bagaimana rasanya ketika kamu mendapatkan sebuah penawaran uang kaget?
Rara di hina dan di maki selama hidupnya.
Ini semua karena kemiskinan.
Tapi ketika dia merasa sudah menyerah, Dia mendapatkan aplikasi rahasia.
Namanya uang kaget.
Singkatnya habis kan uang, semakin banyak uang yang kau habiskan maka uang yang akan kamu kantongi juga akan semakin banyak.
Tapi hanya ada satu kesempatan dan 5 jam saja.
Saksikan bagaimana Rara menghasilkan uang pertama kali di dalam hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Ruangan rumah sakit kembali sunyi setelah para tamu terakhir berpamitan. Hanya tinggal Arya dan Rara, duduk berdua dalam hening yang terasa begitu dalam.
Hening, namun bukan sepi… melainkan penuh oleh rasa yang tak bisa segera diungkapkan.
Arya masih termenung di sisi tempat tidur adiknya, dia masih berusaha memahami kenyataan yang baru saja ia dengar dan saksikan.
Kakak mana yang bisa percaya jika adik perempuan nya lebih mampu di bandingkan dengan dirinya sendiri.
Dan ini bukanlah dalam hal kemampuan tapi dalam hal keberuntungan .
Hem bertemu dengan uang kaget bergetar adalah hal satu dalam miliyaran kan.
Huf..
Arya kembali mendesah.
Rara melihatnya begitu, dia juga menghela napas pelan.
"Kak…"ucapnya lirih. "Kalau Kakak belum percaya, aku tunjukkan buktinya."
Rara lalu meraih tas kecil di atas meja samping. Dari dalamnya, dia mengeluarkan beberapa map dokumen berwarna krem. Satu per satu dibukanya dan diserahkan pada Arya. Di sana tertera sertifikat kepemilikan atas villa di Puncak, sertifikat apartemen sertifikat showroom Honda bahkan cukup sertifikat pesawat pribadi.
Tangan Arya gemetar saat membuka lembar demi lembar, lalu tiba-tiba Rara meraih ponselnya dan membuka aplikasi perbankan. Dia memperlihatkan saldo rekening utamanya.
Rp780.000.000.000.
(aku kurang tahu bagaimana menuliskan 780 miliar ya jadi anggap saja di atas itu 780 miliar)
Arya terdiam. Mulutnya terbuka namun tak ada kata keluar. Tatapannya tertuju ke angka itu, lalu ke wajah adiknya yang tersenyum lemah tapi tenang.
"Ra Aku… aku nggak mimpi, kan?" bisiknya lirih. "Tujuh… ratus… delapan puluh… miliar?"
Rara mengangguk kecil.
"Itu baru satu rekening. Aku belum buka yang deposito dan investasi lain."tambah Rara di dalam hati.
Bukan dia ingin menyembunyikan ini dari mata kakaknya tapi beberapa hal terkadang lebih baik menyembunyikannya sedikit agar tidak menimbulkan sebuah kesalahan yang tidak perlu.
Arya yang sudah melihat bukti ,tak kuasa menahan air matanya. Dadanya berguncang hebat, dan tiba-tiba ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu terduduk di lantai.
"Alhamdulillah… Ya Allah… Alhamdulillah…"
Tangisnya meledak, bukan karena sedih, tapi karena syukur. "Terima kasih… ya Allah… Engkau selamatkan kami lewat adikku sendiri… terima kasih…"
Dia lalu menunduk, menempelkan dahinya ke lantai putih ruangan rumah sakit dan bersujud syukur, memuji Sang Pencipta yang Maha Baik.
Melihat itu, air mata Rara menetes pelan. Dia segera turun dari tempat tidur, meski tubuhnya masih lelah, lalu ikut bersimpuh di lantai bersama sang kakak. Keduanya bersujud syukur—bukan karena harta semata, tapi karena mereka tahu bahwa di tengah reruntuhan harapan… Tuhan belum pernah benar-benar pergi.
Dan untuk pertama kalinya sejak musibah melanda keluarga mereka, langit terasa lebih terang… karena mereka kini tahu, mereka tidak sendirian.
