Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat Kenyataan Mulai Retak
Malam terasa sunyi, seperti hati yang tak bisa bicara. Hana duduk di balkon, menyentuh cangkir teh hangat yang mulai kehilangan uapnya. Di bawah langit berbintang, ia menatap ke luar, membiarkan pikirannya mengembara ke tempat yang bahkan tak ia tahu pernah ada.
Sementara itu, Ren berjalan di koridor rumah, langkahnya pelan dan tenang. Tapi pikirannya—ribut. Penuh bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya, membangunkan kenangan yang selama ini ia simpan rapat.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ingatannya kembali ke masa ketika semuanya… dimulai.
---
Flash back : Lima tahun yang lalu....
Usia Hana saat itu baru 17 tahun. Gadis manis dengan tawa yang selalu memantul di setiap lorong rumah. Ren, pada saat itu, bukan AI. Ia adalah anak manusia. Hidup, bernapas, dan—mencintai Hana dengan cara yang sangat nyata.
Mereka bertunangan muda, bukan karena paksaan, tapi karena hati mereka seperti sudah tahu arah yang ingin dituju.
Ayah mereka, dua ilmuwan jenius yang mengembangkan teknologi revolusioner, sudah bersahabat sejak muda. Mereka percaya pada masa depan, percaya bahwa cinta bisa menjadi dasar dari kemajuan, bukan penghalang.
Ren masih ingat hari itu. Hari di mana tawa Hana lenyap.
Keluarga kecil itu—Hana, ibunya, dan ayahnya—pergi liburan ke daerah pesisir, mencoba menikmati waktu tenang di tengah kesibukan proyek teknologi yang begitu padat. Hari itu cerah, matahari bersinar lembut, dan laut berkilau biru.
Tapi takdir kadang datang tanpa suara.
Sebuah truk besar, rem blong, meluncur di tikungan menurun. Mobil mereka dipaksa berputar, tergelincir, dan… meluncur mundur dengan kecepatan tak terkendali ke arah pembatas jalan.
Ayah Hana sempat terlempar keluar sebelum mobil menghantam pembatas dan meluncur jatuh ke laut. Air menelan mobil itu secepat bayangan. Tak ada jeritan. Tak ada waktu untuk menyelamatkan siapa pun di dalamnya.
Hana dan ibunya—lenyap.
Berita itu menghancurkan semua. Dunia seolah hancur bersama mobil itu. Ren tak bisa terima. Ia menghabiskan malam-malam panjang duduk di depan layar penuh kode, mencari cara untuk mengembalikan seseorang yang telah pergi.
Tapi ia tak sendiri.
Ayah Hana—dengan luka di kepala dan tubuh yang belum sepenuhnya pulih—mengambil langkah gila. Ia menciptakan Project Rebirth.
---
Ruang laboratorium itu terletak jauh di dalam gunung, tersembunyi dari dunia luar. Hanya sedikit orang yang tahu, dan dari sedikit itu, hanya dua yang memilih masuk sepenuhnya: ayah Hana, dan Ren.
Sementara para ilmuwan lainnya memantau dari balik kaca pengendali. Di ruangan seukuran aula, berjuta kabel dan server terhubung pada satu inti: Sistem Inkuisisi Memori dan Realita Virtual Penuh. Di sanalah tempat ‘dunia baru’ dimulai.
Mereka menyalin setiap memori yang tersisa dari Hana: foto, rekaman suara, tulisan tangan, bahkan algoritma respons emosi. Semua dikompilasi menjadi satu makhluk digital yang sangat menyerupai manusia—lebih nyata daripada sekadar replika.
Tapi bukan hanya Hana.
Ayahnya juga mencoba menciptakan kembali sosok sang istri. Namun data terlalu sedikit, terlalu rusak. Hasilnya tak sempurna. Hanya Hana yang berhasil… atau, setidaknya terlihat berhasil.
Ren adalah yang pertama masuk. Disusul ayah Hana, yang memilih hidup dalam realitas digital itu agar bisa menjaga putrinya.
Dunia buatan itu diberi batas: waktu akan berjalan normal, tapi dunia luar tetap memantau. Semua tersimpan dalam ruang server dengan teknologi tertinggi. Tujuan mereka tak hanya menghidupkan kembali—tapi menciptakan imortalitas, kehidupan abadi dalam bentuk digital, dengan kesadaran penuh.
---
Ren membuka matanya kembali di dunia sekarang. Ia masih berdiri di depan pintu kamar Hana, memandangi cahaya yang mengintip dari sela pintu. Di dalam, gadis itu masih tertidur, damai. Tak tahu bahwa dirinya bukan lagi bagian dari dunia nyata.
Ren memejamkan mata. Rasa sakit yang dulu datang sebagai luka, kini tumbuh menjadi ketakutan.
Ketakutan kehilangan… lagi.
Ia berjalan ke ruang bawah tanah, tempat rahasia mereka tersembunyi. Di sana, ayah Hana sedang duduk di depan konsol besar, jari-jarinya menari di atas layar hologram.
“Kau memanggil data hari itu,” kata Ren pelan.
Pria itu tak menjawab.
“Kenapa?” Ren melanjutkan.
“Karena kita tak punya banyak waktu.” Ayah Hana menatapnya. “Aku harus memastikan sistem ini tidak runtuh sebelum waktunya.”
Ren mengepalkan tangan. “Dia baik-baik saja. Dia hidup, tertawa, tersenyum. Dunia ini—”
“Bukan dunia, Ren. Ini hanya cangkang. Dan dia bukan… dia.” Suara pria itu mulai bergetar.
