Reno, adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Papanya memiliki jabatan yang tinggi di suatu instansi pemerintah dan mamanya seorang pengacara terkenal, kakanya jebolan sekolah kedinasan yang melahirkan Intel negara. Sementara dia anak tengah yang selalu dibanding-bandingkan dengan kesuksesan sang Kaka, berprofesi sebagai TNI berpangkat Bintara. Tapi Reno adalah anak yang penurut dan paling berbakti pada kedua orangtuanya.
Keinginannya menjadi seorang TNI karena kejadian luar biasa yang mempertemukan dirinya dengan sosok yang sangat dia kagumi, sosok idola yang merubah hidup dan cara pandangnya.
Hingga pada suatu hari takdir mempertemukan Reno dengan Kanaya yang membantu cita-citanya menjadi seorang TNI terwujud.
Kanaya menemani Reno dari nol karena Reno tidak mendapatkan dukungan dari kedua orangtuanya.
Apakah cinta kasih Reno dan Kanaya akan berlanjut ke pelaminan, atau Kanaya hanya dimanfaatkan Reno saja untuk mencapai cita-citanya?
Yuks ikuti kisah Reno di Cinta Bintara Rema
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Melepas Papa ...
Happy Reading...🩷
Dalam samar suara mendayu dan sedikit mendesah yang dia dengarkan dengan sabar, Sandi melipat kedua belah bibirnya ke dalam mulut hingga memutih dia hempaskan tubuh lelahnya di sofa empuk, tangannya menggenggam dengan sangat kuat hingga urat-urat nya menonjol. Geram, kesal dan sakit hatinya kian bertambah dengan suara-suara manja Ayunda pada sebuah panggilan telepon di sebuah balkon apartemen tempat mereka bermalam saat itu.
"Eheem ... "
Pada akhirnya dia menunjukan eksistensinya dengan sebuah deheman untuk menginterupsi kegiatan istrinya yang sedang bermesraan di telepon dengan kekasih gelapnya.
Dengan jari telunjuknya Sandi meminta Ayunda duduk di hadapannya.
"M-maaf ... " Ayunda segera memutus panggilannya, lalu duduk di hadapan Sandi dengan wajah sombong dan mengangkat dagu.
"Tidak bisakah kamu menungguku pergi tugas, lalu kembali pada kekasihmu? Tidak bisakah kamu menahan gejolak perasaanmu di depan anakku? Apa hal itu terlalu sulit untuk kamu, Ayu?" tanya (dengan tegas) Sandi pada Ayunda.
"Seharusnya kamu ajukan proses perceraian kita sejak lama, dan aku bisa memulai kehidupan baruku!" bentaknya dengan sengit
"Apa kamu mau di persidangan aibmu harus di buka? Karena penyidik tidak akan menemukan kecurangan pada diriku, aku tidak pernah mengkhianati pernikahan kita, dan tentu saja pimpinan tidak akan mengabulkan keinginanmu untuk melepaskan pangkat dan jabatanku." tegas Sandi
"Aku sudah tidak takut dengan itu, silahkan beberkan aibku, tapi ingat, orangtuaku tidak akan tinggal diam. Mereka akan membuat karirmu mati, Mas ... " kecam Ayunda
"Bagiku, pangkat dan jabatan hanya titipan, Ayunda. Jika aku berjalan di koridor yang benar, aku yakin orangtuamu tidak akan mudah menumbangkan karierku. Hanya Tuhan yang bisa mencabut amanah-Nya itu." ucap Sandi dengan santai namun tegas.
"Aku ingin kita selesai, titik!" pekik Ayunda
"Pilihanmu hanya dua. Satu, rubah kelakuanmu dan tetap menjadi istriku, aku akan memaafkan kesalahanmu. Atau kedua, tunggu aku mati di medan tugas, dan pilihan kedua adalah hadiah terbaik bagimu-- dariku, Ayunda." dengan wajah tegas dan tatapan tajam, Sandi menghadapi kekerasan hati Ayunda.
"Satu hal, Ayunda. Aku tidak akan mengajukan gugatan cerai sampai kapan pun. Karena aku sudah melaksanakan tugas terbaikku sebagai seorang suami, ikrar janji pernikahan kita bukan hanya di dengarkan oleh papamu tapi makhluk langit dan bumi yang menyaksikannya. Berubah lah, selagi maaf dariku masih tak terbatas untukmu, Ayu." tegas Sandi
"Tapi sampai kapan pun aku tidak bisa mencintaimu, Mas ... kamu akan terus tersakiti dengan sikapku" jawab Ayunda frustasi.
