke arah layar yang menunjukkan gerbang depan panti asuhannya.
Bayangan di sudut gang itu perlahan lahan mulai menampakkan wujudnya, membuat Fatimah tersentak saat melihat siapa yang sedang duduk di kursi kendali dengan tatapan kosong.