NovelToon NovelToon
Istri Yang Disia Siakan

Istri Yang Disia Siakan

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:17k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BERCERAI

Arman terduduk diam. Kebingungan menghantamnya seperti ombak ganas di tengah badai.

"Arman! Cepat ceraikan Anita sekarang juga!" suara Laksmi menggelegar, memekik keras di ruang tamu yang terasa semakin sesak. Sudah tiga bulan berlalu, dan perkara perceraian ini masih menggantung. Hatinya geram.

Arman menatap Anita, hatinya bergetar. "Anita, aku mohon... Kita harus tetap bersama. Terimalah Bianka, kita bisa hidup bertiga..." suaranya lirih, penuh harapan, tetapi juga ketakutan.

Anita menghela napas panjang. "Tidak lagi, mas" Nadanya datar, tetapi penuh ketegasan.

Laksmi menepuk meja dengan kasar. "Anita harus pergi! Dia terlalu membangkang untuk jadi istrimu! Aku tak sudi melihatnya di rumah ini lagi! Ceraikan dia malam ini juga dan nikahi Bianka!" Tekadnya bulat. Kata-katanya tak bisa dibantah.

Arman menutup mata, merasakan beban di dadanya semakin berat. Antara cinta dan bakti, dia harus memilih. Dia belum rela kehilangan Anita, tetapi juga tak berani menentang ibunya.

"Arman!" pekik Laksmi lagi. "Cepat ceraikan Anita!"

Keheningan menyelimuti ruangan. Anita tetap tenang, seolah perceraian ini bukan hal besar baginya. Justru sikapnya yang dingin itu membuat Dewi geram. Dia ingin melihat Anita menderita, bukan bersikap seolah ini hanya angin lalu.

Di sisi lain, Bianka terdiam. Satu hal yang semakin jelas baginya—Arman tak pernah benar-benar menjadi pria yang mandiri. Ibunya mendominasi semua keputusannya. Bianka mulai berpikir. Jika menikah dengan Arman, dia harus memastikan pria itu tunduk sepenuhnya padanya, bukan pada ibunya.

Akhirnya, dengan suara bergetar, Arman berkata, "Baiklah, Anita. Karena ini keputusan Ibu, maka aku menceraikanmu malam ini."

Anita tersenyum tipis. "Baiklah, Mas. Aku terima. Tapi ingat, jangan pernah menyesali keputusan ini. Jangan pernah mencariku lagi. Aku akan pergi malam ini juga."

Meskipun suaranya terdengar tegar, hatinya seperti disayat. Enam belas tahun dia berjuang, berharap Arman berubah, tapi ternyata semua usahanya sia-sia.

Dewi tertawa puas. "Haha! Arman tidak akan pernah menyesal menceraikanmu, Anita. Dia akan bahagia dengan Bianka. Dan kau? Jangan mimpi mendapatkan suami sebaik Arman lagi. Jika kau menikah, perceraian pasti akan segera menyusul!"

Anita menatap Dewi tajam. "Aku mengamini doamu, Dewi. Tapi bukan untukku, melainkan untukmu sendiri." Senyum sinisnya membuat wajah Dewi pucat. Dia tahu sesuatu—sesuatu yang bisa menghancurkan rumah tangga Dewi kapan saja.

Ketika Anita berbalik menuju kamar, suara Laksmi kembali menahannya. "Arman tidak akan pernah menyesal menceraikanmu! Justru kaulah yang akan menyesal! Kau akan kena karma karena membangkang padaku! Dan anakmu... Anakmu akan bernasib buruk! Dia akan jadi pelacur!"

Mata Anita melebar. Tubuhnya menegang. Tangannya mengepal erat. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena kemarahan yang tak terbendung. Seperti seekor singa betina yang marah karena anaknya dihina.

Langkahnya berbalik. Matanya berubah tajam, menusuk Laksmi yang masih berdiri pongah. Dengan langkah besar, Anita maju, menatap mertuanya tanpa rasa takut sedikit pun.

"Kalau kau masih muda, sudah kuhajar kau sekarang juga." Suaranya rendah, tapi penuh ancaman. "Dengar baik-baik, bu. Jangan pernah menghina atau mendoakan buruk anakku. Aku tidak peduli siapa kau. Sekali lagi kau menghina anakku, aku patahkan lehermu!"

