Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 9 ] Bayangan di Pelaminan
Banyak tamu berdatangan siang itu. Ruang resepsi yang megah penuh dengan bunga-bunga segar dan musik lembut semakin ramai oleh kehadiran orang-orang terdekat. Teman-teman Olivia hadir dengan antusias, mengenakan pakaian terbaik mereka. Tak ketinggalan, teman-teman Maalik juga mulai berdatangan, menghampiri pelaminan, memberikan ucapan selamat dengan penuh suka cita.
Beberapa dari mereka, terutama sahabat-sahabat Olivia, naik ke pelaminan dengan wajah berseri. Grace dan Febi adalah yang paling heboh. Begitu naik ke atas, Grace langsung merentangkan tangan, hendak menyalami Maalik.
Namun Maalik hanya menangkupkan kedua tangan di dada, menundukkan kepala dengan senyum ramah. Gerakannya sopan dan tegas.
"Upsss... sorry, lupa. Hehehe," ujar Grace cepat, lalu terkikik sambil melengos ke Olivia.
Ia langsung memeluk sahabatnya itu. “Olivvvvv! Oh my goad! Kamu cantik banget, selamat sayang! Akhirnya... pecah telor yaa di antara kita bertiga,” ucapnya sambil menciumi pipi Olivia dan mengusap air matanya sendiri yang mulai tumpah karena haru.
Olivia hanya mendengus pelan, merasa geli sekaligus kesal.
"Jangan cemberut-cemberut dong, Liv. Udah jadi istri orang juga,” tegur Grace sambil tertawa.
“Diem deh,” balas Olivia singkat,
Kini giliran Febi memeluknya. “Selamat yaaa sayangg...” ucapnya tulus. Olivia membalas pelukan itu dengan lebih lembut kali ini.
“Semoga langgeng sampai maut memisahkan,” sambung Febi dengan senyum lebar.
“Dan... kami nunggu keponakan yaaa,” goda Grace sambil menaik-turunkan alisnya usil.
“Gila lo!” seru Olivia dengan nada protes, sedangkan Grace dan Febi cekikikan sambil turun dari pelaminan.
Tak lama kemudian, giliran teman-teman Maalik yang naik ke atas pelaminan. Sebagian besar dari mereka adalah kolega dan teman-teman Maalik saat menempuh studi S1 dan S2. Mereka menyapa Maalik dengan penuh hormat, lalu tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka saat memandang ke arah Olivia.
“Cantik banget bini lo, bro,” bisik Keanu, sahabat lama Maalik, sambil memeluknya hangat.
Maalik hanya tersenyum kecil dan membalas pelukan itu dengan tenang.
“Gila... lo nemu dia di mana, Lik? Nggak sia-sia lo jomblo dari orok kalau dapetnya spek bidadari gini,” bisik Reza, menyikut lengan Maalik pelan.
“Pantesan lo nggak pernah lirik cewek, ternyata ini ending-nya. Keren, bro!” seru teman yang lain sambil tertawa kecil.
Pujian-pujian itu datang silih berganti. Maalik hanya membalas dengan anggukan tenang dan senyum tipis, tak pernah berlebihan. Tapi dalam hatinya, ia tahu: istrinya memang cantik. Bahkan lebih dari itu—memikat, meskipun terkadang menyebalkan.
Namun, suasana yang semula riang mendadak berubah sedikit ketika seorang pria lain naik ke atas pelaminan. Lelaki itu tampan, tinggi, rapi dalam setelan formal, dan wajahnya menampakkan ketenangan yang tak biasa.
Maalik sempat menajamkan pandangannya. Lelaki itu melangkah tenang, tapi sorot matanya... menatap Olivia.
Begitu pria itu menghampiri, ia menjabat tangan Maalik dengan sopan.
“Selamat,” ucapnya singkat.
“Terima kasih,” balas Maalik, tenang namun waspada.
Pria itu lalu menoleh ke Olivia. Senyumnya lembut. Tatapannya menyiratkan sesuatu yang hanya mereka berdua pahami.
“Selamat, Lily. Semoga ini yang terbaik buat kamu,” ucapnya pelan.
Olivia menggigit bibir bawahnya. Ada sedikit kegugupan dalam sorot matanya. “Thanks, Samuel,” jawabnya nyaris berbisik.
Tangan mereka masih berjabat ketika terdengar suara deham pelan dari arah tempat duduk khusus keluarga pengantin. Hadikusuma, sang Eyang Kakung, menatap tajam dari kursinya, tatapan yang cukup untuk membuat keduanya tersadar. Dengan cepat, Olivia dan Samuel melepaskan jabat tangan itu.
Samuel, dengan sopan, melanjutkan untuk memberi salam kepada keluarga Olivia. Ia menyalami Camilla, Bayu, Ratih, dan terakhir, Hadikusuma. Namun kali ini, sikap Hadikusuma sangat berbeda. Tatapannya dingin. Tidak ada senyum, tidak ada anggukan hangat seperti yang ia berikan kepada teman-teman Olivia yang lain. Bahkan sebelumnya ada teman pria Olivia yang sempat memeluknya singkat, tapi Hadikusuma tidak bereaksi sebanyak ini.
Tapi kepada Samuel, sorot matanya tajam. Penuh peringatan.
Samuel hanya menunduk sopan, lalu melangkah turun dari pelaminan tanpa sepatah kata pun.
