Kirana menatap kedua anaknya dengan sedih. Arka, yang baru berusia delapan tahun, dan Tiara, yang berusia lima tahun. Setelah kematian suaminya, Arya, tiga tahun yang lalu, Kirana memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi pelindung tunggal bagi dua harta yang ditinggalkan suaminya.
Meskipun hidup mereka pas-pasan, di mana Kirana bekerja sebagai karyawan di sebuah toko sembako dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar kontrakan bulanan dan menyambung makan harian, ia berusaha menutupi kepahitan hidupnya dengan senyum.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Kirana yang usianya sudah dua puluh delapan tahun tidak seperti wanita pada sesuainya. Kulitnya yang putih bersih dan tubuhnya yang ramping, tampak seperti gadis di usia dua puluh tiga tahun. Meski dia sudah memiliki dua anak, Kirana tampak awet muda.
Banyak tetangga yang menyarankan agar dia menikah lagi tapi dia menolak. Mbak Rita juga tetangganya yang usianya tiga tahun diatasnya tak pernah berhenti mengenalkan kenalannya mulai dari yang bujang sampai duda. Tapi Kirana tetap menolak.
"Kamu tuh kenapa ngga mau sama dia Ra, bujang, kaya, kerjaannya juga baik itu" tanya mbak Rita menyodorkan hpnya terlihat disana ada gambar laki-laki yang cukup matang.
"Ahh, ngga dulu deh mbak. Aku belum siap buka hati lagi. Takutnya nanti dia cuma mau aku, ngga mau sama anak-anakku. Lebih baik aku sendiri aja mbak" jelas kirana.
"Kan belum di coba Ra, siapa tau dia cocok sama kamu dan anak-anak kamu, kamu ngga perlu capek-capek kerja lagi kalo sama dia" ucap Rita terlihat kesal pasalnya Kirana terus saja menolak usulannya.
"Bukannya aku ngga mau mbak, takutnya kayak yang waktu itu mbak. Dia cuma mau sama aku ngga mau Nerima anak-anak aku, malah dia bilang kalo mereka nikah nanti Tiara dan Arka di titip di panti asuhan aja."
Rita tampak menghela nafas panjang " ya sudah lah Ra, kalo kamu ngga mau."
"Kamu tuh masih muda, Arya juga pasti ridho kalo kmu nikah lagi. Adik mbak itu kenapa sih umurnya pendek banget, padahal Arya baik banget loh" ucap Rita dengan mata yang mulai ber embun.
Rita dan Arya, mendiang suaminya Kirana memang kakak beradik. Arya semasa hidupnya memang terkenal sangat baik dan ramah, dia juga sering membantu tetangganya yang kesusahan, walaupun dapur mereka serba kekurangan. Katanya nanti semua pasti diganti sama Tuhan.
"Udahlah mbak, mbak jangan sedih lagi. Ikhlasin mas Arya biar dia tengah disana." Ucap Kirana. Jika dikatakan tidak sedih maka jawabannya dia pasti sedih yang teramat.
"Ya sudahlah kalo gitu mbak mau pulang dulu. Suami mbak udah pulang kyaknya." Pamit Rita.
"Iya mbak, aku juga mau siapin makan malam buat anak-anak"
Kirana masuk kedalam rumah, disana arka dan Tiara tengah duduk di depan TV sambil menonton acara yang ditayangkan disana.
"Kita makan malam dulu yuk, tv nya jangan lupa dimatikan . Ayok" ajak Kirana pada anak-anaknya.
" Bun, om Dimas itu kerja di pabrik kyak ayah dulu ya Bun" tanya Arka di sela-sela makannya. Om Dimas yang dimaksud arka adalah suaminya Rita.
"Iya, kenapa arka nanya gitu" tanya Kirana penasaran, tak biasanya putranya itu bertanya seperti itu.
Arka menggeleng pelan " ngga ada Bun, cuma mau nanya aja "
"Bunda, tahun depan kata Tante Rita, Tiara bakal masuk TK ya. Aku mau sekolahnya yang dekat tempat kerja bunda ya, disana mainannya banyak " celetuk Tiara.
Kirana tersenyum hangat " nanti bunda usahain ya, sekarang kita makan dulu". Kirana bukan tidak mau menyekolahkan Tiara disana, tapi biaya yang diperlukan cukup mahal untuk bersekolah disana.
