Saat keadilan sudah tumpul, saat hukum tak lagi mampu bekerja, maka dia akan menciptakan keadilannya sendiri.
Dikhianati, diusir dari rumah sendiri, hidupnya yang berat bertambah berat ketika ujian menimpa anak semata wayangnya.
Viona mencari keadilan, tapi hukum tak mampu berbicara. Ia diam seribu bahasa, menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Viona tak memerlukan mereka untuk menghukum orang-orang jahat. Dia menghukum dengan caranya sendiri.
Bagaimana kisah balas dendam Viona, seorang ibu tunggal yang memiliki identitas tersembunyi itu?
Yuk, ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9
"Viona!"
Seorang laki-laki dewasa tersenyum melihat Viona yang masih berdiri di luar gerbang rumahnya. Ia meminta penjaga gerbang untuk membuka gerbang dan membiarkan Viona masuk.
Viona membuka masker memperlihatkan wajahnya yang cantik, tapi dingin tanpa ekspresi. Ghavin membawanya ke rumah, ia tahu jika viona sudah datang pastilah ada hal penting.
"Hal penting apa yang membawamu ke sini?" tanya Ghavin setelah mereka berdua duduk di ruang tamu dan seorang asisten rumah tangga menyuguhkan minuman.
Viona tidak menjawab, ia mengeluarkan ponsel yang ditemukannya dan memberikan kepada Ghavin.
"Aku tidak memiliki pengisi daya di rumah. Aku hanya ingin memeriksa isi di dalam ponsel itu," katanya dengan jujur.
Ghavin memeriksa benda pipih tersebut, tersenyum bibirnya. Seorang Viona tidak memiliki pengisi daya di rumahnya? Dia ingin tidak percaya, tapi wanita itu tidak pernah bercanda.
"Ini ponsel keluaran terbaru, dari mana kau mendapatkannya? Apa kau punya misi baru?" cecar Ghavin dengan wajah jenakanya yang terus tersenyum.
Viona mendelik, menatap tajam sahabat lamanya itu.
"Aku menemukannya di sekolah." Dia menjawab singkat dan pelan.
"Sekolah? Apa yang kau lakukan di sekolah? Misi apa yang sedang kau jalankan? Sepertinya menarik," sahut Ghavin dengan ekspresi tertarik yang tak ia tutupi.
Viona berdecak kesal, dia sangat tidak suka menceritakan kehidupan pribadinya kepada orang lain meski orang itu dekat dengannya.
"Aku bekerja bukan menjalankan misi," sentaknya.
Ghavin menegakkan tubuh, wajah jenakanya hilang berganti kerutan bingung.
"Bekerja? Suamimu?" selidiknya ingin tahu.
Setelah Viona memutuskan untuk menikah dan membina rumah tangga, mereka tak pernah lagi berkomunikasi apalagi bertemu. Selama hampir dua puluh tahun lamanya.
"Sudahlah, tidak usah membahas hal lain. Cepat isi daya ponsel itu aku harus tahu apa isi di dalamnya," tegas Viona.
Ghavin menatap wanita itu dengan saksama, cukup lama dia memperhatikan garis wajahnya. Mencari sesuatu yang salah di dalam pancaran matanya.
"Ah, baiklah. Tunggu di sini." Ia beranjak beberapa saat meninggalkan Viona dan kembali dengan sebuah pengisi daya.
Viona mengeluarkan botol obat dan meletakkannya di atas meja. Ghavin kembali mengernyit, menatap Viona dan botol obat itu bergantian.
"Aku ingin kau memeriksa obat ini. Ini ditemukan di meja sekolah anakku, tapi aku tak yakin jika ini miliknya," ucap Viona menjelaskan.
Ghavin semakin mengernyit, menatap Viona sebelum akhirnya mengambil botol itu. Membaca dengan detail, memeriksanya. Ia menghela napas, meletakkan kembali obat itu di atas meja.
"Ini adalah obat yang sering dikonsumsi oleh orang-orang yang mengalami depresi. Apakah anakmu?" ujar Ghavin memiringkan kepala menatap lekat pada Viona.
Wanita itu menggeleng dengan kepala tertunduk. Mengusap wajah, menghembuskan napas berat.
"Aku tidak tahu. Bisa kau menemukan sidik jari siapa di botol tersebut?" Viona terlihat sedih sekaligus murka.
Masalah apa yang sebenarnya sedang kau hadapi, Viona? Kau tidak pernah bercerita kepada siapapun tentang deritamu.
Ghavin bergumam di dalam hati. Oh, pantaslah Viona membungkus botol itu. Dia tidak ingin meninggalkan jejak jarinya di sana.
"Ikut aku!"
Mereka beranjak keluar dari rumah. Menuju halaman belakang di mana sebuah bangunan persegi didirikan. Sebuah ruang pertemuan rahasia sekaligus tempat penyelidikan.
