Sungguh berat beban hidup yang di jalani Sri Qonita, karena harus membesarkan anak tanpa suami. Ia tidak menyangka, suaminya yang bernama Widodo pamit ingin mencari kerja tetapi tidak pernah pulang. Selama 5 tahun Sri jatuh bangun untuk membesarkan anaknya. Hingga suatu ketika, Sri tidak sanggup lagi hidup di desa karena kerja kerasnya semakin tidak cukup untuk biaya hidup. Sri memutuskan mengajak anaknya bekerja di Jakarta.
Namun, betapa hancur berkeping-keping hati Sri ketika bekerja di salah satu rumah seorang pengusaha. Pengusaha tersebut adalah suaminya sendiri. Widodo suami yang ia tunggu-tunggu sudah menikah lagi bahkan sudah mempunyai anak.
"Kamu tega Mas membiarkan darah dagingmu kelaparan selama 5 tahun, tapi kamu menggait wanita kaya demi kebahagiaan kamu sendiri"
"Bukan begitu Sri, maafkan aku"
Nahlo, apa alasan Widodo sampai menikah lagi? Apakah yang akan terjadi dengan rumah tangga mereka? Kita ikuti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Ada apa Sally?" Tanya Widodo tiba-tiba sudah di belakang Sally sambil membawa air dalam gelas.
"Oh, Mas ambil minum, aku kira kemana" Sally menarik napas lega, karena Sally kaget ketika membuka mata tidak ada Widodo di sebelahnya.
"Aku haus, ayo tidur lagi" Widodo khawatir Sally curiga, lalu melingkarkan tangan kepinggang istrinya kembali ke kamar.
Pagi harinya, seperti biasa keluarga itu sedang sarapan bersama. Sri yang berada tidak jauh dari tempat itu mendengar bel berbunyi bergegas keluar diikuti Laras.
"Ibu? Mbah Uti?" Sri dengan Laras terkejut melihat siapa yang datang. Dada Sri rasanya tertikam pisau ketika otak cerdasnya langsung bisa mencerna bahwa Parti dan Yono yang tak lain mertua dan kakak iparnya ini tahu jika Widodo telah menikah lagi. Namun, Sri berusaha menahan diri untuk tidak membuat keributan.
"Sri, untuk apa kamu di rumah ini?" Tanya Parti orang tua kandung Widodo itu pun tak kalah kaget karena Sri tiba-tiba berada di sini.
"Saya bekerja di rumah ini Bu" Lirih Sri.
"Bagus, karena kamu lebih pantas menjadi pembantu Widodo daripada istrinya. Saya dengan Yono akan tinggal beberapa hari di rumah ini, sebaiknya kalian pura-pura tidak mengenal saya. Dan kamu Laras, jangan panggil saya Mbah Uti, anggap saja kita tidak pernah mengenal" Ucapnya tidak nenjaga perasaan cucunya yang sebenarnya tersakiti karena tidak diakui lagi sebagai cucu. Parti bersama Yono kemudian meninggalkan halaman masuk ke rumah.
"Selamat pagi..." ucap Parti yang langsung saja nyelonong ke meja makan.
"Ibu... Mas Yono... kenapa mau datang kok tidak telepon dulu" sesal Sally, jika tahu mertuanya ingin datang tentu ia akan menyuruh Waluyo menjemput ke terminal.
"Ibu mau memberi kejutan katanya Dek" Yono yang menjawab.
Sementara Widodo, tenggorokannya tercekat hingga tidak mampu bicara. Ia berpikir bahwa yang dia rahasiakan kepada Sally jika mempunyai istri selain dirinya akan segera terbongkar.
"Nenek sama Om Yono naik pesawat ya?" Tanya Ara salim tangan Parti segera menyadarkan Widodo.
"Nenek naik bus sayang... cucu Nenek sudah besar, Nenek jadi ingin gendong kamu" Parti segera menggendong cucunya yang belum genap 4 tahun itu.
Bersamaan dengan itu ada cucu lain melewati meja makan dengan perasaan iri. Laras tidak mau menoleh kanan kiri lalu berjalan lurus menuju kamar. "Apa salah Laras Mbah, hingga tidak mau mengakui jika aku cucumu hanya karena sudah mempunyai cucu lain" ucapnya lalu duduk di tempat tidur dengan air mata berderai.
"Tadi Mbah Uti bilang sama bunda. Kalau bunda lebih cocok menjadi pembantu daripada istri Om Widodo. Apa jangan-jangan Om Widodo itu Ayah aku? Astagfirullah..." Laras yang memang cerdas itu kini mulai mengerti.
"Jadi penyebabnya bunda sering menangis di rumah ini karena Om Widodo? Kasihan bunda" Laras pun sesegukan. "Kenapa semua pada jahat sama bunda? Hu hu hu hu..."
Di luar sana sarapan sudah selesai. "Kami berangkat ya Bu, jika Ibu ingin sesuatu minta saja Sri" pesan Sally kepada mertuanya setelah menunjukkan kamar untuk istirahat.
"Tentu saja Sally, saya akan minta tolong pembantumu ini" jawabnya melirik Sri sambil tersenyum meremehkan.
Widodo tidak bisa berbuat apa-apa, sejak ibunya datang ia tidak banyak bicara. "Aku tinggal dulu ya Bu, Mas" ucap Sally sembari beranjak salim tangan mertua dan suami.
"Aku belakangan berangkatnya Sal" Widodo tentu ingin bicara dengan ibu dan kakaknya.