Laksmi membeku. Untuk pertama kalinya dalam enam belas tahun, dia melihat Anita semarah ini. Nafasnya berat, penuh amarah. Mata itu seperti ingin mencabik-cabik siapa pun yang berani mengusik anaknya.

Arman tersentak. "Anita! Dia ibuku! Jangan macam-macam kau!"

Anita menoleh, lalu mendekat ke Arman. Dengan gerakan cepat, dia mencengkeram kerah kemeja pria itu dan menariknya mendekat. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.

"Kalau bukan karena dia ibumu, sudah kuremukkan mulutnya malam ini. Aku masih ingat, dia neneknya Amira. Kalau dia orang lain, sudah kubenturkan kepalanya ke tembok! Ini peringatan pertama dan terakhir. Jangan pernah hina anakku lagi. Sekali lagi kudengar, aku tidak akan melepaskan kalian."

Arman terdiam. Dia melihat sisi lain Anita—sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik kesabarannya. Dia melihat keteguhan, kekuatan, dan amarah yang selama ini terpendam. Sejenak, Arman merasa ketakutan.

"Dan satu hal lagi, Arman," Anita melanjutkan, suaranya lebih dingin dari es. "Jangan pernah temui Amira lagi. Dia tidak butuh seorang ayah pengecut sepertimu. Camkan itu, pecundang."

Arman ingin membalas, tetapi pikirannya melayang pada kejadian dulu—saat Anita menghajarnya habis-habisan. Dia tahu, perempuan ini bukan seseorang yang bisa diremehkan.

"Dan ingat kata-kataku. Semua ucapan ibumu akan kembali pada keluargamu sendiri."

Keheningan menyelimuti ruangan. Tidak ada yang berani bersuara. Dalam waktu singkat, Anita sudah masuk ke kamarnya dan keluar hanya dalam sepuluh menit, membawa sebuah koper kecil. Tidak ada barang berharga yang dia bawa. Pakaiannya pun sedikit—hanya baju-baju lama, beberapa bahkan sudah lebih dari sepuluh tahun, pemberian Handoko, ayah Arman.

Tanpa menoleh lagi, Anita berjalan keluar. Tidak ada salam, tidak ada ucapan perpisahan. Dia tadinya ingin berpisah baik-baik, tetapi karena hinaan Laksmi terhadap Amira, dia tak peduli lagi dengan kesopanan.

Arman menatap punggung Anita yang semakin menjauh. Ada rasa sesal yang menyelinap di hatinya. Dia tidak pernah menyangka bahwa semuanya akan berakhir seperti ini. Tapi keputusan sudah diambil, dan Anita sudah pergi. Dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Laksmi, di sisi lain, tersenyum puas. "Bianka, kau harus segera menikah dengan Arman."

Bianka terdiam. Di balik senyum tipisnya, pikirannya mulai berputar. Dia harus menemukan cara agar Arman tidak hanya menikahinya, tetapi juga sepenuhnya berada dalam kendalinya.

Iya, Bianka, kamu tenang saja. Kami memperlakukan Anita seperti itu karena dia memang selalu merepotkan kami. Kamu berbeda, kamu lebih baik dari Anita."Dewi tersenyum, suaranya penuh ejekan.

Bianka mengangguk, meski dalam hatinya masih ada kebimbangan. "Terima kasih, Bu... Dewi..." ucapnya lirih.

Di sudut ruangan, Arman hanya bisa diam. Kepalanya penuh dengan kebingungan. Ada satu pertanyaan yang terus berputar di benaknya: Akankah esok masih baik-baik saja tanpa Anita?

Sementara itu, di bawah langit malam yang pekat, Anita melangkah sendirian.

Dingin bukan masalah. Sepi bukan hal yang menakutkan. Ia sudah terbiasa dengan itu sejak lama.

Tapi ada satu hal yang membuatnya takut—Amira.

Bukan takut pada gadis kecil itu, tapi takut kalau Amira tidak akan bahagia. Takut kalau anaknya akan terluka.

Mengapa orang-orang begitu mudah menghina anaknya? Mengapa mereka bisa dengan entengnya merendahkan darah dagingnya sendiri?

Anita mengepalkan tangannya. Emosinya masih membakar. Rasa-rasanya, kalau ada yang berani menyebut nama Amira dengan hinaan lagi, ia akan menghajar mereka sampai tak berbentuk.