Maalik, yang sejak tadi diam, tetap memerhatikan reaksi Olivia dari sudut matanya. Ia tahu, pria tadi bukan sekadar tamu biasa. Dan ia juga tahu, masa lalu Olivia mungkin masih menyisakan bayangan.
Namun hari ini, di hadapan semua orang, Olivia telah menjadi istrinya. Dan Maalik siap berdiri, di sisi apa pun yang akan datang nanti.
-----
Setelah seluruh rangkaian acara selesai, mereka semua kembali ke kamar hotel masing-masing. Besok siang, Maalik harus membawa Olivia pulang ke desa tempat tinggalnya, meninggalkan hiruk pikuk kota dan kemewahan perayaan hari ini.
Maalik berpamitan dengan kedua orang tuanya, juga kepada kakek-nenek Olivia, serta orang tua Olivia. Sementara itu, Olivia hanya duduk menyendiri di sudut lobi, bersandar malas di kursi rotan mewah yang dihiasi bantalan empuk. Tak ada niat untuk berpamitan dari dirinya. Ia terlihat letih, bosan, dan tidak begitu peduli.
“Ayo,” ajak Maalik lembut begitu ia mendekat.
Tanpa menjawab, Olivia berdiri dengan enggan dan berjalan lebih dulu. Gaun malamnya masih menjuntai dramatis, ekor panjang dari bahan tulle dan satin mengikuti langkahnya dengan berat. Beberapa kali ia tersendat karenanya. Melihat itu, Maalik segera melangkah cepat dan memegang ekor gaun itu agar Olivia bisa berjalan lebih mudah.
Olivia menoleh sebentar, tatapannya datar, lalu kembali menatap ke depan dan melanjutkan langkahnya. Tanpa sepatah kata pun.
Maalik kemudian membukakan pintu kamar mereka dan menyilakan Olivia masuk lebih dahulu.
Kamar hotel deluxe itu luas, beraroma mawar putih dari diffuser yang dipasang di sudut ruangan. Lampu-lampu gantung berwarna kuning keemasan menggantung rendah, menciptakan suasana hangat dan nyaman. Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur Queen size dengan sprei putih bersih dan bantal-bantal empuk terlihat sangat menggoda bagi tubuh yang kelelahan.
Tanpa banyak bicara, Olivia berjalan lesu dan langsung merebahkan diri ke atas kasur. Gaunnya belum dilepas, sepatunya pun masih melekat erat di kakinya. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam keletihan yang tak bisa ia lawan.
“Olivia... ganti dulu gaunnya, biar kamu bisa lebih nyaman,” ucap Maalik pelan saat melihat wajah istrinya yang mulai rileks.
“Ribet, ah. Gue mau tidur,” keluhnya kesal, masih dengan mata terpejam.
Maalik hanya tersenyum tipis, lalu berjalan mendekat. Ia berjongkok di depan kaki Olivia, mengulurkan tangan untuk melepas sepatu hak tinggi yang membalut kaki istrinya. Sepatu pertama berhasil dilepas. Kakinya memerah, bahkan sedikit membengkak.
Maalik menahan napas sejenak. Ia memandang kaki putih mulus itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Ini pasti sangat sakit...” batinnya.
Tanpa berkata apa-apa, ia membuka jasnya lalu menggulung lengan kemeja putih yang ia kenakan. Setelah itu, ia berjalan ke kamar mandi dan mengisi baskom dengan air hangat. Ia menambahkan sedikit garam khusus yang tersedia di amenities hotel, lalu kembali ke sisi tempat tidur.
Dengan lembut, Maalik mengangkat kaki Olivia dan merendamnya ke dalam air hangat itu.
Kejutan hangat merambat cepat dari telapak kaki ke seluruh tubuh. Olivia membuka matanya.
“Ngapain, lo?” tanyanya pelan, keningnya berkerut kecil melihat Maalik yang masih berjongkok di hadapannya.
“Merendam kaki kamu. Supaya rasa sakitnya berkurang,” jawab Maalik singkat, matanya tetap tertuju pada kakinya yang perlahan mulai rileks di dalam air.
Olivia menatapnya beberapa detik, tapi tak berkata apa-apa. Ia membaringkan dirinya kembali, menatap langit-langit kamar.
“Setelah ini, ganti baju, ya. Supaya kamu bisa tidur dengan lebih nyaman,” lanjut Maalik. Ia berdiri pelan, meletakkan handuk kecil di ujung tempat tidur.
Hening kembali mengisi ruangan. Olivia tak mengangguk, tak menjawab, hanya tetap menatap kosong ke langit-langit.
Maalik melangkah menjauh dan menjatuhkan tubuhnya ke sofa panjang di sudut ruangan. Sofa itu cukup empuk, meski tidak sebanding dengan kasur Queen size yang saat ini diduduki istrinya.
“Kalau butuh apa-apa, saya di sofa,” ucapnya pelan, suara yang nyaris seperti bisikan, lalu ia memejamkan mata, mencoba meluruskan tubuh dan mengusir rasa lelahnya sendiri.
Hening. Tak ada jawaban.
Tapi dalam keheningan itu, Maalik tahu, ia tak sedang tidur sendiri dalam sunyi. Ia ada di ruangan yang sama dengan perempuan yang kini jadi istrinya— meski hangat belum bersentuh, dan meski kata-kata masih jarang bertukar. Tapi keberadaan mereka kini sudah tak bisa dipisahkan.
Dan untuk malam itu saja, Maalik bersyukur.