"Nggak apa-apa Mas, kangen-kangenan dulu sama ibu" Sally tersenyum kepada mertua lalu ke luar diikuti Sri yang akan menutup pagar.
Selesai menutup pagar dengan wajah merah padam Sri mendekati keluarga Widodo yang tengah berbincang-bincang.
"Jadi Mas Yono selama ini bersekongkol untuk menyakiti hati saya?" Sri tidak takut lagi pada kakak iparnya yang hanya diam itu.
"Sri, aku ingin jelaskan" Widodo yang menjawab.
"Diam! Saya tidak butuh penjelasan Anda" sinis Sri melotot tajam ke arah Widodo, kemudian beralih ke arah Yono.
"Mas Yono kenapa tidak mau menjawab? Malu mengakui jika keluarga Mas itu keluarga yang gila harta." Sri benar-benar marah karena telah dipermainkan oleh keluarga mertua.
"Kenapa kamu marah Sri, bukankah kamu lebih cocok menjadi pembantu Widodo daripada istrinya?" Parti memotong.
"Ibu" Widodo tidak mau ibunya bicara begitu.
"Ibu, selama ini saya hanya diam ketika ibu berkata kasar, merongrong wanita yang sedang berjuang demi cucunya. Padahal ibu tahu seberapa penghasilan yang saya dapat setiap hari, tapi ibu tega memeras saya hingga tidak mampu keluar apapun dari raga saya.Tapi walaupun begitu saya selalu sabar dan mengalah demi menghormati ibu dari suami saya. Tapi tidak lagi untuk saat ini bu. Jika Ibu memang orang tua yang bukan gila harta seharusnya mampu mencegah ketika anaknya tega menyakiti cucu ibu"
'Lancang sekali kamu Sri" Parti hendak melayangkan tamparan ke wajah Sri.
"Jangan Bu" Widodo segera berdiri mencekal tangan ibunya.
"Istrimu ini sudah berani kurang ajar, cepat ceraikan Dia" Parti menjambak rambut Sri yang di kuncir kuda itu hingga meringis.
Plak.
"Jangan sakiti Bunda" Laras tiba-tiba saja berlari menggeplak tangan Parti.
"Laras" Sri duduk di lantai memeluk tubuh putrinya itu.
"Mbah Uti sama pakde Yono bisanya nyakitin bunda saja" Laras sesegukan. Ia ingat perlakuan nenek dan pakdenya semenjak di kampung, jika selama ini diam bukan tidak tahu, tapi Sri selalu mengajarkan tidak boleh melawan orang tua.
"Bun, Mbah Uti sekarang sudah berani jambak rambut Bunda, sebaiknya kita laporkan polisi saja" ucapnya polos.
"Laras... sini sama Om Widodo" Widodo memegang pundak Laras yang masih dalam pelukan Sri.
"Tidak mau" Laras menyingkirkan tangan Widodo lalu menatapnya. "Om Widodo juga lebih jahat, selama ini Laras selalu berdoa agar bisa bertemu Ayah, tapi setelah tahu jika Ayah saya adalah Om Widodo saya kecewa Om" Laras berlinang air mata.
"Laras..." Sri tersentak, tidak menyangka putrinya akan bicara seperti itu, walaupun bagaimana Laras tidak boleh membenci ayahnya seburuk apapun itu. Sri juga kaget dari mana Laras tahu jika Widodo adalah bapaknya.
Widodo seketika berkeringat dingin mendengar ucapan Laras. "Laras, maafkan Ayah sayang... jika ibu kamu mau, Ayah akan mencarikan tempat tinggal agar kita bisa tinggal bersama, tapi bunda kamu selalu menolak"
"Bunda... sebaiknya kita pergi dari sini, Laras tidak mau melihat Bunda menangis terus" Laras tidak mau menanggapi kata-kata Widodo.
"Laras, biarkan orang-orang dzolim sama kita sayang. Kita lebih baik mengalah karena Allah yang akan membalaskan sakit hati kita. Jika bunda masih bertahan di rumah ini hanya karena menunggu surat cerai dari Ayahmu" Sri membantu Laras berdiri lalu mengantarkan ke kamar.
"Sekarang sebaiknya Laras sarapan dulu" Sri kembali membawa piring.
"Laras tidak lapar Bun" Laras memang tidak berselera untuk sarapan karena kehadiran mbah Uti yang tidak mengakuinya sebagai cucu.
"Laras harus makan" Sri menyuapi putrinya itu sembari bertanya. "Laras tahu dari mana jika Om Widodo itu Ayahmu?"
"Laras mikir sendiri Bunda" jawabnya sedih.
Sri tidak lagi bertanya yang justru akan membuat Laras sedih, memilih fokus menyuapi Laras yang sudah lama momen seperti ini Sri lewatkan.
Sementara di ruang keluarga. "Cepat ceraikan wanita itu Widodo, mau menunggu apa lagi? Menunggu Sally tahu jika Sri istrimu lalu kita akan kehilangan Sally?" Parti tidak mau hidup miskin lagi.
"Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikan Sri Bu"
"Apa? Tidak bisa"
...~Bersambung~...
udh blik aj ma bini mu kng dodol dn coba bgun bisnis mu yg lain stlh sukses bhgiain larass ank mu....
mknya cuss krja bikin kmu sukses dn bhgiain laras....doll...
sekarang baru merasakan widodo, dulu kemana hati nuranimu menelantarkan sri n laras anak kandungmu