Sandi berdiri, menatap Ayunda dengan perasaan terluka. Lalu meninggalkan wanita itu yang terdiam di ruang tengah.
Ayunda sendiri tidak mengerti, terbuat dari apa hati suaminya itu, sesabar dan se-naif itu dia sangat teguh memegang janji pada papanya dan selalu jadi menantu kesayangan di keluarganya. Sementara cinta Ayunda sejak dulu hanya untuk Farhan, kekasihnya sejak jaman kuliah dulu.
Pernikahan mereka memang karena sebuah perjodohan, sang papa yang seorang Jendral Bintang dua meminang Sandika menjadi menantunya, karena Sandi adalah prajurit teladan dan berprestasi. Papanya semakin sayang dengan Sandi karena lelaki itu sangat sabar menghadapi sifat keras kepala dan kasar Ayunda. Keterikatan Papanya dengan Sandi semakin erat bagaikan seorang ayah dan anak.
Apa jadinya jika Sandi menggugat cerai Ayunda, karena Sandi mendapatkan sosok figur seorang ayah pada diri Jendral tersebut. Dan Sandi tidak ingin melepaskan itu.
Sandi berjalan ke kamar Kanaya dengan hatinya yang terluka, dia merasa gagal mendidik istrinya.
Sebagai laki-laki harga dirinya terluka di khianati terang-terangan di depan matanya. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak, karena sejatinya dia juga menyayangi Ayunda yang telah memberi permata hati dalam kehidupannya, yaitu Kanaya.
Dengan lembut, Sandi membelai rambut putrinya. Di tatapnya wajah ayu Kanaya dimana perpaduan wajah dirinya dan Ayunda tergores di sana menjadi lukisan indah yang bernyawa.
"Ayunda, kamu tidak akan pernah tahu seberapa berharganya kamu bagi seorang laki-laki yang tidak punya tempat untuk bercerita sejak dia kecil. Saat papamu menawarkan kasih sayang padaku, saat itulah sumpah janji setiaku untuk kalian, ku ikrar kan." Lirih Sandi dalam batinnya.
*
*
Malam pun menggulung selimutnya dengan menyamarkan kabut dan sinar mentari yang mengintip perlahan menjadi pendar berwarna keemasan di bulir embun pada dedaunan dan rerumputan. Hari kembali sibuk.
Sandi mengenakan seragam satgas nya dengan pangkat yang lengkap dan di tangannya menggenggam tongkat komando sebagai tanda dia lah pemimpin sebuah pasukan yang akan di berangkatkan ke misi perdamaian di Kongo.
Kanaya menatap papanya yang berjalan menghampirinya di tenda undangan, dengan perasaan kagum dan sinar mata yang berbinar, betapa dia mencintai dan mengagumi sosok papanya, cinta pertamanya.
"Papa, rasanya terlalu cepat tanggal keberangkatan papa kali ini. Nay, berat melepaskan papa ... " Kanaya memeluk papanya yang baru saja selesai memimpin upacara pelepasan Satgas Kongo.
"Sayang, papa hanya satu tahun di sana." Sandi mengecup pucuk kepala Kanaya dengan begitu dalam dan lama.
Jauh di dalam lubuk hatinya pun Sandi gelisah akan keberangkatan tugasnya kali ini, seakan ini adalah hari terakhirnya dapat memeluk putri yang sangat dia sayangi.
"Nay, papa sudah mengatur kepindahan sekolahmu di Jakarta. Kamu akan tinggal bersama Eyangkung dan Eyang putri. Papa yakin Eyang akan menjaga Naya seperti papa menjaga Nay selama ini." pesan Sandi
"Papa ... " Kanaya tidak bisa berkata-kata lagi, hanya tangisan dan airmata yang membuah basah dada Sandi.
"Anak papa gak boleh cengeng ya, harus ceria dan tetap manja sama papa. Papa juga sudah titip kamu pada Reno. Tapi sayang Reno tidak bisa papa kenalkan hari ini, karena mamanya sedang sakit." pesan Sandi lagi
"Papa yakin Reno orang yang baik? Bagaimana jika Reno sama saja seperti Milo." nada khawatir terdengar dari suara Kanaya
"Papa yakin, sayang." kembali Sandi mengecup kening Kanaya
"Sandi, Emban tugas ini dengan baik. Papa selalu menunggu kepulanganmu!" Suara tegas sedikit bergetar dari sang mertua melerai pelukan Sandi dan Kanaya
"Siap! Akan saya laksanakan!" jawab Sandi tegas khas tentara bawahan pada seniornya.