Ghavin menyalakan alat pemindai, memasukkan botol itu untuk mengetahui sidik jari siapa yang ada di sana. Alat tersebut juga dapat menampilkan data pemiliknya.
Beberapa saat menunggu, huruf-huruf mulai bermunculan pada layar. Berikut bentuk sidik jari. Biodata mulai terlihat serta foto pemiliknya. Ada beberapa yang muncul dan semuanya adalah teman Merlia, termasuk nama Desy. Kecuali sidik jari Merlia, tidak terlihat di sana.
"Yang mana anakmu? Aku ingin sekali melihatnya," tanya Ghavin sambil tersenyum.
Dia sangat ingin tahu kepada Merlia, ingin mengakui dirinya sebagai paman meski mereka tak memiliki ikatan darah sekalipun.
"Tidak ada. Mereka semua adalah teman-teman Merlia." Viona menghela napas lega karena botol tersebut sudah dapat dipastikan bukan milik Merlia.
Namun, ia harus tetap mencari pemiliknya, karena bagaimanapun Viona harus tahu motifnya memfitnah Merlia.
"Jadi, namanya Merlia? Lain waktu aku ingin bertemu dengannya. Aku akan memberikan hadiah pertemuan untuk keponakanku itu. Apapun yang dia inginkan, akan aku berikan," cerocos Ghavin penuh percaya diri.
Viona mendelik, tapi tak ia pungkiri hatinya merasa sedikit terharu karena masih ada yang peduli terhadap mereka. Viona menekan tombol print out, menunggu beberapa saat sampai kertas data itu keluar. Lalu, ia berjalan pergi sembari membawa botol obat tersebut.
"Hei! Viona, tunggu!" Terburu-buru Ghavin menutup pintu bangunan itu dan menguncinya, kemudian mengejar Viona yang berjalan semakin jauh dan hampir tiba di rumah.
"Paman! Paman Ghavin!" teriak seseorang dari dalam rumah, suaranya menggema hingga terdengar ke arah belakang.
Viona masuk bersamaan dengan pemuda tersebut yang hendak keluar. Mereka berpapasan, saling menatap satu sama lain. Sebelum akhirnya Viona yang memutuskan pandangan dan berjalan terus ke depan. Sepertinya anak kuliahan, dilihat dari penampilannya.
Namun, sesuatu membuat Viona penasaran, ia menoleh belakang memperhatikan pemuda tersebut. Sebuah tato berbentuk bunga kecil ada di pergelangan tangan pemuda itu. Viona berbalik setelah dia pergi.
"Aku harus segera memeriksa isi ponsel tersebut." Ia bergumam seraya mendekati rak buku di mana ponsel itu sedang diisi daya.
"Paman!" panggil pemuda itu ketika melihat Ghavin yang terburu-buru mengejar Viona.
"Dicky? Kenapa kau kemari?" Ghavin bertanya ketus tanpa menghentikan langkah menyambut keponakannya.
Ia tidak terlalu menyukai pemuda itu karena setiap kali datang pasti membawa masalah dan akan memintanya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
"Paman! Aku sedang dalam masalah serius, kau harus membantuku," katanya memelas.
Ghavin menghentikan langkah, berbalik dengan wajah murka.
"Stop menjadi pengecut, Dicky! Kau harus belajar menyelesaikan masalah yang kau buat. Kau tidak bisa selamanya bergantung padaku, aku juga memiliki urusan yang harus aku selesaikan. Mulai sekarang, urus urusanmu sendiri!" bentak Ghavin menunjuk lurus tepat di depan wajah keponakannya itu.
Ghavin berbalik dan berjalan cepat memasuki rumah menyusul Viona. Dicky menghela napas, hanya Ghavin yang selalu bisa menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah. Ia berjalan mengekor jauh di belakang pamannya, memohon agar mau membantunya.
"Ayolah, Paman. Bantu keponakanmu ini," rayunya tak didengar oleh Ghavin.
Ia menghentikan langkah saat melihat sang paman berbicara dengan Viona. Mata playboy nya bergerak liar, menelisik tubuh Viona yang masih terlihat bagus. Meski ia tahu usia wanita itu mungkin sama dengan pamannya, tapi paras cantik Viona menarik jiwa nakal Dicky untuk melakukan pendekatan.
"Cantik juga perempuan itu. Siapa kira-kira?" gumamnya sambil tersenyum nakal.
Viona melirik, ia tak senang dengan tatapan pemuda itu.
"Aku pulang. Terima kasih untuk hari ini." Ia berpamitan sembari memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Ia melirik Dicky tajam.
Dahi Dicky mengernyit, seperti pernah melihat benda yang baru saja disimpan Viona.
"Tunggu!" serunya.
Mata Ghavin yang mendelik lebar menghentikan rasa penasaran Dicky. Mungkin salah melihat saja.
kyknya Peni yg terakhir.. buat jackpot bapaknya.. si mantan Viona..!! 👻👻👻