Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bubur Manado
Hari Sabtu berikut, Dion memenuhi janjinya menemani Wanda menikmati Bubur Manado yang berada di kompleks perumahan militer berdekatan dengan Bandara Polonia Medan.
Pagi-pagi sekali ia dan Meyleen menjemput wanita itu dari rumahnya. “Kita berolahraga di sana saja, di dekat penjual bubur. Di sana ada lapangannya juga,” ujar Dion kepada Wanda.
Wanda yang sudah mengenakan pakaian joging memasuki mobil Meyleen. Sepanjang perjalanan, Dion hampir tak berkesempatan bercerita karena Meyleen dan Wanda sudah heboh dengan rencana mereka hari itu.
“Kita joging di sini. Belum terlalu ramai bukan? Setiap Sabtu pagi di sini juga diadakan aerobic massal, ada instrukturnya,” kata Dion sambil turun dari mobil yang diparkirkan di dekat sebuah lapangan sepak bola.
Ketiganya melakukan lari pagi mengitari lapangan itu bersama beberapa warga yang melakukan aktivas serupa. Warga didominasi oleh lelaki berbadan tegap yang tampaknya merupakan anggota militer.
Hampir setengah jam, Meyleen dan Wanda yang sudah kelelahan mulai melakukan pendinginan sebelum mengistirahatkan diri. Sementara itu Dion masih tampak melakukan larinya mengitari lapangan itu.
“Wah kalian sudahan?” tanya Dion pada keduanya.
“So rasa lalah,” sahut Wanda.
“Baiklah, aku akan melakukan sprint dan pendinginan lalu kita makan bubur!” seru Dion lalu mengambil ancang-ancang untuk melakukan sprint seperti yang biasa ia lakukan di akhir joging-nya sebelum melakukan pendinginan.
Perhatian Wanda dan Meyleen kemudian kembali tertuju pada Dion yang sedang melakukan pendinginan di ujung lapangan sambil berbincang dengan seorang pria paruh baya yang baru akan melakukan joging.
Dion dan pria itu cukup akrab, terlihat dari cara mereka bercerita sambil tertawa sambil berjalan ke arah Wanda dan Meyleen yang kini sudah duduk di sebuah bangku panjang di pinggir lapangan.
“Om, kita pe tamang, Ibu Wanda dan Meyleen. Nah Ibu Wanda ini kawanua. Aku bawa kemari untuk makan bubur Manado,” Dion memperkenalkan Wanda dan Meyleen pada pria itu.
Kepada kedua wanita sahabatnya itu, Dion juga memperkenalkan pria itu yang ia sebut sebagai Om Roy, seorang anggota militer yang juga adalah anggota sasana tempat Dion berlatih tinju.
“Kalian sarapan lah lebih dulu. Aku baru akan mulai lari,” Om Roy yang mulai melakukan pemanasan mempersilahkan Dion dan temannya sarapan terlebih dahulu.
“Di sini ada komunitas Minahasa atau orang yang pernah tinggal di Sulawesi Utara. Umumnya anggota dan keluarga militer yang bertugas di sini,” jelas Dion sambil melangkah memasuki lorong kecil bersama Wanda dan Meyleen.
“Pagi, Tanta Ola!” sapa Dion pada seorang wanita yang sibuk mengurusi dagangannya.
“Pagi! Baru dapa lia ngana. Habis olahraga ngoni?” sapa wanita itu.
“Ioh. Kong, mana Om Utu dang?” tanya Dion lagi ketika tak melihat suami wanita itu di sekitar situ.
“Ada hambak di luar kota, menyopiri orang pesta ke Tapanuli. Deng sapa dang ini?” tanya wanita itu lagi.
“Napa kita pe tamang, Tanta Wanda deng Cece Mey. Kita mo se tunjung tinutuan paling sadap se kota Medan pa dorang,” Dion memperkenalkan Wanda dan Meyleen.
“Rupa betul-betul jo ngana,” sahut Ola malu-malu itu sambil menyalami Wanda dan Meyleen. Wanita itu gembira ketika Wanda juga menggunakan dialek Melayu-Manado.
Meyleen dan Dion membiarkan keduanya berbincang sementara ia menjelaskan daftar menu yang tertulis di dinding kepada Meyleen.
“Ngana ini pang ba dusta, kang! Tempo hari bilang ‘masih dapa lia cewek-cewek’, mar tadi bilang tanta,” gerutu Wanda membuat Dion garuk-garuk kepala.
“Kita bilang begitu kan ke sesama ‘tanta’. Nanti kalau kenalin ke cowok aku bilang Nona Wanda, deh,” sahut Dion membuat Wanda, Meyleen, ibu penjual tertawa dan beberapa pelanggan yang terlebih dahulu berada di tempat itu tertawa.
