"Panggil Bee aja seperti biasa. Gak ada akan ada yang curiga kan kalau kita in relationship, namaku kan Bilqis keluarga panggil aku Bi."
"We have no relationship."
Samapai kapanpun aku akan mengingat kalimat itu.
>_<
Bahkan hubungan yang aku pahami, lain dari hubungan yang kamu pahami.
Kamu tidak salah.
Aku yang salah mengartikan semua kedekatan kita.
Aku yang begitu mengangumimu sejak kecil perlahan menjelma menjadi cinta, hingga salah mengartikan jika apa yang kamu lakukan untukku sebulan terakhir waktu itu adalah bentuk balasan perasaannku.
Terima kasih atas waktu sebulan yang kamu beri, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasakan layaknya seorang kekasih dan memilikimu.
Tolong jangan lagi seret aku dalam jurang yang sama, perasaanku tulus, aku tidak sekuat yang terlihat. Jika sekali lagi kamu seret aku kejurang permainan yang sama, aku tidak yakin bisa kembali berdiri dan mengangkat kepala.
This is me, Bee Ganendra.
I'm not Your Baby Bee Qiss anymore
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Unik Muaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gatel
Aku membuka pintu bertepatan dengan Chaka yang juga membuka pintu kamarnya.
Terdengar tawa lepas Ayah di lantai bawah, aku dan Chaka saling tatap sebelum aku mendengus lemas karna sudah bisa menebak siapa yang membuat Ayah tertawa lepas di pagi hari.
Chaka terkekeh kecil, menjulurkan lengannya padaku sehingga aku kembali tersenyum dan merangkul lengannya. Kami melangkah turun bersama.
"Baby ..."
Mulutku langsung manyun medengar panggilan untukku itu.
Jika yang memanggilku dengan panggilan Baby adalah Bunda, Ayah, Abang atau para Kakak, aku tidak aku sekesal ini.
Ini yang memanggilku Baby seorang bayi, gimana aku gak kesel dan gemas.
"Bayi ..." keluhku.
"Hihiihiii ... Baby endong" ucapnya sembari menjulurkan tangan kecilnya padaku.
"Gak mau" tolakku sembari merangkul lengan Chaka erat, "jangan panggil Baby dulu baru aku gendong" tawarku.
Kepalanya manggut-manggut, "Bibi Bi endong."
Sontak semua yang mendengarnya tertawa, tak terkecuali Chaka sehingga aku memukul lengannya dengan brutal.
Aku berkacak pinggang menundukkan kepala menatap kesal pada bayi di depanku, Reqi. Anak Abang Ar, yang tentunya adalah keponakanku yang paling dekat denganku. Umurnya masih belum genap tiga tahun, tetapi sudah pintar mengoceh dan membuat kesal.
Bibirnya sudah mencebik, pertanda bayi di depanku ini akan menangis.
"Dia udah gak manggil kamu Baby loh , dek. Jangan buat dia nangis pagi-pagi" geram Abang Ar.
Wajahku langsung merengut, menghampiri Reqi dan menggendong bayi itu yang langsung nemplok di dadaku.
"Kapan dateng Bang?" Tanya Chaka sembari duduk di meja makan dekat Bang Ar.
"Jam tiga kayaknya" jawab Bang Ar, "kalau Kak Qi kesini jam sepuluh."
"Kenapa gak kesini bareng?."
"Mendadak ada operasi" Bang Ar menjulurkan mangkok berisi sarapan Reqi padaku, "Reqi semalem rewel jadi Abang minta Nanda nganter Kak Qi kesini biar bisa dibantu Bunda."
"Kak Qi mana?" Tanyaku.
"Tidur" jawab Bang Ar, "setelah Bunda kekamar Ayah, Reqi gak tidur sampek Abang dateng. Bentar lagi pasti udah bangun, nanti gantian Abang yang tidur."
"Kamu rewel?" Tanyaku pada Reqi.
"Endak."
Jawaban polosnya itu membuat aku dan semua orang di meja makan tertawa.
Aku yang gemas mencium pipinya yang gembul itu bertubi-tubi hingga dia kegelian dan tertawa cekikikan.
"Oh iya Sakura masuk rumah sakit."
Aku seketika terdiam.
"Si Sagara sakit juga?."
Itu yang bertanya adalah Bunda, Bunda Zara bukan aku, tetapi semua malah melirikku. Tentu saja aku yang mendapat lirikan Ayah, Chaka dan Bang Ar berdecak.
Tidak ada yang salah dari pertanyaan Bunda, karna anak kembar terkadang emrasakan apa yang kembarannya rasakan.
"Kenapa melihatku?, Bunda yang nanya, Bukan aku" Keluhku. "Abang juga ... Ngapain ikut-ikutan ngeliatin aku?, Abang kan yang punya rumah sakit, dokter pula."
"Ya siapa tahu kamu tau informasinya" Ucap Bang Ar.
"Iya, tangan kamu kan sering gatel, gak sabaran, biasanya lebih dulu tahu informasi tentang Sagara" Ayah malah membela Bang Ar.
"Di rumah ini, kayaknya kamu tuh pusatnya Sagara" Chaka mala ikutan.
"Jadi kamu sering tanya kabar Sagara?, kamu punya nomornya?, coba aja telephone, dia ikutan sakit enggak."
