Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 - Jatuh Ke Lubang Yang Sama
Hari minggu pagi memang cocok dijadikan pilihan untuk berolahraga. Seperti yang dilakukan Gena dan Jenar pagi ini bersama Jihan. Dua orang itu sengaja membawa Jihan berjemur pagi sekalian jalan-jalan ke taman yang ada dekat perumahan mereka.
Ini semua adalah ide dari Gena. Ia berinisiatif mengajak Jenar jalan-jalan pagi sekalian refreshing. Hitung-hitung untuk menambah keakraban. Karena bagaimana pun mereka ke depannya akan mengasuh Jihan bersama sebelum bayi itu menemukan orang tua asuh.
“Ini kita masih lama ya? Aku udah pegel banget, nih,” keluh Jenar.
Sedari tadi gadis itu sibuk merengut-rengut karena diajak berjalan kaki. Maklum, Jenar anak rumahan. Hobbynya di hari libur kalau tidak ngedrakor, ya rebahan. Jenar paling malas diajak jogging. Jalan dikit saja ia sudah kecapean.
“Namanya jogging ya harus pegel, Je. Biar keringatan. Mana ada orang jogging naik motor?” Gena meledek.
“Tau gitu kenapa tadi kita nggak naik mobil aja? Capek banget jalan kaki.”
“Itu bukan jogging namanya,” sanggah Gena. “Lagian juga kita nggak lari-larian. Kita jalan santai biasa aja sambil dorong kereta bayinya Jihan.”
Alih-alih mendengarkan Gena, Jenar malah duduk di bangku taman. Lelaki itu sibuk menceloteh karena mengira Jenar masih berjalan di sampingnya.
“Kamu itu masih muda. Jad—lho? Kok hilang?!”kaget Gena.
Memutar kepalanya ke balik bahu, Gena mendapati Jenar duduk menyandar di bangku itu. Lelaki tersebut menghela napas, terpaksa memutar badannya menghampiri Jenar.
Niat awalnya ingin marah-marah. Tapi melihat Jenar kelelahan membuat Gena merasa sedikit bersalah karena mengajak gadis itu jalan pagi. Maka timbul inisiatif Gena untuk membelikan Jenar minum.
“Titip Jihan sebentar. Aku mau beli minum.”
Kemudian Gena pergi ke warung yang tidak terlalu jauh dari sana. Ia belikan Jenar minuman isatonik dan satu botol air mineral. Gena sibuk memilih minuman, sementara Jenar terkejut karena kemunculan Hanif yang secara tiba-tiba di hadapannya. Dari pengamatan Jenar, sepertinya lelaki ini sedang jogging pagi—sama sepertinya.
“Eh, Jenar. Sendirian aja nih?” Dokter Hanif bertanya ramah.
Jenar bercelingak-celinguk mencari keberadaan Gena. Sayangnya, lelaki itu tidak tampak batang hidungnya.
“Sama teman tadi. Dia beli minum,” Jenar mengaku.
“Halo, Baby! Lucu banget, ya dia...” Hanif tersenyum melihat Jihan. Dan tidak disangka, ternyata bayi itu juga tertawa melihatnya.
“Boleh aku gendong nggak?”
“Anu. Ak—“
Terlambat. Hanif berhasil mengambil Jihan dari kereta bayi dan ia pindahkan dalam gendongannya. Jenar tentu tidak bisa melarang Hanif, takut lelaki itu tersinggung jika tidak ia perbolehkan menggendong Jihan. Lagi pula, hanya menggendong biasa, ‘kan? Berlebihan sekali kalau Jihan tidak boleh digendong oleh orang lain selain dirinya dan Gena.
Hanif sibuk menghibur Jihan. Jihan pun tampak nyaman ditimang-timang oleh cowok tampan itu. Pegal, Hanif akhirnya mengambil space kosong di sisi Jenar untuk ia duduki.
Kenapa dia duduk di sebelah gue? Kalau Gena lihat gimana? Batin Jenar, panik. Namun ia segera menggeleng. Kenapa juga gue panik? Memang Gena siapa? Pacar juga bukan. Gue bebas mau dekat sama siapa aja tanpa takut marah!
“Oh, ya, nomor hape kamu masih yang lama enggak?”
“Ya?!” Jenar kaget. Kenapa tiba-tiba menanyakan nomor telfon? “M-masih,” jawabnya kikuk.
“Nanti aku hubungi ya? Kapan-kapan kita sharing tentang tips merawat bayi. Aku ngerasa salut sama kamu yang ambil tanggung jawab sebesar ini untuk mengasuh Jihan. Kamu keren.”