Pagi itu Wanda tampak gembira. Bukan hanya karena bisa melepas rindunya pada makanan tradisional yang memang enak dan autentik, tapi juga karena suasana yang familiar buatnya.
Wanda yang penasaran kemudian bertanya bagaimana Dion bisa berbicara menggunakan dialek Manado. Secara singkat Dion menceritakan bagaimana ia berteman dengan orang-orang Indonesia timur, termasuk Minahasa di kepulauan Riau karena tinggal di asrama berdekatan.
“Lantaran sering bapontar pa dorang, lama-lama ta iko,” jelas Dion.
“Jadi sudah terbiasa dengan makanan Minahasa, Bang?” tanya seorang pria berambut cepak ikut nimbrung obrolan sambil menikmati bubur Manado.
“Iya. Dorang samua nyong-nyong, mar coba-coba mamasa, kita ja babantu, noh. Torang bekeng woku, nasi jaha, rica roa, pampis, sate kolombi. Biar masih belajar mar depe masakan pe sadap.”
“Mar satu nda ta maso noh, Paniki. Wuih, kita nintau makang itu. Beking tako.”
Penuturan Dion membuat orang-orang di situ tertawa. “Mar jang salah, Nyong! Di Manado, lelaki lebih pintar memasak daripada perempuan,” timpal Om Roy yang sudah menggabungkan diri di warung itu.
“Iya kah? Berarti emansipasi dong,” sahut Dion.
“Emansipasi sih emansipasi. Leng kali so talalu. Di sana, bangun-bangun suami langsung mencuci dan menyediakan sarapan. Istri-istri cuma tahu bapontar,” Tanta Ola mengkritisi.
Pontar dalam dialek Melayu-Manado berarti keluar rumah untuk bermain, bercengkerama atau jalan-jalan.
“Tak tak semuanya kan begitu?”
“Tak semua sih, tapi banyak dan bukan hal aneh,” seorang pria yang juga berambut cepak ikut menimpali. “Makanya banyak yang senang ditugaskan kemari. Membuat istri-istri berubah,” ujarnya lagi disambut anggukan para pria cepak lainnya.
“Betul begitu, Bu Wanda?” tanya Dion pada Wanda.
“Betul noh. Eh, Dion belum pernah ke Manado kah?” tanyanya.
“Belum. Tapi aku berharap suatu saat bisa pergi ke sana dan mengelilingi tanah Minahasa,” sahut Dion.
“Nona, jangan biarkan dia bepergian ke sana sendiri. Harus didampingi,” seorang pria paruh baya berambut cepak tiba-tiba memberi saran kepada Meyleen yang duduk di samping Dion.
“Kenapa begitu, Pak?” tanya Meyleen heran.
“Pemuda Tapanuli kalau bepergian ke Minahasa sendirian, dijamin tak akan kembali. Kalau pun kembali, jumlahnya pasti bertambah, minimal jadi dua, bukan satu lagi,” ujar pria itu membuat Dion dan beberapa orang tertawa.
Meyleen yang lama tinggal di Singapura tentu tak lantas memahami maksud kalimat itu.
“Iya, karena sesampainya di sana, pria Tapanuli itu langsung kepincut sama calon mertua, maksudku kepincut masakan calon mertuanya,” tambah Dion yang melihat Meyleen tampak bingung. Tapi kalimat itu justru membuat gadis itu semakin bingung.
“Trus, calon mertuanya itu menikahkan anak gadisnya dengan pria Tapanuli itu, gitu lho,” imbuh Wanda membuat Meyleen mengerti dan akhirnya ikut tertawa.
“Masih nona, toh?” tanya pria itu lagi kepada Meyleen.
“Iya, Pak!” jawab Meyleen singkat.
“Nah, makanya nona jangan biarkan dia pergi ke Manado sendirian. Pasti hilang dia,” pria itu mengulangi guyonannya. Meyleen yang sudah mengerti ikut tertawa dengan mereka.
Cukup lama mereka menghabiskan waktu di tempat itu. Dion ngobrol bersama Om Roy dan beberapa pria sementara Meyleen bersama Wanda dan ibu penjual.
Ketika matahari mulai tinggi, ketiganya kemudian meninggalkan tempat itu. Wanda yang lalu mengajak kedua teman barunya mengunjungi salah salah satu pusat perbelanjaan dan menyarankan Dion dan Meyleen berganti pakaian di rumahnya saja.
“Meyleen duduknya di belakang saja menemani Bu Wanda. Supaya lehernya nggak lelah kalau ngobrol,” ujar Dion ketika Wanda sudah lebih dahulu duduk di jok belakang.