Ada Allah di atas segalanya.
Arya mengusap air matanya dengan punggung tangan, mencoba menenangkan diri. Ditatapnya wajah adiknya yang pucat namun tetap menampilkan senyum lembut. Dengan perlahan, dia berdiri dan membimbing Rara kembali ke tempat tidur.
"Kakak, percaya kan sekarang?"kata Rara seperti anak kecil yang sedang butuh pujian.
Dia mencoba bangkit tapi di tahan oleh Arya.
"Duduk dulu, jangan terlalu banyak bergerak," kata Arya sambil membenahi bantal dan menyampirkan selimut ke kaki adiknya.
Rara menurut, meski matanya masih berkaca-kaca. Arya lalu duduk di sisi ranjang, merapikan helaian rambut Rara yang sedikit acak-acakan.
"Rambut kamu… masih sama, suka berantakan kalau habis marah atau nangis," ucapnya mencoba mencairkan suasana dengan senyuman kecil.
Rara terkekeh lirih, lalu hanya mengangguk pelan.
"Hem"
Hening sejenak menyelimuti mereka.
Lalu Arya menarik napas dalam-dalam. Tatapannya mengarah ke jendela, tapi pikirannya ada pada angka fantastis yang baru saja ia lihat.
870 miliar… jumlah itu terngiang-ngiang di kepalanya. Jumlah yang bahkan mustahil bisa dicapai olehnya… bahkan oleh Papa mereka .
"Rara…" katanya pelan.
Arya menelan ludah dan berkata di dalam hati."Aku tahu… uang itu milikmu. Dan aku tahu, aku nggak punya hak apa-apa atas itu."
Berat rasanya mengucap ini.Bibir Arya seperti di kunci saja rasanya.Dengan cepat dia mengubah nada.
"Tapi… kakak ingin tahu. Kamu sudah punya rencana ke depannya? Maksud Kakak... Rencana dengan semua uang yang kamu punya sekarang?"
Arya berusaha menatap mata adiknya, tapi ada kerendahan hati dalam sorot matanya. Dia tahu betul… adik yang dulu dikenal manja dan suka menghambur-hamburkan uang, kini berdiri jauh lebih tinggi darinya
Dia ingat Doni.
Saat senang Doni adalah sahabat tapi saat susah Doni meninggal dia dengan sejuta luka.
Arya butuh uang sekarang tapi dia tidak ingin kata kata ini membuat Rara ilfill .Hubungan adik kakak lebih baik di pisah ka dari yang namanya hutang.
Tapi dia juga tidak berdaya.
Jadi Arya berkata lagi dengan ragu.
"Kakak tahu… perusahaan Papa dalam bahaya. Dan kakak ingin menyelamatkannya. Tapi… kakak juga sadar, kakak tidak bisa memaksa kamu untuk mengorbankan semuanya demi itu. Apalagi… ini hasil kerja kerasmu sendiri. Bukan warisan."
Rara memandang kakaknya lama. Tatapan itu tidak penuh amarah, juga tidak penuh kesombongan. Justru sebaliknya,ada kelembutan di sana. ada cinta adik terhadap kakak yang nyaris kehilangan harapan.
Uang tidak ada artinya di hadapan saudara mu sendiri.Tapi Rara juga punya sikap egois dan realistis.
"Aku memang dulu cuma bisa belanja dan bersenang-senang, Kak,"ucap Rara pelan.
"Tapi siapa sangka… uang-uang yang kubelanjakan ternyata justru jadi titik awal aku bisa dapat semua ini. Aku belajar dari program itu, belajar dari rasa frustasi dan ingin mati yang pernah nyaris membunuh aku."
Dia menggenggam tangan Arya, erat.
"Tapi Kak, aku nggak pernah lupa… siapa yang pertama kali ngajarin aku untuk berdiri. Kamu. Dulu, waktu aku kecil dan jatuh dari sepeda, kamu yang pertama kali bilang: 'Kalau kamu nangis terus, nanti sepedanya pikir kamu lemah.'”