Jenar sedikit tersipu mendengar pujian itu. “Makasih, Mas.”
Jenar teringat perkataan Hana tempo hari tentang pernikahan Hanif yang sempat tertunda karena calon istrinya melanjutkan kuliah di luar negri. Harusnya Jenar senang mendengar kabar ini. Bukannya ini yang ia tunggu-tunggu sejak lama?
Kalian tidak lupa, kan, siapa yang membuat Jenar menangis sampai mengungsi ke pantai Pangandaran kala itu? Ya lelaki di sampingnya ini. Lelaki yang menjadi cinta pertamanya, lelaki yang memperlakukannya dengan lembut seolah perasaannya berbalas, nyatanya hanya menganggapnya sebatas adik sendiri.
Nggak! Jangan baper lagi sama Mas Hanif. Ingat, dia udah punya tunangan. Tunangannya lagi di luar negri sekarang! Jenar masih mempertahankan sisi waras dalam dirinya.
“Ekhm!”
Sebuah suara mengejutkan Jenar dari arah depan. Tampak Gena yang menenteng kantong plastik putih berisi air minum. Lelaki itu menyorot tegas ke arahnya.
"Halo, kamu teman Jen—“
“Jihan nggak bisa digendong sama sembarang orang. Apalagi orang asing yang nggak dekat sama dia!”
Tanpa basa-basi, Gena langsung menghampiri Hanif dan mengambil Jihan dari gendongan lelaki itu. Hanif sempat tercengang menerima perlakuan kurang mengenakan Gena. Sementara Jenar menundukkan wajahnya malu. Ia merasa tidak enak hati pada dokter Hanif yang dibentak tiba-tiba oleh cowok ngeselin itu.
“Aduh, maaf. Saya hanya pengen menggendong Jihan. Nggak bermaksud apa-apa,” kata Dokter Hanif merasa bersalah.
“Terima kasih. Tapi Jihan sangat sensitif. Saya tidak mau Jihan terkena penyakit karena digendong oleh orang yang tidak dikenal.”
Dokter Hanif yang merasa tidak disukai kehadirannya itu akhirnya pamit pada Jenar. Bahkan sempat-sempatnya Gena memelototi Dokter Hanif saat lelaki itu pamit padanya.
“Kamu apa-apaan sih! Jangan gitu. Nggak enak aku sama dia!” tegur Jenar sambil menampol tangan Gena.
Gena berkata, “aku beliin kamu minum, kamu malah kasih Jihan ke sembarangan orang. Kamu mau tanggung jawab kalau Jihan sakit karena dioper-oper?”
“Gen, please, deh. Dia cuma gendong. Lagian Mas Hanif itu dokter. Dia pasti tahu cara yang benar menggendong bayi. Jangan terlalu sensitif gitu, lah.”
“Belain aja terus!”
“Astaga. Aku nggak belain. Tapi emang kamu aja yang marah-marah enggak jelas. Jadi nggak enak aku sama dia,” keluh Jenar frustrasi.
Gena mendengkus. Sejujurnya ia juga merasa sikapnya tadi sedikit berlebihan. Tapi ia sendiri tidak mengerti kenapa begitu sulit mengontrol emosi jika melihat Hanif. Bawaannya pengen marah terus. Apalagi saat Hanif terang-terangan mendekati Jenar.
“Ya, aku salah karena tadi udah marah-marah enggak jelas. Maafin aku. Aku cuma khawatir sama Jihan.”
Lagi, Jihan dijadikan alasan oleh Gena. Malang sekali nasib bayi itu....
“Duduk dulu,” Jenar akhirnya meraih tangan Gena untuk duduk di sampingnya.
Gena menurut. Ia juga lelah karena berkeliling mencari minum.
“Ini buat aku kan?” tanya Gena seraya meraih kantong plastik kepunyaan Gena.
“Hm.”
“Aku minum, ya. Aah... haus banget.” Jenar meneguk minuman isatonik yang Gena belikan.
Gena tak henti memandangi Jenar. Salivanya turut naik turun melihat cara Jenar minum. so hot and sexy!
“Minuman kamu mana?”
Gena buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain, takut ketahuan memandangi Jenar sedalam itu.
“Nggak beli.”
“Oh ya?” Jenar menyerahkan botol minum miliknya ke Gena. “Kalau gitu minum punyaku aja. Kamu pasti haus....”
Gena menatap botol itu malu-malu, namun akhirnya menerimanya juga. Bibirnya tersenyum tipis karena bisa merasakan bekas bibir Jenar di pinggir botol itu. Rasanya dua kali lebih nikmat.
