Dunia tiba-tiba berubah menjadi seperti permainan RPG.
Portal menuju dunia lain terbuka, mengeluarkan monster-monster mengerikan.
Sebagian manusia mendapatkan kekuatan luar biasa, disebut sebagai Player, dengan skill, level, dan item magis.
Namun, seiring berjalannya waktu, Player mulai bertindak sewenang-wenang, memperbudak, membantai, bahkan memperlakukan manusia biasa seperti mainan.
Di tengah kekacauan ini, Rai, seorang pemuda biasa, melihat keluarganya dibantai dan kakak perempuannya diperlakukan dengan keji oleh para Player.
Dipenuhi amarah dan dendam, ia bersumpah untuk memusnahkan semua Player di dunia dan mengembalikan dunia ke keadaan semula.
Meski tak memiliki kekuatan seperti Player, Rai menggunakan akal, strategi, dan teknologi untuk melawan mereka. Ini adalah perang antara manusia biasa yang haus balas dendam dan para Player yang menganggap diri mereka dewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theoarrant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju Sumatera
Kabar tentang hilangnya Selena Ignis mulai mengguncang dunia para Player di Jakarta.
Ketua Guild Blazing Rose, yang dikenal sebagai salah satu Mage Api terkuat yang pernah dimiliki Guild Black Lotus, tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Tanpa komunikasi tanpa tanda-tanda kehidupan.
Sesuatu yang mustahil terjadi pada orang sekuat dirinya.
Guild Black Lotus, yang selama ini mengawasi pergerakan Blazing Rose, segera mengirim tim penyelidik, namun, mereka tidak sendiri.
Dua Guild besar lainnya setingkat Blazing Rose ikut turun tangan.
Mereka mencurigai ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.
Sesuatu yang bisa mengancam keseimbangan kekuatan di Indonesia.
Tiga Guild raksasa itu menerjunkan tim elit mereka.
Dan jika mereka menemukan jejak yang mengarah ke orang yang bertanggung jawab...
Mereka tidak akan ragu untuk membunuhnya.
*****************************
Di sebuah laboratorium rahasia, jauh di bawah tanah, Rai, Ruben, dan Profesor Lamberto bergerak cepat.
Rai menatap layar monitor yang menampilkan siaran berita terbaru.
"Pencarian Ketua Guild Blazing Rose, Selena Ignis, masih terus berlanjut.
Beberapa sumber menyatakan bahwa ia terakhir kali terlihat di sebuah fasilitas tersembunyi yang kini telah dihancurkan."
Dia tersenyum tipis.
Tepat seperti yang ia perkirakan.
"Kita harus segera pergi," kata Rai.
Profesor Lamberto mengangguk, tangannya sibuk mengemas data penelitian dan prototipe senjata ke dalam koper khusus.
"Aku sudah menyiapkan semua penelitian, begitu kita sampai di lokasi baru, aku bisa lanjut bekerja."
"Bagus."
Rai menoleh ke Ruben.
"Bagaimana dengan jejak yang kita tinggalkan?"
Ruben menyeringai.
"Tidak ada yang tersisa, semua peralatan telah dihancurkan, dan aku sudah menanam beberapa jebakan kecil, jika mereka menemukan tempat ini... mereka hanya akan menemukan reruntuhan."
Rai mengangguk puas.
Mereka tidak bisa membiarkan ada bukti.
Jika Guild Black Lotus menemukan jejak mereka, itu akan menjadi akhir dari segalanya.
***********************************
Sebelum pergi, Rai menemui seseorang yang sudah lama membantunya.
Pak Hari.
Lelaki tua itu, yang telah menjadi seperti figur ayah bagi Rai setelah tragedi yang menimpa keluarganya.
Mereka bertemu di dojo, tempat latihan Rai selama ini
Pak Hari menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran.
"Jadi, kau benar-benar akan pergi?"Rai mengangguk.
"Ya...Ini sudah waktunya, target berikutnya ada di Sumatra."
Pak Hari menarik napas dalam.
"Aku tidak akan menanyakan rencanamu, tapi kau harus ingat... dunia yang kau lawan ini tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja."
Rai tersenyum tipis.
"Aku tidak berniat pergi, aku akan menghabisi mereka satu per satu."
Pak Hari menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas.
Dia merogoh sakunya dan menyerahkan sesuatu pada Rai.
Sebuah medali besi tua dengan ukiran rumit di permukaannya.
"Jika kau sampai di Sumatra, temui seseorang bernama 'Bangsawan Hitam', Berikan ini padanya, dia akan mengerti."
Rai menerima medali itu dengan alis terangkat.
"Bangsawan Hitam? Siapa dia?"
"Seseorang yang bisa membantumu."
Pak Hari menepuk bahu Rai sebelum Rai pergi.
"Berhati-hatilah, Nak."
Dan dengan itu, Rai meninggalkan Pak hari dan Jakarta untuk sementara.
Rai menggenggam medali itu erat.
Bangsawan Hitam... siapa pun dia, sepertinya dia akan menjadi bagian dari perjalanannya.