Arya tersenyum getir,itu dulu sekarang,dia malah iri pada sepeda yang mampu menopang adik nya kan
"Kita keluarga, Kak. Kalau kamu butuh bantuanku… ya tentu aku akan bantu. Tapi bukan karena aku kasihan. Karena aku percaya… kita bisa sama-sama berdiri lagi. Bukan hanya kamu yang butuh aku, tapi aku juga butuh kamu."
"Ra makasih ya karena kamu ngerti kakak.Kakak pasti akan berusaha keras untuk mengembalikan uang mu lagi, kakak janji Ra "Arya memeluk Rara, kali ini lebih erat, lebih dalam.
Dalam pelukan itu, tak ada yang perlu dibuktikan… karena cinta keluarga tak pernah perlu alasan logis.
Setelah keheningan beberapa saat, suara lembut Rara memecah kesunyian.
" tapi Kak…" ucapnya.
"Aku ingin kakak kembali fokus menyelesaikan S1-mu di Swiss. Jangan langsung terjun menangani perusahaan. Kita bisa bayar manajer profesional yang jauh lebih berpengalaman untuk sementara waktu. Aku akan bantu suntikkan dana, sedikit saja sudah cukup agar perusahaan tidak jatuh."
Arya menggeleng cepat. "Manajer profesional itu mahal, Ra. Aku nggak tega kamu harus buang uang sebanyak itu."
Rara tersenyum tipis, tapi tatapannya tajam . Kakak nya masih harus banyak belajar. dia bahkan belum memiliki pengalaman apapun dalam bidang ini.
Dulu kakaknya tidak memiliki kesempatan tapi karena uang semua jalan terbuka lebar.
Ada baiknya Kakak marah belajar lebih banyak dan mencari pengalaman sebelum menceburkan diri dalam dunia usaha.
Bukan nya meremehkan tapi Arya memang belum siap untuk itu.
"Lebih baik mahal, Kak… daripada bangkrut karena orang yang tidak punya pengalaman. Dan maaf, tapi kakak sendiri tahu itu kenyataan."
Kata-kata itu seperti tamparan halus. Arya terdiam, namun dalam hatinya ia tahu,Rara benar. Ia sudah membuktikan sendiri, hanya dalam beberapa bulan memegang kendali perusahaan, kerusakan mulai terasa. Banyak keputusan gegabah, banyak tekanan yang tak mampu ia tanggung.
"Kamu benar," gumamnya pelan. "Aku masih harus belajar...Banyak."
Ia menunduk, namun dalam hati, sebuah tekad mulai tumbuh. Ia tidak akan membiarkan rasa malu ini berlarut-larut.
Ia harus bangkit.
Ia akan kembali ke bangku kuliah dan belajar dengan sungguh-sungguh, demi keluarga dan masa depan.
Sementara itu, Rara melanjutkan.
"kak mari siapkan proses pemindahan Mama dan Papa ke rumah sakit di luar negeri. Sekarang kita tidak kekurangan dana, Kak. Kesehatan mereka adalah prioritas."
Untuk urusan mama dan papa ,Arya langsung mengangguk setuju.
Kemudian dengan nada lebih santai tapi serius, Rara bertanya, "Kalau uang Rp780 miliar itu disimpan di bank, Kak… kita dapat bunga, kan? Kira-kira berapa?"
Arya terperangah, lalu cepat-cepat menjawab seadanya, "Eh… iya, ada bunganya sih. Tapi… aku juga kurang tahu pasti berapa jumlahnya."
Arya pikir, kebutuhan bulanan mereka akan membengkak ketika mama dan papa di bawa keluar negri.Apalagi biaya kuliah nya di Swiss juga tidak murah.
Tapi Rara sebenarnya ingin menyimpan uang ini terlebih dulu.
Tapi berapa bunga bank sekarang.Apa cukup untuk menutupi kebutuhan hidup.
Arya bingung harus berkata apa.Tapi Rara tidak tahu pikiran Arya.Dia sibuk memikirkan bunga bank.