“Sorry nih. Dion jadi tampak sebagai sopir,” ujar Meyleen ketika sudah duduk di jok belakang.
“Gak apa-apa, memang pun sedang bertugas jadi sopir,” jawab Dion tersenyum. Tak lama kemudian melalui kaca spion Dion bisa melihat keduanya sudah terlibat pembicaraan seru. Meyleen dan Wanda tampak akrab, mungkin karena sama-sama wanita, mudah saja mengakrabkan diri.
Ketiganya tak menghabiskan waktu lama di rumah Wanda. Dion dan Meyleen memang membawa pakaian ganti di tas masing-masing kemudian sudah kembali memasuki mobil.
“Sepertinya di mall kalian akan butuh waktu lama karena urusan perempuan,” Dion menyela obrolan Meyleen dan Wanda yang duduk di jok belakang.
“Urusan perempuan? Maksudnya?” tanya Wanda
“Apalagi kalau bukan urusan memilih pakaian 2 jam, trus ke salon 3 jam,” sindir Dion sambil tertawa.
“Sementara kalian di mall, aku ingin mengunjungi saudara. Lagipula sore nanti aku ada latihan tinju,” tambah Dion yang bermaksud membiarkan kedua wanita itu menghabiskan waktu bersama tanpanya.
“Dari mall Dion ke sana naik apa? Motor kan parkir di rumahku?” tanya Meyleen.
“Rumahnya tak jauh dari mall. Cuma di lorong seberang jalan. Dari sana aku akan ke sasana naik angkot,” jawab Dion.
“Trus, motor kamu bagaimana?”
“Sore atau malam aku ambil.”
“Halah. Pasti cuma strateginya si Dion supaya bisa bertemu denganmu nanti malam,” celetuk Wanda membuat Dion tertawa lalu meletakkan jari telunjuknya di bibir.
Sikap itu juga membuat wajah Meyleen bersemu merah karena malu.
“Nanti malam, Dion dan Bu Wanda ke rumah ku saja. Aku akan minta tanteku masak yang banyak,” usul Meyleen.
Wanda ingin menolak karena ingin memberikan kesempatan kepada keduanya untuk berduaan. Tapi Dion mendahuluinya. “Iya Ibu. Pasti akan asyik ngobrol di sana. Itu kalau ibu tidak ada acara malam ini sih.”
Wanda yang merasa senang dengan teman barunya akhirnya menyetujui ajakan itu.
“Rumah saudaramu di mana Dion? Jauh dari sini?” tanya Meyleen ketika ketiganya turun dari mobil di area parkiran pusat perbelanjaan yang tak jauh dari rumah Oppung Duma.
“Ada di lorong sebelah saja,” sahut Dion sambil menunjuk ke arah jalan keluar alternatif.
“Kenalin dong sama saudaranya,” kata Wanda.
“Aih, Kami akan berbicara menggunakan bahasa Tapanuli akan sangat membosankan bagi kalian,” Dion mencari alasan sambil mengeluarkan plastik berisi sebotol madu dari tas duffle-nya.
“Ya sudah. Sampai ketemu, Dion,” Meyleen melambaikan tangannya lalu melangkah memasuki mall bersama Wanda.
Sejak saat itu, Meyleen semakin dekat Wanda. Keduanya sering menghabiskan akhir pekan bersama Dion. Tak hanya dengan Wanda, Meyleen juga berhasil memperluas lingkaran sosialnya dengan bergaul dengan para eksekutif yang ia kenal berkat event Maraton.
Luasnya pergaulan membantunya sukses dengan pekerjaannya sebagai marketing. Setiap minggu, ia semakin disibukkan oleh berbagai kegiatan.
Meskipun tidak seintens sebelumnya, hubungan Meyleen dan Dion juga semakin dekat. Tidak ada lagi rasa canggung lagi di antara keduanya.
Tapi Meyleen harus menerima bahwa Dion tidak bisa terus-terusan mendampinginya di kehidupan sosial itu. Bukan hanya karena Dion memiliki kesibukan tambahan sebagai freelance designer, Dion tidak menyukai gaya hidup glamor para eksekutif di lingkaran sosial Meyleen.
Dion juga memiliki alasan lain untuk mulai menjaga jarak dengan Meyleen. Ia tahu gadis itu menaruh hati padanya dan Dion merasa belum siap untuk menjalin hubungan baru.
Dion tak hanya kerepotan menjaga jarak dari Meyleen tapi juga dari Astrid, Rina, Karenia dan Wanda yang selalu ingin menyita perhatian dan waktunya.
Tak hanya kelima wanita itu, Dion juga mulai kerepotan menghadapi Dyah, seorang asisten redaktur baru di kantornya. Dan belakangan, Wulan pun ikut dalam barisan.