Dengan segala persiapan yang telah matang, mereka meninggalkan fasilitas rahasia itu.
Mobil mereka melaju di jalanan gelap, meninggalkan semua yang ada di belakang.
Menuju Sumatra.
Menuju babak baru dalam perburuan balas dendam ini.
*************************************
Langit malam menyelimuti jalan raya yang sepi.
Mobil hitam yang dikendarai Ruben melaju dengan kecepatan stabil, menembus kegelapan.
Di dalamnya, Rai duduk di kursi penumpang depan dengan tatapan tajam menatap jalan di depan.
Profesor Lamberto di kursi belakang, sesekali menatap layar tabletnya, membaca laporan-laporan terbaru mengenai pergerakan Guild Black Lotus.
Mereka telah meninggalkan Jakarta. Sekarang, perjalanan menuju Sumatra telah dimulai.
Namun, satu rintangan besar menanti di depan.
Perbatasan.
Untuk masuk ke Sumatra, mereka harus melewati Jembatan Penghubung Sumatra, satu-satunya jalur darat yang menghubungkan kedua pulau.
Dan di sana, Guild Iron Fang menjaga perbatasan dengan ketat.
Iron Fang adalah guild kejam dan korup, menguasai seluruh Sumatra dengan tangan besi. Setiap orang yang ingin melintas harus membayar.
Atau mati.
"Kita tidak bisa menerobos begitu saja," kata Profesor Lamberto, memecah keheningan.
Ruben mendengus.
"Jadi kita harus menyogok mereka?"
"Tidak semudah itu," sahut Rai.
"Mereka tidak hanya mencari uang, mereka mencari informasi dan kita adalah orang asing."
Mereka terdiam sejenak.
Lalu Rai mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
Sebuah batu kecil berwarna biru tua, berkilauan di bawah cahaya lampu mobil.
Rune Stone.
Batu langka yang mengandung energi mana murni.
Jika diekstrak, batu ini bisa menghasilkan ribuan kristal mana, sumber daya utama bagi para Player.
Rai mendapatkannya dari hasil jarahan Guild Blazing Rose.
"Ini lebih berharga dari uang," kata Rai.
"Jika kita memberikannya, mereka tidak hanya akan membiarkan kita lewat, mereka mungkin akan menganggap kita sebagai rekanan."
Profesor Lamberto mengangkat alis.
"Kau yakin itu cukup?"
Rai menyeringai.
"Kita akan buat mereka berpikir begitu."
Dua jam kemudian, mereka tiba di perbatasan.
Jembatan besar terbentang di depan mereka, menjulang di atas lautan yang gelap.
Cahaya lampu-lampu dari pos penjagaan bersinar terang, menerangi puluhan kendaraan yang antre untuk diperiksa.
Pos pemeriksaan bukan sekadar gerbang biasa.
Ini adalah benteng militer.
Drone pemantau berpatroli di udara, puluhan Player berbaju besi berwarna hitam menjaga setiap sudut.
Dan di tengah semua itu, seorang pria bertubuh besar berdiri dengan tangan terlipat di depan dadanya.
Kapten Bakar.
Seorang Rank C+, komandan perbatasan Iron Fang.
Seorang pria yang bisa membunuh mereka dalam sekejap.
Ruben mengetuk setirnya dengan gelisah.
"Aku punya firasat buruk tentang ini."
Rai hanya tersenyum tipis.
"Tenang saja, kita hanya perlu bermain sedikit."
Mereka maju ke depan gerbang.
Dua Player berbaju besi segera menghentikan mobil mereka.
"Keluar dari kendaraan."
Rai turun dengan tenang, diikuti Ruben dan Profesor Lamberto.
Salah satu penjaga mendekat.
"Tujuan perjalanan?"
"Bisnis," jawab Rai santai.
Penjaga itu menatapnya curiga.
"Bisnis apa?"
Rai tersenyum kecil, lalu dia mengeluarkan tas kecil dan melemparkannya ke tanah.
Penjaga itu menatapnya sejenak sebelum membungkuk untuk membukanya.
Di dalamnya, tiga Rune Stone bersinar redup.
Seketika, mata penjaga itu melebar.
Ini adalah barang yang bahkan Player Rank A sekalipun akan berebut untuk mendapatkannya.
Mereka saling pandang, kemudian, salah satu dari mereka mengambil tas itu dan bergegas menuju pos utama.
Beberapa menit kemudian, Kapten Bakar sendiri keluar dari pos utama.
Matanya langsung tertuju pada Rai.
Dia mengambil salah satu Rune Stone dan menggenggamnya di telapak tangannya.
"Hmm..."
Dia mengangkat kepalanya dan menatap Rai tajam.
"Darimana kau mendapatkan ini?"
"Pasar gelap," jawab Rai tanpa ragu.
"Kami punya kontak di sana."
Kapten Bakar mengangkat alis.
"Pasar gelap, ya?"
Dia tersenyum.
Tapi itu bukan senyum ramah, itu senyum penuh ketamakan.
"Aku bisa mengambil barang ini dan membunuh kalian sekarang juga," katanya, suaranya berat.