"Kalau disimpan di deposito, Kak," ujar Rara pelan sambil membuka kalkulator di ponselnya, "aku bisa dapat bunga sekitar dua sampai tiga miliar per bulan. Itu kalau pakai bunga 3% sampai 5% per tahun."
Arya ternganga. "Sebulan? Dua atau tiga Miliar?"
Arya tidak bisa tidak menahan mulutnya untuk tidak terbuka.Kau tau keuntungan yang didapatkan oleh papanya sejalan didirikan perusahaan, masih jauh dari satu milyar perbulan.
Tapi Rara,dia hanya menyimpan jadi deposito dan bisa mendapatkan sebanyak itu.
Wah gila.
Rara mengangguk. "Makanya aku pikir… untuk sekarang, lebih baik uang itu tetap di rekening. Aku pakai bunganya aja buat hidup dan bantu-bantu. Modal perusahaan cukup pakai sebagian kecil dulu."
"Yuk, kita hitung bareng nanti," ucap Rara sambil tersenyum. "Tapi intinya, aku nggak mau otak-atik uang itu dulu. Aku hanya akan pakai untuk suntikan ke perusahaan Papa dan Mama. Sisanya? Biarkan mengendap dan menghasilkan bunga."
Jika perlu dia akan meminjam uang di bank dengan bunga rendah.Sekarang Rara punya beberapa hal yang bisa di jadikan angunan.
Dengan cara ini, uang Rara masih bisa disimpan demi mengambil bunga deposito nya untuk biaya medis papa dan mama.
Hidup adalah hal yang tidak terduga hari ini kau memiliki uang siapa tahu hari esok segalanya akan hilang.
Makanya Rara membiarkan satu jalan untuk masa depan.
Ia menatap kakaknya dalam-dalam. "Bukan karena aku malas… tapi aku juga ingin lanjut S1-ku di luar negeri setelah lulus bulan depan. Kita harus belajar hidup mandiri, Kak. Kita terlalu lama hidup tergantung sama keluarga dan uang warisan. Akibatnya? Kita jatuh waktu ujian datang."
Ucapan Rara menusuk hati Arya, tapi bukan dengan cara menyakitkan melainkan menyadarkan. Arya mengangguk dalam diam.
"Kamu benar… Seandainya dari dulu kita belajar mandiri, mungkin nggak akan begini," gumamnya pelan.
Arya teringat kembali betapa gugup dan tidak siapnya ia waktu mengambil alih perusahaan. Hanya hitungan bulan, semuanya nyaris ambruk. Ia tak ingin lagi menjadi orang yang menyusahkan. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa dipercaya.
"Baiklah, Rara," katanya mantap. Dia akan belajar lagi sebelum terjun sepenuhnya di dunia bisnis.
"Aku akan urus semua keperluan untuk Papa dan Mama ke luar negeri. Sekalian… aku juga akan lanjutkan kuliahku di sana."
Rara tersenyum lega. "Bagus. Aku akan selesaikan SMA-ku di sini, tinggal sebulan lagi sampai ijazah keluar. Setelah itu, kita bisa ketemu lagi di luar negeri."
Bukan saja Arya tapi dia juga perlu belajar banyak hal.
Keduanya bertukar senyum, sebuah awal baru sudah mulai terbentuk. Bukan lagi dengan air mata dan keputusasaan, tapi dengan tekad dan rencana yang matang.
Setelah itu kakak dan adik ini berbicara tentang masa depan.
Rara akan mengurus masalah keuangannya terlebih dahulu sementara area hati dapat memikirkan apapun. dia harus memprioritaskan kesehatan paparan mama dan juga kuliahnya tentu saja.
Arya memilih negara Swiss untuk mengobati mama dan papa. Karena dia sekolah di negara yang sama itu akan lebih mempermudah area untuk memperhatikan perkembangan keduanya.
Sementara rara sendiri berencana untuk menyusul ke Swiss setelah benar-benar meninggalkan sma-nya
Nanti mereka keluarga dari 4 orang akan bergabung kembali di negara orang.
Apa mngkin rara menghancurkan bisnis mereka sprt arya lakukan
dasar si doni masa si rara mau dbeli emangnya barang🥴