“Kamu udah cari informasi mengenai orang tua asuh untuk Jihan?” tanya Jenar. Gena nyaris menyemburkan air yang ada di mulutnya. Sial. Ia baru teringat kesepakatan mereka yang akan mencarikan orang tua asuh bagi Jihan itu.
“Belum,” geleng Gena.
“Kalau gitu kita harus cari secepatnya.” Nada bicara Jenar semakin sedih. “Biar Jihan dapat kasih sayang dari orang yang tepat.”
Bicara tentang perpisahan memang menyakitkan. Gena sendiri juga belum siap jika mereka mendapatkan orang tua asuh untuk Jihan dalam waktu dekat. Tapi, waktu terus berjalan. Akan egois rasanya jika mereka mengasuh bayi ini dalam keadaan mereka belum siap. Tidak ada jalan lain, kan? Semuanya buntu....
“Ya. Nanti aku cari.” Gena membuat keputusan.
“Aku juga.”
“Gimana? Ada yang sesuai?”
Malam ini, di kamar Jenar, mereka mengecek email yang masuk perihal pengadopsian. Keduanya sama-sama duduk di karpet sambil bersandar di kaki ranjang. Jihan telah tidur, maka dari itu keduanya memiliki waktu senggang untuk mencari orang tua asuh.
Sebagai informasi, mereka membuat postingan di sosial media. Tentunya dengan memberikan syarat-syarat terhadap calon pengadopsi. Jihan bukan anak sembarangan. Jadi, yang mengadopsinya haruslah memenuhi kriteria calon orang tua asuh. Harus penyayang dengan anak-anak, harus tahu cara mengurus anak, mapan, memiliki penghasilan di atas lima juta perbulan, dan memiliki latar belakang keluarga yang cukup baik.
“Aku nemu dua orang sih, tadi. Yang satu udah lama pengen punya anak. Udah sepuluh tahun nunggu. Tapi mereka cuma pedagang biasa. Yang satu lagi suaminya pilot. Mereka mengadopsi anak karena istrinya divonis mandul. Nggak bisa lagi menghasilkan keturunan,” ujar Jenar sambil membaca semua cv yang masuk ke emailnya.
“Suruh mereka datang ke sini. Kita harus lihat secara langsung gimana mereka berinteraksi sama Jihan. Nggak boleh asal pilih,” kata Gena protektif.
Maka Jenar mengiyakan. Ia terlihat seperti sekretaris Gena yang menuruti semua perkataan lelaki itu.
Melihat rambut Jenar yang tergerai, Gena jadi gemas sendiri. Beberapa kali dari tadi Jenar merapikan rambutnya. Namun, rambut itu kembali menjuntai ke depan. Alhasil Gena berinisiatif mencopot karet gelang di tangannya, lantas merapatkan posisi duduknya pada Jenar.
"Coba duduknya membelakangi aku,” titah Gena sambil menyentuh helaian rambut Jenar.
Jenar tentu saja terkejut. Namun ia tetap menuruti perkataan lelaki itu. Jenar memutar duduknya menjadi membelakangi Gena. Dan bersamaan dengan itu dapat ia rasakan tangan lelaki tersebut bergerak-gerak mengumpulkan rambutnya. Kepala Jenar ikut bergoyang-goyang mengikuti arah pergerakan Gena.
Deg-degan. Itulah yang Jenar rasakan saat ini. Pipinya memerah, perutnya terasa seperti diterbangi ribuan kupu-kupu. Gena selalu bisa membuatnya senyaman ini. Bahkan rasanya lebih nyaman dibanding pertemuan mereka di pantai Pangandaran dulu.
“Gini kan cantik,” bisik Gena, tepat di belakang telinga Jenar.
Bulu kuduk Jenar meremang. Badannya mendadak kaku saat Gena menaruh dagu di bahunya.
“Pinjam bahumu bentar,” kata Gena serak.
Mata lelaki itu memejam saat kantuk menyerangnya. Ia tidak tahu saja Jenar segelisah apa menerima perlakuan tiba-tiba ini.
Gena ... lelaki itu benar-benar tertidur. Jenar perlahan menggerakkan tangannya untuk menyentuh pipi Gena. Ia tepuk-tepuk pipi lelaki itu, yang mana semakin membuat tidur Gena pulas.
Jenar tersenyum hangat. Tanpa ia sadari, ia jatuh ke lubang yang sama.
Jatuh kedua kalinya....
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
cinta atau obsesi
😇😇😇