Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 28
Mereka berjalan menyusuri koridor vila yang remang-remang. Adrasta terus menggenggam tangan Rania, seolah memastikan bahwa ia tetap dekat dan terlindungi. Sesekali, ia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.
Setibanya di garasi, Adrasta membuka pintu mobil SUV hitam yang terparkir rapi. Ia membantu Rania masuk sebelum bergegas ke sisi pengemudi. Mesin mobil menderu pelan saat dihidupkan, dan tanpa membuang waktu, mereka melaju meninggalkan vila menuju kegelapan malam. Di dalam mobil, suasana hening. Hanya suara deru mesin dan hembusan napas mereka yang terdengar.
Rania menatap ke luar jendela, mencoba mencerna situasi yang terjadi begitu cepat. la merasa campuran antara ketakutan, kebingungan, dan... sesuatu yang lain saat menyadari betapa protektifnya Adrasta terhadapnya. Setelah beberapa saat, Rania memecah keheningan.
"Adrasta, kenapa kamu begitu peduli padaku? Setelah semua yang terjadi antara kita..."
Adrasta tetap fokus pada jalan di depannya, namun rahangnya mengeras. la tampak bergulat dengan emosinya sendiri sebelum akhirnya menjawab, "Karena aku tak ingin kehilanganmu, Rania. Aku sudah kehilangan Alina, dan aku tak bisa membiarkan hal yang sama terjadi padamu."
Kata-kata itu menusuk hati Rania. la merasakan ketulusan dalam suara Adrasta, sesuatu yang jarang ia temui sebelumnya. Air mata menggenang di pelupuk matanya, namun ia menahannya, tak ingin menunjukkan kelemahannya.
Setelah perjalanan yang melelahkan dan penuh ketegangan, Adrasta dan Rania akhirnya tiba di rumah terpencil di pinggiran kota. Rumah itu dikelilingi oleh pepohonan lebat, memberikan rasa aman dan privasi yang sangat dibutuhkan. Bangunan kayu sederhana itu tampak hangat dan mengundang, kontras dengan ketegangan yang baru saja mereka alami.
Adrasta membuka pintu dan mempersilakan Rania masuk lebih dulu. Begitu melangkah masuk, Rania merasakan kehangatan yang menenangkan. Interior rumah itu sederhana namun nyaman, dengan perabotan kayu dan pencahayaan lembut yang menciptakan suasana damai. Jendela-jendela besar memungkinkan sinar matahari pagi masuk, menerangi ruangan dengan cahaya alami.
Adrasta menutup pintu di belakang mereka dan meletakkan tas di lantai. la menatap Rania dengan lembut, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Ini mungkin bukan tempat yang mewah, tapi aku harap kamu merasa nyaman di sini," kata Adrasta dengan suara rendah namun penuh perhatian. Rania mengangguk pelan, matanya menjelajahi ruangan itu.
"Tempat ini... terasa seperti rumah," bisiknya, suaranya dipenuhi kelegaan. Adrasta tersenyum tipis, merasa lega mendengar kata-kata Rania. Ia berjalan menuju dapur kecil yang terhubung langsung dengan ruang tamu. "Kamu pasti lapar. Aku akan menyiapkan sesuatu untuk kita makan," ujarnya sambil mulai mengeluarkan bahan makanan dari lemari.
Rania mengikutinya ke dapur, merasa enggan untuk berpisah darinya meski hanya sejenak. la memperhatikan Adrasta yang dengan cekatan menyiapkan makanan sederhana. Gerakan tangannya terampil, menunjukkan bahwa ia terbiasa melakukan hal ini.
"Aku tidak tahu kalau kamu bisa memasak," kata Rania, mencoba mencairkan suasana. Adrasta tertawa kecil, suara yang jarang didengar Rania sebelumnya.
"Ada banyak hal tentang aku yang belum kamu tahu," jawabnya sambil melirik Rania dengan tatapan hangat. Percakapan itu membuat Rania merasa lebih rileks. la menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada ketakutannya sendiri, hingga lupa bahwa Adrasta juga memiliki sisi lain yang belum ia kenal. Setelah makan, mereka duduk bersama di ruang tamu. Hening sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Rania akhirnya memecah keheningan.