Aku meringis mendengar Bunda yang ikutan nimbrung pembicaraan kami, Chaka malah terkekeh sehingga Bang Ar menendang kakinya dari bawah meja.
Di sini nanya Bunda yang tidak tau apa maksud pembicaraan kami.
Ayah mengatakan tanganku gatel karna aku memang tidak bisa diam jika bersangkutan dengan Dia, aku akan mencari informasi tentang dia sebisa mungkin, dengan cara apa?, tentusaja meretes. Dan jika Bunda tahu aku juga seorang hacker seperti Bang Ar, maka habislah aku.
*-*
Meski pagiku disambut dengan si gembul Reqi, moodku hari ini benar-benar tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Jemariku dengan lincah terus memencet tombol keyboard, di depanku ada Daniel dan di sampingku ada Chaka. Kebiasaan jika aku sudah larut dalam dunia hackerku, mereka berdua akan selalu melindungiku dari gangguan siapapun.
"Jangan lama-lama Bi" Chaka mencoba mengingatkanku.
"Ini susah banget masuk kejaringan rumah sakit Abang" ucapku.
"Lo mau ngusik ketenangan Abang Ar?!" Tanya Chaka dengan nada tak percaya.
Aku hanya mengangguk mengiakan tampa mengalihkan perhatianku pada layar di depanku barang sedetik pun.
"Lo gila" maki Chaka, "emangnya gak bisa cari info lain selain berurusan ama Abang Ar?."
"Gue udah cari di sosial media dia dan saudara-saudaranya gak ada, gak dapet apapun gue."
"Ya tanya temen ata ..."
"Sagara lagi apa?".
Chaka tidak meneruskan kalimatnya untuk mengomeliku, begitu pun dengan aku yang langsung mengangkat kepala menoleh kesumber suara.
Daniel yang menjadi pusat perhatianku dan Chaka malah tersenyum sembari menaik turunkan alisnya dengan ponsel di telinga.
"Yah ... Pada hal gue mau ngajak lo main bareng Chaka ama Elio juga .... Tapi lo gak ikutan sakit kan? ... Kan kalian kembar, bisa aja yang satu sakit, yang satunya ikutan sakit .... Oh ... Ya udah kalau gitu next time aja, ok ..."
Aku segera merampas ponsel Daniel, membaca nama siapa yang Daniel telepon, lalu mencoba mengecek nomornya, benar tidak nomor telepon dia.
"Lo beneran nelpon dia?!" Pekikku.
"Ya eleh ... Gitu amat."
Daniel mengambil kembali ponselnya dari tanganku sebelum aku menghapus nomor dia.
Ku tatap Daniel dengan mata memicing curiga, "lo dapet dari mana nomor dia Niel, lo gak mungkin ngambil di ponsel gue kan?."
Tak ...
Bugh ...
Amat sangat cepat, Daniel menjitak keningku dan Chaka memukul lenganku.
"Emangnya lo doang yang punya nomor dia" omel Chaka.
"Ya minta lah gue, Chaka juga punya."
Mulutku langsung mengerucut melirik mereka berdua dengan tatapan sinis.
Chaka dan Daniel malah tertawa senang sembari bertos terlihat bangga akan sesuatu, entah antara membuatku kesal atau karna bangga mempunyai nomor Dia.
Tiba-tiba terdengar kericuhan dari luar memasuki kelas kami.
Oh iya ... For your information, kami bertiga berada di kelas yang sama sejak awal masuk Senior High School tepatnya di kelas unggulan meski bukan kelas akselerasi, dan sialnya dua orang pembuat kericuhan sekarang ini lagi-lagi satu kelas dengan kita.
"Jawab dulu, lo gak dateng malam itu kemana Yardan?."
"Gladis, stop nanya pertanyaan yang sama. Hampir tiap hari lo tanya tentang masalah yang sama, gue muak Dis!."
Yup, Yardan dan si penggilanya, Gladis.
Setiap hari selalu ada drama yang sama dari mereka, tiada hari tampa drama.
"Gimana gue gak inget lagi tentang malam itu, kalo gue barusan denger lo lagi jalan sama Bilqis?!."
Karna namaku disebut, perhatian semua orang malah beralih padaku.
Aku mendengus menatap Yardan dengan datar, jangan-jangan malam yang mereka sedang bicarakan malam di mana Yardan membuntutiku hingga area balap.
"Gue gak pernah bilang Bilqis, Dis."
"Iya, lo emang gak nyebutin Bilqis, tapi lo bilang Ratu lo. Semua orang di sekolah ini tahu, lo hanya bilang Ratu sama cewek gatel itu."
Kurang ajar gue dibilang gatel, apa dia gak nyadar?, apa gak kebalik?.
"Ck Ck Ck."
Chaka berdecak sembari menatapku dan menggeleng-gelengkan kepala.
Ingin rasanya gue remek tuh anak dua.
"Kalo cewek gatel itu lo" ucapku dengan suara tinggi, "tapi tangan gue sekarang lagi gatel. Enaknya ngapain ya?, saran dong?."
Kedua tangan Gladis langsung menutupi pipinya dengan kedua tangannya.
Aku tersenyum padanya dengan lebar.
*-*