Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.
Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.
"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."
Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Eka mendengus pelan. Suara yang memanggil namanya barusan begitu familiar, terlalu familiar—hingga membuat tubuhnya refleks menegang. Ia menoleh, dan di sanalah sosok lelaki yang baru saja menjatuhkan talak kepadanya berdiri—Adit.
Bersamanya, tangan tergenggam erat seolah menegaskan kepemilikan, ada Nadin. Wajah wanita itu penuh kepuasan, seolah baru saja memenangkan sesuatu yang sangat berharga.
"Eka." Senyum sinis terbit di bibir Nadin. Tatapannya meluncur dari ujung kepala hingga kaki Eka, menelanjangi setiap kekurangan yang bisa ia temukan. "Kamu ke sini mau melakukan pemeriksaan HIV?" Nadanya ringan, tetapi racun di balik kata-katanya begitu kentara. "Kalau butuh dokter, aku punya kenalan. Bisa kasih rekomendasi, lho."
Eka merasakan jantungnya mencelos, namun ia tak membiarkan ekspresinya retak. Ia menelan ludah, menguatkan diri, lalu mengalihkan tatapannya ke Adit—berharap setidaknya ada secuil kemanusiaan di sana.
Harapannya sia-sia.
Alih-alih canggung atau menunjukkan sedikit keraguan, Adit justru menatapnya dengan dingin, seolah ia hanyalah debu yang menempel di sepatunya. Bahkan ada sorot jijik yang jelas di matanya.
Padahal, jika dipikir dengan nalar, siapa yang sebenarnya membuat dirinya jatuh sehina ini?
"Kenapa kamu masih di sini, Eka?" Suara Adit datar, penuh ketidakpedulian. "Kita sudah selesai. Kamu nggak perlu muncul di depanku lagi dan mengikutiku ke mana-mana."
Eka mendengus, tidak percaya dengan kepercayaan diri Adit yang begitu tinggi. Seakan-akan ia yang selama ini mengemis perhatian lelaki itu. Namun, hari ini ia terlalu lelah untuk berdebat. Rasanya, tenaganya sudah benar-benar terkuras.
Lagipula, besok ia tetap harus datang ke rumah Adit untuk memperjelas status pernikahan mereka di hadapan Yuni dan Rina.
"Terima kasih atas perhatiannya," balas Eka tenang, meski ada api yang membakar di balik kata-katanya. "Tapi setahuku, ini rumah sakit umum. Tidak ada larangan yang menyebut nama Sekar tidak boleh ke sini, kan?"
Senyumnya miring saat menatap Nadin. "Oh ya, aku ke sini bukan untuk tes HIV. Aku ingin menemui dokter obgin. Mau meminta saran bagaimana cara membuat seseorang keguguran."
Sekejap, wajah Nadin menegang. Genggamannya pada lengan Adit mengerat, seolah mencari pegangan agar tidak jatuh.
"Apa maksudmu?!"
Eka mengangkat bahu ringan. "Persis seperti yang kamu dengar."
Adit langsung melangkah maju, berdiri di depan Nadin seakan hendak melindunginya. Matanya menyala penuh kemarahan.
"Kamu gila, Eka?! Aku nggak peduli dengan apa yang terjadi padamu, tapi jangan coba-coba menyeret Nadin ke dalam kekacauanmu!"
Eka tertawa kecil. Tawa yang kosong, getir.
"Oh? Aku yang gila?" matanya menatap lurus ke arah Adit. Tajam, menusuk. "Padahal aku hanya berbaik hati. Daripada anak itu nanti lahir dengan predikat anak haram, lebih baik jangan biarkan dia berjuang untuk menghirup oksigen, kan?"
Wajah Adit seketika mengeras. Tanpa berpikir panjang, ia mendorong Eka hingga hampir kehilangan keseimbangan.
"Keterlaluan," bentaknya dingin. "Aku sudah memilih Nadin. Anak di dalam kandungannya bukan anak haram. Kecamkan itu di kepalamu. Dan aku nggak mau kamu terus muncul mengganggu hidup kami!"
Eka menatap Adit tajam, lalu terkekeh pelan. Ironis sekali tuduhan itu. Mengganggu? Bukankah sejak tadi ia hanya ingin pergi? Bukankah mereka yang menghentikan langkahnya?
"Tenang saja." Suaranya nyaris berbisik, tetapi cukup tajam untuk menusuk. "Aku juga nggak ingin melihat kalian lebih lama lagi."
Adit mendengus, matanya menatap sinis. "Aku pikir kamu wanita baik-baik—lemah, lembut, patuh. Tapi sekarang, lihatlah. Kamu akhirnya menunjukkan sikap aslimu."
