Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat perjanjian pernikahan
Setibanya di lobby rumah sakit, langkah Inara gontai, ia berusaha menghapus jejak air matanya, ia tidak ingin sampai Bu Farida melihatnya bersedih, cukup hanya ia saja yang merasakan perihnya di perlakukan seperti itu oleh Tuan Rayyan, Inara tak bisa lagi untuk mundur, ia harus kuat kembali menghadapi biduk rumah tangganya yang pastinya akan sama seperti dulu saat dirinya masih menjadi istri dari Hamdan santoso.
Hanya saja kali ini kejadiannya yang terbalik, dimana pada saat menjadi istrinya Hamdan, mantan suaminya itu begitu mencintai dan menyayanginya, namun sayangnya memiliki mertua tak pernah sedikitpun menganggapnya sebagai menantu di keluarga Santoso, dan sekarang justru ia mendapatkan perlakuan baik dari calon ibu mertuanya namun tidak dengan calon suaminya. Inara terus memikirkan hal itu sambil melangkah pelan menuju arah lift rumah sakit.
"seandainya boleh memilih, aku sudah tidak ingin lagi menikah, aku hanya ingin hidup bersama dengan putraku, tapi Allah telah berkehendak lain, sepertinya aku harus kuat menghadapi semua badai ini!" gumamnya pelan.
.
.
Keesokan harinya akhirnya Baby Daffa sudah di pindahkan dari ruangan NICU ke ruangan perawatan pasien anak, Inara merasa sangat lega sekali, dan menurut Dokter, sekitar satu minggu lagi, Daffa sudah di perbolehkan untuk pulang.
"Alhamdulillah ya Nduk, akhirnya Daffa sudah semakin membaik kondisinya, oh iya tadi Mpok Jule telepon sama ibu, katanya ada yang mau ambil jahitan, terus ibu kasih kunci ruko sama dia, gak apa-apa kan Inara? Tadi Ibu mau nemuin kamu, eh kamu lagi di panggil sama Dokter Reza."
Inara tersenyum tipis lalu menatap sendu wajah Bu Farida." tidak apa-apa Bu, dua hari yang lalu Mpok Jule sudah mewanti-wanti kalau minggu-minggu ini akan banyak yang mau ambil jahitan di ruko, semenjak Daffa sakit, aku tidak bisa fokus menjahit, Bu!"
"Tidak apa-apa Inara, kan semua ini demi kesehatan Daffa, uang bisa di cari tapi nyawa, tidak akan mungkin didapat sebanyak dua kali, untuk saat ini fokuskan dulu kepada Putramu, Inara... Oh iya, bagaimana jamuan makan malam dan pertemuan kamu dengan Tuan Rayyan? Semalam ibu mau tanya sama kamu, cuma ibu sudah sangat mengantuk!" tanyanya menatap penasaran.
Inara menghela napasnya, ia menjelaskan soal pernikahannya yang akan di gelar dua Minggu lagi, Bu Farida cukup syok mendengarnya.
" Hah, dua minggu lagi? Kalian akan menikah? Inara apakah kamu yakin dengan semua ini, kau sudah mantap dengan keputusanmu ini Nduk?"
Inara mengalihkan pandangannya ke arah jendela kamar, tatapan kosong, ia terdiam sejenak mencari jawaban yang bisa membuat Bu Farida percaya dan juga tidak merasa bersalah.
"InshaAllah Inara siap Bu, mungkin ini sudah menjadi takdir Allah, doakan Inara dan Daffa ya Bu, semoga kami selalu hidup bahagia!" kedua bola matanya Inara berkaca-kaca. Bu farida tahu bahwa Inara telah menyembunyikan kesedihannya dan hanya menunjukkan kebahagiaan palsu di hadapannya.
"Inara, kau sudah Ibu anggap seperti putriku sendiri, jika ada masalah apapun, tolong cerita semuanya sama Ibu, ya Nduk! Ibu pasti akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, dan berharap semua kejadian ini adalah langkah awal dirimu mendapatkan kebahagiaan yang hakiki."
Kemudian keduanya saling berpelukan, Inara hanya bisa menangis dalam hati, menyembunyikan semua kesedihannya di hadapan wanita yang di sayanginya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
.
.
Hari yang ditunggu-tunggu oleh Rayyan Witjaksono akhirnya tiba. Hari di mana ia akan membeli cincin sebagai bagian dari pernikahannya dengan Inara.
Sebelum melangkah keluar, Rayyan memerintahkan asisten kepercayaannya, Frans, melalui panggilan telepon.
