Embun tak pernah menyangka bahwa kejutan makan malam romantis yang dipersembahkan oleh sang suami di malam pertama pernikahan, akan menjadi kejutan paling menyakitkan sepanjang hidupnya.
Di restoran mewah nan romantis itu, Aby mengutarakan keinginannya untuk bercerai sekaligus mengenalkan kekasih lamanya.
"Aku terpaksa menerima permintaan ayah menggantikan Kak Galang menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga." -Aby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Kesempatan Terakhir
Aby tiba di rumah sang mertua setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit. Pria itu bergegas turun dan segera mengetuk pintu. Beberapa saat ia menunggu hingga daun pintu terbuka perlahan dan memunculkan Mama Rima.
Melihat menantunya berdiri di ambang pintu, wanita itu tersenyum ramah. Namun, mendadak meredup saat menyadari betapa tegang wajah Aby. Tanpa dapat dikendalikan, pikiran buruk mulai terbesit di benaknya. Terlebih setahunya, Embun sedang berlibur ke daerah pegunungan dan ada rencana mendaki.
"Aby?"
Aby tampak menundukkan kepala. Seperti kehilangan nyali untuk mengucapkan sepatah katapun. Di dalam hatinya hanya ada gumpalan rasa bersalah yang semakin lama semakin besar.
"Mama, apa Embun sudah sampai?" tanyanya tanpa basa-basi. Sorot matanya langsung menerobos ke dalam rumah, berharap menemukan istrinya di dalam. Namun, suasana di dalam rumah terlihat cukup sunyi.
"Embun? Bukannya dia masih di luar kota, ya?" Kerutan di dahi wanita paruh baya itu semakin jelas. Sorot matanya penuh tanya.
"Sudah pulang, Mah. Aku habis jemput dia di perkemahan tadi malam." Aby tampak semakin ragu. "Tapi, tadi terjadi sesuatu di rumah, yang membuat Embun marah dan pergi."
Mendadak Mama Rima pun terlihat tegang. Raut wajahnya sudah tampak khawatir. Setahunya, Embun bukanlah sosok wanita yang mudah marah dan mengedepankan emosi sesaat. Jika ia sampai pergi dari rumah, berarti memang ada masalah besar yang terjadi.
"Ya Allah, Embun ... memang ada masalah apa sampai Embun pergi?" Sepasang bola mata Mama Rima mulai tergenang cairan bening.
Entah jawaban apa yang harus Aby berikan. Di satu sisi ingin menjelaskan kepada sang mertua, namun di sisi lain ia sangat mengkhawatirkan kondisi fisik Embun yang masih terbilang lemah. Akan berbahaya jika sendirian di luar sana.
"Maaf, Mah. Aku akan jelaskan nanti. Aku harus pergi cari Embun sekarang."
"Mama ikut, Aby!" pinta sang mama mertua.
"Mama di rumah aja tunggu Embun, soalnya tadi dia bilang mau pulang. Kalau dia sampai, tolong kabari aku, Mah."
Akhirnya, Mama Rima setuju dengan usul Aby. Memang ada benarnya, mama harus menunggu di rumah agar jika Embun tiba, ada yang menemani.
Tanpa menunggu lagi, Aby bergegas meninggalkan rumah sang mertua. Rasa khawatir membuatnya tidak dapat berpikir jernih. Terlebih, sebentar lagi hari bergerak menuju petang.
Mama Rima dapat melihat betapa paniknya Aby yang begitu tergesa-gesa. Dan hal itu membuatnya semakin khawatir. Ia mulai menebak sedang terjadi sesuatu yang fatal dalam rumah tangga putrinya.
"Kenapa nomornya Embun tidak aktif?" gumam Mama Rima, yang sudah beberapa kali mencoba menghubungi putrinya.
.
.
.
Duduk seorang diri di kursi taman melewati senja, Dewa termenung. Sesekali pandangannya berkeliling ke sekitar taman. Tempat itulah yang membawanya pada kenangan masa lalu. Di masa kecilnya, ia dan Embun kerap menghabiskan waktu bermain bersama di taman itu.
Bukan hal mudah merelakan wanita pujaannya dimiliki oleh lelaki lain. Namun, Dewa memiliki alasan kuat sehingga memilih memendam rasa yang telah lama berkuasa di hati, tanpa mengungkapkan sejak lama.
Lamunan Dewa membuyar ketika merasakan vibrasi dari ponsel. Pria itu merogoh saku jaket dan mengeluarkan benda pipih itu dari saku jaketnya. Sebuah pesan baru saja masuk.