Eka tersenyum miring, tapi matanya berkilat penuh kemarahan yang terpendam. "Anjing pun akan menggigit majikannya kalau terus-menerus diperlakukan buruk," suaranya dingin, tajam seperti belati. "Jadi, kenapa aku harus tetap tunduk kalau pada akhirnya cuma diinjak-injak?"
Nadin mencengkram lengan Adit, ekspresinya penuh kepuasan terselubung. "Sudah Sayang. Dia hanya iri."
Eka menatapnya sekilas, lalu menghela napas panjang. Percuma berdebat. Mereka berdua sudah jelas tak punya sedikit pun rasa manusiawi terhadapnya. Tanpa membalas lagi, ia berbalik, melangkah melewati mereka. Dadanya terasa sesak, tetapi ia tidak akan berhenti. Tidak akan membiarkan mereka melihatnya hancur.
Tidak hari ini.
Dari dalam mobil yang terparkir tak jauh dari sana, sepasang mata mengamati setiap gerakan Eka. Tatapan itu tajam, dingin, penuh perhitungan.
Kai menyandarkan lengannya di jendela, menatap wanita itu yang kini perlahan menjauh dari rumah sakit, berjalan di sepanjang trotoar dengan langkah tegap.
"Jadi dia sudah menikah?" suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi.
Rendi, yang duduk di balik kemudi, meliriknya sekilas sebelum menjawab, "Dari penjelasan Ita, begitu, Pak. Setahun yang lalu dia menikah dengan keluarga Wirawan. Padahal, di bidang desain, dia cukup mencetak prestasi gemilang saat kuliah."
Kai tidak langsung merespons. Sudut bibirnya perlahan tertarik ke atas, senyum samar yang penuh arti. Menikah selama satu tahun, tapi masih perawan?
"Menarik."
Kai tetap bersandar dengan santai, jemarinya mengetuk-ngetuk jendela mobil dengan ritme pelan. Pandangannya tidak lepas dari Eka yang semakin menjauh. Wanita itu berjalan tegap, tapi Kai bisa membaca lebih dari sekadar posturnya.
Ketegaran itu bukan karena dia baik-baik saja. Itu karena dia terpaksa. "Hancur, tapi masih punya harga diri," gumam Kai, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Jarang."
Rendi menoleh sekilas. "Anda ingin saya menyelidiki lebih lanjut?"
Kai menimbang sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Cari tahu semua tentang dia. Dari awal dia menikah dengan Adit sampai bagaimana akhirnya dia bisa dicampakkan seperti ini."
Rendi tidak bertanya lebih lanjut. Ia sudah bekerja cukup lama dengan Kai untuk tahu bahwa jika bosnya tertarik pada sesuatu—atau seseorang—maka ada alasan di baliknya.
Sementara itu, Eka terus berjalan, membiarkan angin malam menyapu kulitnya yang dingin. Kepalanya tertunduk, langkahnya semakin cepat, seolah berusaha melarikan diri dari bayangan yang masih menempel di benaknya.
Suara Nadin yang sarat kepuasan. Tatapan jijik Adit. Sentuhan kasar yang mendorongnya menjauh. Ia mengepalkan tangan.
Pikirannya berantakan. Perasaan muak karena dipermalukan di depan umum bercampur dengan amarah yang menyesakkan. Tapi yang lebih menyakitkan dari semuanya adalah kekosongan yang perlahan menggerogoti hatinya.
Kenapa?
Kenapa ia tidak bisa menangis?
Haruskah ia merasa lega karena akhirnya bebas?
Haruskah ia merasa sedih karena seseorang yang pernah ia cintai kini berdiri di samping wanita lain? Atau... haruskah ia marah pada dirinya sendiri? Karena membiarkan semua ini terjadi?
Langkahnya melambat. Ia memejamkan mata, mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi udara seolah tertahan di tenggorokannya.
Tidak.
Dia tidak boleh hancur.
Bibirnya terkatup rapat, menahan gelombang emosi yang hampir menerjang. Ia menegakkan bahu, bersiap melangkah pergi, namun sebuah mobil mewah berhenti tepat di sampingnya. Eka melirik sekilas, pikirannya berputar, menebak-nebak siapa pemilik kendaraan itu.
Lalu, kaca jendela perlahan turun, memperlihatkan sosok di baliknya. Suara dingin Kai memecah udara malam. "Masuk."
Alih-alih menurut, Eka justru mendongak, menatapnya tajam, lalu dengan suara lantang memanggil, "Patkai."