"Frans, sekarang kau pergi ke rumah sakit. Jemput Inara dan bawa dia langsung ke apartemen pribadiku. Jangan sampai Ibuku tahu soal ini. Paham?" Suara Rayyan terdengar tegas dan tanpa cela.
"Baik, Tuan Rayyan. Saya akan segera melaksanakannya," jawab Frans patuh.
Sementara itu, di dalam mobil yang membawa dirinya menjauh dari rumah sakit, Inara duduk gelisah. Jantungnya berdebar kencang, Ia bingung dan takut karena Frans akan membawanya ke apartemen pribadi Tuan Rayyan. Apa yang akan dilakukan oleh pria dingin itu padanya? Perasaan gugup bercampur cemas melingkupi benaknya sepanjang perjalanan.
Setibanya di lantai teratas sebuah gedung pencakar langit, Inara dipersilakan masuk ke dalam apartemen mewah milik Rayyan. Frans mengantarnya ke ruang tamu yang luas dan memintanya untuk duduk di salah satu sofa tunggal.
Tak lama kemudian, sebuah suara langkah kaki yang berat terdengar dari tangga spiral menuju lantai dua. Rayyan menuruni anak tangga, aura dinginnya menyelimuti ruangan. Tatapannya lurus, menusuk, dan penuh dengan kebencian yang tidak berusaha ia sembunyikan. Di matanya, Inara adalah pion dalam permainannya untuk membebaskan diri dari ibunya.
Merasakan tatapan setajam pisau itu, Inara refleks menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya di balik hijabnya
Rayyan berhenti. Kini, ia duduk di sofa tunggal yang berhadapan langsung dengan Inara. Ruangan terasa sunyi, hanya diisi oleh ketegangan yang mencekik.
"Frans," panggil Rayyan datar. "Berikan."
Frans maju dan menyerahkan sebuah map tebal berwarna cokelat kepada Rayyan, yang kemudian meletakkannya di atas meja kaca di antara mereka.
Rayyan mendorong map itu ke hadapan Inara.
"Buka dan baca," perintahnya, suaranya sedingin es. "Setelah itu, tanda tangani."
Inara mengangkat pandangannya sedikit. Ia menatap map itu, lalu beralih menatap wajah Rayyan yang bak pahatan tanpa ekspresi.
Inara terkejut. Sebuah surat perjanjian pernikahan? Di mata Tuan Rayyan, pernikahan ini benar-benar hanya seperti sebuah permainan, sebuah lelucon belaka untuk mengelabui Nyonya Martha. Ia merasa harga dirinya tergores. Ini bukan pernikahan suci, melainkan kontrak bisnis.
Ia sempat ingin menolaknya, berdiri, dan pergi. Namun, ia teringat posisinya, dengan tangan sedikit gemetar, Inara membuka map tersebut.
Ia mulai membaca baris demi baris, setiap poin yang tertulis terasa bagaikan palu godam. Namun, saat sampai pada poin-poin krusial, kening Inara sedikit terangkat.
Pernikahan berlangsung dengan batas waktu kontrak selama satu tahun.
1.Tidak ada kontak fisik dalam bentuk apapun di luar kebutuhan sandiwara publik.
2.Tidur di ranjang terpisah.
3.Tidak ikut campur dalam urusan pribadi dan finansial masing-masing pihak.
Membaca poin-poin tersebut, sudut bibir Inara sedikit terangkat, membentuk senyum tipis yang hampir tak terlihat.
"Satu tahun," batinnya lega.
'Cukup satu tahun, dan aku akan terbebas dari paksaan ini.'
Ia merasa tidak terlalu dirugikan, apalagi dengan jaminan tidak adanya kontak fisik. Ini hanya peran, dan dia siap melakukannya. Ini adalah harga yang harus ia bayar untuk kebebasannya nanti.
Inara mengambil pulpen yang disodorkan Frans dan tanpa keraguan sedikit pun, ia membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Pernikahan ini hanyalah pernikahan perjanjian semata.
Rayyan memperhatikan setiap gerakan Inara dengan mata dinginnya. Begitu Inara selesai, Rayyan menarik map itu kembali.
"Bagus," katanya. "Dengar baik-baik, Inara."
Rayyan mencondongkan tubuhnya sedikit, tatapannya menjadi lebih intens dan mengancam.
"Perjanjian ini adalah rahasia mutlak. Kau tidak boleh membocorkannya, bahkan satu kata pun, kepada Ibuku. Jika sampai kau melanggarnya, atau berani berbuat aneh-aneh di belakangku, kau akan menerima semua konsekuensinya."
Inara kembali menunduk, menelan ludah. "Saya mengerti, Tuan Rayyan."
Bersambung...