Mertua dan menantu itu pun berpelukan dengan erat, Papa mertuanya sempat menitikkan airmata seakan firasat bahwa pelukan kali ini adalah pelukan perpisahan selamanya. Lelaki tua itu pun geram dengan putrinya yang tidak menghadiri upacara pelepasan menantunya itu dengan alasan sakit perut.
Suara panggilan dari arah boarding pass sebuah bandara terdengar, para pasukan bersiap memasuki lorong yang telah disediakan untuk pasukan perdamaian. Di sanalah batas akhir pengantaran keluarga dengan para pasukan.
Derai tangisan dan lambaian tangan keluarga yang akan ditinggalkan satgas mewarnai keberangkatan mereka, perpisahan sementara pun harus mereka hadapi demi mengemban tugas negara.
Ada hati yang berat melepaskan orang yang mereka cintai, ada senyum getir saat tidak ditemui keluarganya saat keberangkatannya karena keterbatasan. Ada juga hati sang jomblo yang ringan mengemban tugas karena tidak ada yang dirindui di negaranya.
Kanaya menyandarkan kepalanya di lengan sang kakek sambil melambaikan tangan ke arah papanya.
"Papa ... Nay akan merindukan papa!" teriaknya saat pintu pesawat sudah di tutup pramugari.
"Sudah, Nduk. Papamu akan baik-baik saja. Ada eyang yang akan menjagamu"
Dengan langkah gontai Kanaya berjalan menjauhi jendela besar yang tadi menjadi tempat favoritnya menatap kepergian papanya.
Di sisi lain, ada dua orang pemuda masih mengenakan seragam SMA berlari dengan langkah yang panjang seakan ingin mengejar pesawat yang sudah terbang membelah langit .
"Hu ... Hu ... Ren ... Udah Ren, napas gue udah gak kuat lari-lari! " teriak Dumas (dengan napas tersengal) pada Reno yang terus berlari mengejar pesawat di sebuah lapangan udara.
Bagaiman bisa mereka sampai di sana? Karena papa Dumas yang bekerja di bandara memberi mereka akses masuk sampai ke lapangan, namun sayang mereka terlambat. Pesawat sudah melesat menjauhi permukaan aspal yang mereka pijak.
"Pak Sandiiiiiii ... Aku akan merindukanmu, paaak!!" Reno berteriak dengan sekuat tenaga.
Sampai dibatas itulah usahanya menemui sang idola. Setelah mengalami perdebatan panjang dengan papanya yang ingin melukai mamanya lagi di rumah sakit hingga dia tertahan untuk menghadiri upacara pelepasan Sandi ke medan tugas.
Reno menangis pilu dengan napas yang tersengal, perasaan yang hancur karena sikap papanya yang terus menyakiti mamanya dan kehilangan sosok yang belakangan ini menjadi idolanya, berbaur menjadi satu saat ini. Hatinya di Landa kekosongan dan kehampaan.
"Ren, udah Ren! Lo udah berusaha semaksimal mungkin. Jangan meratapinya Ren!" bentak Dumas
"Gue kehilangan dia, Dum! gue butuh dia, Dum!!" teriak Reno histeris
"Ren, Lo gak bisa kayak gini. Dia cuma satgas satu tahun. Dia pasti kembali, Ren!" bujuk Dumas
"Papa gue bisa kena masalah kalau kita tertangkap berkeliaran di sini. Lo harus mikirin papa gue juga!" maki Dumas karena Reno masih saja bergeming dengan posisi bersujud meratapi kepergian Sandi.
"Ayolah Reno, gue gak mau papa gue kena masalah. Bisa-bisa gue digantung di pohon kemangi, Ren!" bujuk Dumas
Suara derap langkah setengah berlari mendekat ke arah mereka.
"Hei, Kalian! ngapain di sini!!" bentak seorang security bandara.
"Sabar om, sabar ... Saya anaknya pak Giyanto, mau nyari kantor papa tapi nyasar!" panik Dumas
Para security saling tatap, mereka tahu siapa pak Giyanto. Salah satu security mendekati mereka. "Ayo adek, kami antarkan kalian ke ruangan pak Giyanto" dengan lembut bapak itu menggiring Dumas dan Reno keluar dari lapangan bandar udara.
Dumas menarik napas dengan lega, dia melirik sahabatnya itu dengan gemas. Hampir saja mereka akan dipermalukan di kantor papanya nanti, untung saja para security yang menegur mereka sangat mengenal papanya Dumas, jadi perdebatan tidak sampai terjadi.
"Kodok! Cepet diri. Kita ke ruangan papa gue dulu!" Dumas menarik lengan Reno yang masuk menelungkupkan tubuhnya di aspal lapangan bandara.
...☘️☘️☘️☘️☘️...
Bersambung ... 💕