Kirana tahu, sekolah TK yang dimaksud Tiara adalah TK swasta yang terletak tak jauh dari toko tempatnya bekerja. Sekolah itu memang bagus, dengan fasilitas dan mainan yang lengkap, namun biaya masuk dan iuran bulanannya cukup tinggi. Jauh di atas kemampuannya saat ini.
Gaji dari toko tidak seberapa. Uang itu habis untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah Arka, dan membayar kontrakan. Impian Tiara untuk sekolah yang 'banyak mainan' itu terasa seperti beban berat di pundaknya.
.......
Siang hari di toko tempat Kirana bekerja, kesibukan kembali menyambut. Kirana, ditemani Kiki, seorang remaja putri yang membantunya menjaga toko di beberapa jam tertentu, sedang mengecek stok di etalase depan.
“Mbak, gula yang kemasan satu kilo sisa tiga ya. Minyak goreng botol premium juga tinggal dua,” lapor Kiki sambil mencatat di buku kecil.
“Oke, Ki. Nanti sore kita telepon pemasoknya. Jangan sampai kehabisan lagi,” jawab Kirana sambil merapikan tumpukan mi instan.
Matahari mulai condong ke barat. Jam di dinding menunjukkan pukul empat sore. Waktunya bagi Kirana untuk bersiap pulang dan melanjutkan peran sebagai ibu di rumah. Ia menghitung uang di laci kasir, lalu menguncinya.
“Mbak, aku duluan ya,” pamit Kirana, melambaikan tangan.
“Hati-hati, mbak,” balas Kiki
Saat Kirana berada di jalan raya, seorang pria menghentikan motornya tepat disamping Kirana. Membuat dia terlonjak kaget.
Pria itu melepas helm full face yang ia kenakan. Rambutnya sedikit acak-acakan karena helm, dan dia terlihat lelah dengan kemeja yang sedikit kusut. Itu Yuda.
Yuda baru saja pulang dari pabrik, terlihat dari wajahnya yang agak berkeringat. Begitu melihat Kirana, ia langsung tersenyum lebar.
“Mbak Kirana!” sapa Yuda. “Pas sekali, saya baru pulang kerja.”
“Mbak mau pulang, kan?saya antar sekalian aja mbak? Arah kita kan sama.”
Kirana menggeleng sopan. “Terima kasih banyak, Mas. Tapi tidak usah. Saya jalan kaki saja, biar olahraga.”
Yuda memajukan motornya sedikit, terlihat ada sedikit kekecewaan di wajahnya karena penolakan itu.
“Tidak apa-apa, Mbak. Ini sudah sore lho. Lagipula, saya juga nanti mau kerumah nya mbak"
Kirana mengerutkan dahi, bingung " mau ngapain mas"
Yuda menggaruk belakang lehernya, ekspresinya sedikit gugup. Ia mematikan mesin motornya dan menoleh sepenuhnya ke Kirana.
“Begini, Mbak. Sebenarnya… Arka sama Tiara ada di rumah saya sekarang. Tadi ibu saya minta Tiara dijemput agar dia main dirumah saya aja, arka juga tadi habis sekolah saya juga langsung menjemputnya"
“Maafkan saya, Mbak! Ini salah saya. Ibu terlalu senang melihat anak-anak, saya juga tadi mau nelpon mbak, tapi lupa kalo nomor mbak ngga ada sama saya"
Yuda menepuk bangku motornya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
“Tolong, Mbak. Jangan marah. Naiklah, saya antar pulang sekarang. Biar Mbak bisa melihat langsung mereka baik-baik saja dan tidak merepotkan siapa-siapa,” pinta Yuda.
Mendengar bahwa Arka dan Tiara berada di rumah Yuda bersama Ibunya, rasa khawatir Kirana akhirnya mengalahkan rasa sungkan. Ia butuh memastikan anak-anaknya baik-baik saja.
Kirana pun segera naik ke motor Yuda, duduk sedikit berjarak di bangku belakang.
Yuda menyalakan mesin motor. Sebelum melaju, ia menoleh sedikit ke belakang.
“Sekali lagi, saya minta maaf ya, Mbak. Saya janji, lain kali saya pasti minta izin Mbak dulu sebelum mengajak mereka main,” ucap Yuda tulus.
" iya mas, saya khawatir jika Tiara dan Arka buat masalah dirumahnya mas dan malah merepotkan"