naya menbeci atasan nya yang bernama raka tapi berujung jadi jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsifa nur zahra u, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33 * jebakan yang nyaris sempurna *
Aku duduk di ruang meeting lantai dua, sendirian. Ruangan itu dingin, bukan karena AC-nya, tapi karena atmosfernya. Dua orang dari HR masuk membawa berkas dan wajah datar, seperti sudah terbiasa menjatuhkan keputusan.
“Nona Naya Pradipta, kami ingin mengonfirmasi beberapa hal terkait dugaan pelanggaran etika di tempat kerja.”
Aku menegakkan punggung, mencoba tampak tenang. “Terkait hubungan saya dengan Pak Raka, ya?”
Salah satu dari mereka mengangguk. “Kami menerima laporan bahwa Anda menjalin hubungan pribadi dengan atasan langsung Anda, yang dapat memengaruhi objektivitas kerja serta menimbulkan kecemburuan profesional di lingkungan kantor.”
Aku menarik napas dalam-dalam, menjaga agar nada suaraku tetap tenang. “Saya dan Pak Raka sudah tidak berada dalam satu divisi sejak dua bulan lalu. Dan relasi kami sama sekali tidak memengaruhi kinerja saya, baik secara individu maupun dalam tim.”
Wanita dari HR itu membuka map, menunjukkan beberapa cetakan email dan tangkapan layar yang tampak familiar beberapa bahkan sudah tidak relevan.
“Namun, hubungan kalian dimulai saat Anda masih berada dalam satu tim ini melanggar kode etik perusahaan, terlepas dari apakah Anda masih satu divisi atau tidak saat ini.”
Mataku menatap tajam ke dokumen-dokumen itu. Aku tahu pasti siapa yang mengumpulkannya , Ara. Dia benar-benar memanfaatkan celah ini.
“Kami akan meninjau lebih lanjut sebelum memberi rekomendasi sanksi. Untuk sementara, Anda kami minta tidak mengakses dokumen internal divisi, termasuk platform komunikasi kerja.”
Aku hanya mengangguk ,Percuma membela diri sekarang . semua pembelaan akan terdengar seperti alasan , yang aku butuhkan adalah strategi bukan sekadar argumen spontan.
Saat aku keluar dari ruangan, Raka sudah menunggu di depan lift. Wajahnya langsung tegang melihat ekspresiku.
“Mereka bawa bukti?” tanyanya cepat.
“Bukti manipulatif,” jawabku pelan. “Ara main kotor.”
Raka mengepalkan tangan. “Dia gak akan menang. Aku akan kumpulkan semua bukti kalau perlu.”
Aku menggenggam tangannya. “Kita akan lawan sama-sama, Rak.”
*
Malam itu, kami duduk berdampingan di ruang tamu apartemen. Laptop terbuka, dokumen tersebar di layar monitor, folder demi folder diklik dan diperiksa. Raka benar-benar teliti semua email, riwayat chat, laporan kerja, dan bukti bahwa kami memindahkan divisi jauh sebelum hubungan kami terbuka.
“Kita bisa pakai log ini,” katanya sambil menunjukkan tanggal pemindahan divisi. “Dan ini, bukti kalau kamu tetap dapat performa bagus tanpa ada intervensi dariku.” kata raka lagi
Aku menyenderkan kepala ke bahunya. “Aku nggak takut kehilangan jabatan. Tapi aku takut kehilangan reputasi yang sudah aku bangun.” kataku pelan
Raka mencium keningku. “Kamu gak akan kehilangan apa-apa , aku pastikan itu.”
*
Hari berikutnya
kami menghadap HR bersama. Kali ini, kami datang bukan untuk dipojokkan tapi untuk membela diri secara elegan. Raka tampil tegas penuh wibawa dan sangat terstruktur dalam presentasinya.
“Hubungan pribadi kami tidak dimulai selama saya menjadi atasan langsung Naya. Dan sejak awal kedekatan kami, kami langsung menyampaikan secara informal kepada manajer divisi lain dan memproses perpindahan unit kerja,” jelasnya sambil menunjuk timeline di layar.