"Kamu di mana? Aku sudah di sini sejak sepuluh menit lalu." ~Mega.
"Tunggu, aku ke sana sekarang." Isi pesan balasan dari Dewa.
Pria itu bangkit hendak meninggalkan lautan kenangan indahnya bersama Embun. Baru saja akan keluar dari taman, sesuatu sudah menyita perhatiannya. Embun duduk di sebuah kursi seorang diri dengan wajah murung.
"Embun?"
Perlahan Dewa mendekat demi memastikan tidak salah orang. Sebab, setahunya kondisi Embun masih sangat lemah saat meninggalkan perkemahan pagi tadi. Suatu hal yang aneh jika ia berada di taman sekarang. Namun, saat semakin dekat, Dewa semakin yakin jika wanita tersebut memang Embun.
"Embun, kamu sedang apa di sini?"
Embun seketika tersadar dari lamunan. Wanita itu mengusap ujung mata, lalu menolehkan kepala ke sumber suara.
"Kak Dewa?"
Dewa memandangi Embun. Pakaian yang ia gunakan saat ini adalah pakaian yang ia gunakan tadi pagi saat meninggalkan perkemahan. Dugaannya semakin kuat jika sedang terjadi sesuatu. Dewa lantas mengeluarkan ponselnya lagi dan mengetikkan sebuah pesan untuk Mega.
"Aku agak terlambat. Lagi sama Embun di taman."
Dewa lalu duduk di sisi Embun dalam posisi yang masih berjarak.
"Kamu kenapa? Apa ada masalah? Aby di mana?" Pertanyaan beruntun itu tak segera dijawab oleh Embun. Tetapi, bola matanya yang berkaca-kaca seolah telah menjawab seluruh pertanyaan dari Dewa.
"Aku nggak apa-apa, Kak," jawab Embun, membuat sudut mata Dewa berkerut.
"Kalau nggak apa-apa kenapa kamu ada di sini sendirian. Kamu kan harus banyak istirahat di rumah karena kejadian kemarin?"
Lagi-lagi pertanyaan itu membuat Embun terdiam. Wajahnya murung dengan pancaran penuh luka. "Maaf, aku nggak bisa cerita masalah ini."
Meskipun rasa sakit dari kejadian hari ini amat menyiksa batinnya, namun Embun tak begitu saja mengumbar aib dalam rumah tangganya. Sehingga diam adalah pilihan terbaik baginya.
.
.
.
Perlahan sang Mentari bersembunyi di ufuk barat menyisakan kegelapan menyelimuti Bumi. Aby masih berkeliling mencari keberadaan istrinya. Entah sudah sekhawatir dan sepanik apa Aby sekarang. Puluhan kali ia mencoba menghubungi nomor telepon sang istri, namun tidak tersambung. Aby tidak tahu harus mencari ke mana sekarang.
Dalam kegamangan, ponsel miliknya berdering. Aby mengurangi kecepatan berkendara, lalu meraih ponsel miliknya. Pada layar tertera pemberitahuan pesan baru dari Dewa.
"Kamu cepat kemari. Embun ada di sini." Isi pesan dari Dewa, disertai kiriman lokasi keberadaan mereka sekarang.
Aby pun segera memutar mobil menuju tempat yang berlokasi tak begitu jauh dari rumah sang mertua. Hanya butuh beberapa menit, ia telah tiba. Berjalan beberapa saat mengelilingi taman hingga menemukan Embun dan Dewa tengah duduk bersama di sebuah kursi taman.
Aby baru dapat bernapas lega. Setidaknya, ia menemukan Embun dalam keadaan baik-baik saja.
Sementara Dewa segera bangkit begitu menyadari keberadaan Aby. Melangkah menghampiri rivalnya itu dengan sorot mata tajam.
"Aku akan kasih kamu kesepatan terakhir. Kalau kamu masih menyakiti Embun, aku akan lakukan cara apapun untuk merebut dia dari kamu."
Setelah mengucapkan kalimat bernada ancaman itu, Dewa pun beranjak pergi. Memberi Aby ruang untuk membicarakan segalanya dengan Embun, berdua saja.
Aby terdiam beberapa saat memandangi Embun yang duduk dengan tatapan penuh luka. Ingin rasanya ia dekap wanita itu dan memohon maaf untuk semua luka yang ia goreskan.
Perlahan Aby melangkah dan berjongkok di hadapan istrinya. Ia genggam tangan wanita itu erat.
...........
benar knp hrs nunggu 6 bln klo hrs cerai lebih baik skrng sama saja mlh buang2 wkt dan energi, bersyukur Embun ga oon🤭