Langkahnya terus membawa dirinya ke jalanan sepi. Lampu-lampu jalan berkedip redup. Sesekali terdengar suara jangkrik dari rerumputan liar.

Dari sudut gelap, dua pria muncul.

Bajunya lusuh. Bau alkohol tercium bahkan sebelum mereka bicara. Satu bertubuh kurus dengan gigi ompong yang mengintip saat ia menyeringai. Satunya pendek dan buncit, wajahnya berminyak seperti sudah seminggu tak mandi.

Mereka sudah mengikutinya sejak di jalan besar.

Bagi mereka, Anita hanyalah wanita lemah—dengan daster lusuh, jilbab lebar, dan koper kecil. Terlihat seperti mangsa empuk.

"Hei, Sayang... mau main sama kami?"Pria kurus itu menyeringai, suaranya berlumur niat busuk.

Anita tetap berjalan.

"Hei, tuli ya? Serahkan kopermu sekarang!"Pria buncit itu mengancam, suaranya penuh kesombongan.

Anita masih diam.

Sampai akhirnya—

Tangan kasar pria kurus mencengkeram pergelangan tangannya.

Sekejap saja.

Dalam hitungan detik, Anita memelintir tangan pria itu dengan satu gerakan cepat, membuatnya berteriak kesakitan. Lalu, tanpa ragu, ia membanting tubuh pria itu ke tanah dengan keras.

Brak!

Pria kurus itu menjerit, tulangnya terasa retak. Tapi Anita belum selesai.

Emosinya masih membara.

Anita menendang pria itu bertubi-tubi. Ke perutnya. Ke dadanya. Sampai tubuhnya menggeliat kesakitan.

Dan ketika pria itu mencoba merangkak bangkit, Anita meninju wajahnya keras-keras.

Srak!

Darah bercipratan ke tanah.

Srak!

Hidung pria itu penyok, darah mengalir deras.

Srak!

Matanya membengkak. Mukanya tak berbentuk.

Baru setelah tubuh pria itu terkulai lemas, Anita menghela napas. Ada kepuasan dalam hatinya.

Matanya beralih ke pria buncit.

Tatapan mereka bertemu.

Tidak butuh kata-kata.

Pria buncit itu menelan ludah. Tanpa aba-aba, ia berbalik dan lari tunggang-langgang, nyaris tersandung batu.

Anita hanya menatapnya dengan dingin, lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.

Malam ini masih panjang.

Ia butuh tempat untuk menginap. Dan besok, ia harus mulai hidupnya yang baru.

1
Retno Harningsih
up
Irma Minul
luar biasa 👍👍👍
Innara Maulida
rasain dasar laki gak punya pendirian
💗 AR Althafunisa 💗
Lagian ada ya seorang ibu begitu 🥲
💗 AR Althafunisa 💗
Lanjut ka...
Soraya
Ridha thor rida
Nina Saja
bagus
💗 AR Althafunisa 💗
Laki-laki tidak punya pendirian akan terombang ambing 😌
Amora
awas ... nanti nyesel sejuta kali bukan 💯 kali nyesel . 😏😒
Innara Maulida
sudah lah Anita ngapain kamu pertahan kan laki kaya si Arman tingal kamu aja yg gugat dia...
💗 AR Althafunisa 💗
Lanjuttt...
💗 AR Althafunisa 💗
Luar biasa
Soraya
jangan kebanyakan kata kata yang diulang thor
Lestari: loh thor bukan nya bapak Arman masih ada yang namanya goni kalau gak salah ko jadi Handoko udah meninggal pula
total 1 replies
Soraya
klo gajih Arman sepuluh juta trus larinya kmn
Soraya
terlalu banyak pengulangan kata thor
💗 AR Althafunisa 💗
Kalau kagak pergi dari tuh suami, istrinya bodoh. Mending cerai punya laki pedit medit tinggal sendiri ngontrak sama anaknya. Ketahuan udah bisa menghasilkan duit sendiri walau ga banyak tapi mental aman.
Soraya
lah jadi arman beli baju buat bianka 🤔
Soraya
lalu buat siapa baju gamis yg Arman beli
Saad Kusumo Saksono SH
bagus, bisa menjadi pendidikan buat pasutri
Soraya
mampir thor, jadilah istri yg cerdik dan pintar jgn bodoh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!