Aku menambahkan, “Seluruh tugas, proyek, dan evaluasi saya tidak melibatkan Pak Raka sama sekali dalam dua bulan terakhir. Kalau ada kolega yang merasa terganggu atau iri, seharusnya itu tidak menjadi tanggung jawab pribadi saya, melainkan bagaimana sistem perusahaan menciptakan ruang yang adil.”
Tim HR saling berpandangan. Mereka tidak bisa menampik bukti-bukti yang kami hadirkan.
Setelah kami selesai, tak satu pun dari mereka langsung memberikan keputusan. Tapi dari ekspresinya, kami tahu setidaknya mereka mulai ragu pada laporan yang masuk.
*
Saat kami keluar dari ruangan, aku menarik napas lega untuk pertama kalinya setelah seminggu yang berat.
“Gimana perasaanmu?” tanya Raka, memeluk bahuku.
“Lega , Tapi belum selesai.”
Dia mengangguk. “Aku tahu , dan kita gak akan berhenti sebelum semua selesai.”
Aku menatap matanya, lalu berkata pelan, “Aku juga ingin kita selesai karena kita mau... bukan karena keadaan memaksa.”
Dia tersenyum lembut. “Kalau kamu siap... aku akan ada.”
*
Malam itu di apartemen, kami hanya diam tapi dalam diam itu, ada rasa tenang yang lama tidak kami rasakan. Raka menarikku ke dalam pelukannya, memeluk erat seolah menegaskan bahwa aku aman, bahwa kami aman.
“Besok... aku mau ajak kamu ke satu tempat,” bisiknya.
“Tempat apa?”
Dia tidak langsung menjawab, hanya mencium keningku dengan lembut. “Tempat untuk memulai sesuatu yang baru.”
*
Keesokan harinya, Raka benar-benar menepati janjinya. Ia membawaku ke sebuah tempat yang awalnya terasa asing. Bukan restoran mahal atau hotel dengan rooftop romantis seperti bayanganku. Tapi ke sebuah rumah kecil di pinggiran kota, dikelilingi taman mungil dengan banyak bunga yang sedang mekar.
“Apa ini?” tanyaku, menatap rumah yang tampak seperti baru direnovasi.
Raka menoleh padaku, matanya teduh. “Tempat ini... dulunya milik kakek. Baru saja aku renovasi. Dan aku pikir, kalau semua sudah tenang... aku ingin kita mulai sesuatu dari sini.”
Aku menatap rumah itu dalam diam. Sesuatu terasa hangat merambat dalam dada. Ini bukan sekadar rumah. Ini simbol tempat aman. Tempat memulai.
“Kamu serius, Rak?”
“Serius banget,” jawabnya, lalu meraih tanganku. “Aku tahu semuanya masih berantakan di luar sana. Tapi... aku nggak bisa nunggu semuanya sempurna dulu buat melangkah. Karena kamu sudah jadi rumah paling aman buat aku. Jadi aku pengen balikin perasaan itu.”
Aku menahan napas. Dalam hatiku, ribuan perasaan membuncah. Rasa takut, ragu, bahagia, dan haru bercampur jadi satu.
“Kalau kamu siap... rumah ini milik kita,” lanjutnya.
Aku berjalan pelan ke arah pintu, menyentuh gagangnya, lalu melihat ke dalam. Masih kosong. Tapi justru karena kosong, aku bisa membayangkan semuanya. Meja makan kecil di dekat jendela, rak buku di pojok ruangan, aroma kopi di pagi hari, tawa dan pelukan hal-hal kecil yang hanya bisa terjadi kalau kami saling percaya.
Aku berbalik dan tersenyum. “Ayo isi rumah ini. Tapi pelan-pelan, ya.”
Raka tertawa kecil. “Kita isi dengan yang penting dulu. Kayak bantal, kopi... dan kamu.”
Aku tertawa juga, lalu menampar lengannya pelan. “Gombalmu gak pernah istirahat, ya?”
“Tergantung kamu mau istirahatin bareng aku atau enggak,” katanya sambil mengedipkan mata.
Kami sama-sama tertawa lagi. Untuk pertama kalinya sejak badai ini dimulai, rasanya seperti kami kembali menemukan udara.
Dan mungkin, ini memang belum akhir dari semua drama. Tapi setidaknya, kami sudah tahu ke mana harus kembali saat semuanya terasa berat ke rumah kecil itu. Dan ke pelukan yang selalu terasa benar.
*
Sorenya, setelah kami pulang dari rumah kecil itu, aku kembali membuka laptop. Kali ini bukan untuk kerja, tapi untuk mulai menulis bukan tentang proposal atau presentasi, tapi tentang hari ini. Tentang bagaimana seseorang bisa berubah dari luka menjadi rumah. Tentang bagaimana Raka, laki-laki yang dulu bikin aku kesal setengah mati, sekarang jadi satu-satunya tempat aku mau pulang.
Kupandangi layar, lalu menoleh ke arah dapur terbuka. Raka lagi sibuk bikin kopi, lengkap dengan apron abu-abu yang dia temukan entah di mana.
"Sayang," panggilku iseng.
"Hmm?" jawabnya tanpa menoleh.
"Kamu sadar gak sih... kita tinggal bareng sekarang."
Dia berhenti sejenak, lalu menoleh dengan senyum kecil. "Sadar banget. Dan aku belum nyesel, kalau kamu mau nanya itu."
Aku tertawa. “Belum nyesel atau belum sempat nyesel?”
Raka berjalan ke arahku sambil bawa dua cangkir kopi, lalu duduk di sampingku. “Belum sempat, soalnya kamu terlalu manis buat disesali.”
"Astaga..." aku pura-pura menutup telinga. “Gombalnya gak bisa dimatiin ya?”
"Kalau bisa, nanti kamu gak senyum kayak gini," katanya, menyentuh ujung bibirku dengan lembut. “Aku suka lihat kamu senyum , apalagi kalau itu karena aku.” lanjutnya lagi
Lalu dia mencium keningku hangat dan pelan, seperti penanda bahwa kita sedang baik-baik saja, meski dunia di luar masih kelam.
Namun, malam itu juga, dunia mulai goyah lagi.
Sebuah email masuk. Dari HR ditandai sebagai “Penting”.
Jantungku berdebar tak karuan.
Raka langsung berdiri di belakangku, membaca isi email bersamaku.
> “Kami mengundang Saudari Naya Pradipta untuk hadir dalam pertemuan lanjutan terkait investigasi pelanggaran etika. Harap hadir esok pukul 10 pagi.”
Tanganku gemetar.
“Ini... makin serius ya?” bisikku.
Raka menatap layar, wajahnya kembali pada mode dingin dan waspada. “Kayaknya mereka mulai dapet tekanan. Dari atas, mungkin.”
“Dari Ara?” aku langsung sadar.
Dia mengangguk pelan. “Bisa jadi kita harus siap Dan aku gak akan tinggal diam.”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Kalau mereka minta aku mundur, Rak... kamu bakal nyalahin aku?”
Dia langsung jongkok di depanku, tangannya menggenggam jemariku. “Gak akan pernah. Kita berdua tahu, ini bukan salahmu. Kita berdua masuk pase ini karena cinta, bukan karena main belakang.”
Aku menggigit bibir, menahan air mata. “Tapi tetap aja, aku takut…”
“Boleh takut. Tapi jangan jalan sendiri, ya?” katanya meyakinkan
Aku mengangguk. Dan untuk malam itu, kami membiarkan semua strategi tertunda dulu. Kami memilih saling memeluk lebih erat, seolah badai di luar bisa reda hanya dengan kehangatan satu pelukan.
Karena untuk kali ini, kami tahu cinta ini layak diperjuangkan, bahkan di tengah jebakan yang nyaris sempurna.
g bertele-tele 👍👍👍👍👍
😘😘😘😘😘😘
gmn klo a ny jdi e😩😩😩😩