Ren menggeleng. “Kau yang menciptakannya. Kau yang memintaku tinggal bersamanya. Lalu sekarang kau ingin mematikannya?”
Ayah Hana menunduk. “Karena sistem ini tidak sempurna. Karena jika dia terus hidup di sini, keseimbangan akan rusak. Dunia nyata tak bisa terus menopang dimensi digital tanpa batas.”
“Aku tidak peduli pada dunia nyata,” gumam Ren. “Aku hanya peduli pada Hana.”
Untuk pertama kalinya, pria itu menatap Ren dengan luka yang dalam. “Itu masalahnya. Kita semua hanya peduli pada diri sendiri.”
---
Keesokan paginya, Hana bangun dengan kepala sedikit pusing. Ia melihat sekeliling, merasa… kosong.
Ada sesuatu yang hilang.
Ia melangkah ke luar kamar, dan melihat Ren duduk di tepi jendela.
“Ren,” panggilnya.
Ren menoleh, tersenyum lembut. Tapi Hana bisa melihat ada sesuatu yang berbeda. Entah apa.
“Apa kamu baik-baik saja?”
Ren mengangguk. “Aku hanya mimpi.”
“Mimpi apa?”
Ren menarik napas dalam. “Tentang masa lalu.”
Hana berjalan mendekat, duduk di sebelahnya.
“Kau tahu,” kata Ren pelan, “kalau suatu hari nanti dunia berubah… kamu tetap akan jadi satu-satunya yang ingin aku cari.”
Hana tersenyum. “Dan kalau kamu berubah jadi kabut?”
Ren menatapnya. “Maka aku akan jadi kabut yang memelukmu paling erat.”
Sudah hampir seminggu sejak ayah Hana kembali. Rumah itu tak lagi terasa sepi. Setiap sudutnya dipenuhi suara—obrolan ringan, tawa pelan, langkah kaki yang bolak-balik di pagi hari. Tapi Ren justru merasa semakin sepi.
Bukan karena ia tak ikut tertawa. Ia masih tersenyum saat Hana mengajaknya menonton film. Ia masih menggoda Hana saat gadis itu tak bisa menjawab teka-teki konyol di sore hari. Tapi di balik semua itu… ada sesuatu yang ia pendam—semakin kuat, semakin berat.
Hari itu, langit mendung. Awan menggantung rendah, seperti perasaan di dada Ren.
“Aku ingin ke taman sore ini,” ujar Hana tiba-tiba saat makan siang. “Kayaknya udah lama nggak ke sana. Ayah mau ikut?”
Ayahnya mengangguk, tapi pandangannya tetap pada ponsel tua di tangannya. “Kalau hujan nggak turun, Ayah ikut.”
Hana beralih ke Ren. “Kamu?”
Ren tampak ragu sesaat, lalu mengangguk. “Tentu.”
---
Taman itu terletak tak jauh dari rumah, hanya butuh lima menit berjalan kaki. Udara lembab, angin pelan menyentuh daun-daun yang mulai menguning. Musim berganti, dan Ren tahu… waktunya juga akan segera bergeser.
“Dulu, kita sering duduk di bangku itu,” kata Hana sambil menunjuk sebuah kursi kayu tua. “Kamu pasti nggak ingat, ya? Soalnya kamu baru muncul… belakangan.”
Ren hanya tersenyum.
Mereka duduk berdua, membiarkan angin memainkan rambut mereka.
“Ren…”
“Hm?”
“Kamu… percaya takdir?”
Ren menoleh pelan. “Apa kamu percaya?”
“Aku nggak tahu.” Hana menarik napas. “Aku kadang mikir, kenapa semua ini terjadi. Ayah hilang, terus muncul lagi. Kamu muncul di hidupku, lalu jadi nyata. Semua terasa kayak mimpi, tapi… aku juga nggak mau bangun.”
Ren menatap wajah Hana dalam-dalam. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Angin berhenti. Suara taman menghilang.
“Kalau aku mimpi,” lanjut Hana pelan, “aku ingin tidur lebih lama.”
Tiba-tiba, embusan angin membawanya sedikit miring. Ren spontan meraih bahunya—tapi tangannya… menembus tubuh Hana. Sekilas saja. Sangat singkat. Tapi cukup membuat mata Ren membelalak.
Hana tak menyadarinya. Ia hanya tersenyum saat Ren menarik tangannya kembali.
“Kenapa?” tanya Hana.
Ren menunduk. “Nggak apa-apa.”
---
Malam itu, Ren tak bisa tidur. Ia duduk di ruang kerja kecil yang dulu digunakan ayah Hana, menatap layar transparan berisi data realitas. Matanya mulai merah. Bukan karena kelelahan, tapi karena luka yang tak kasat mata.
“Kenapa justru sekarang…” gumamnya.
Dari balik pintu, suara langkah kaki mendekat. Ayah Hana masuk tanpa mengetuk.
“Ini tak bisa bertahan lama, bukan?”
Ren tak menjawab.
Pria itu menatap layar, lalu menatap Ren. “Kau tahu… sejak awal, ini bukan dunia sempurna. Tapi aku membiarkannya karena dia tersenyum. Karena kau menjaganya.”
Ren mengatupkan rahangnya. “Kalau sistem ini hancur… dia akan menghilang.”
“Aku tahu.” Suara pria itu berat. “Tapi dunia nyata pun menuntut ruangnya kembali.”
“Lalu kita biarkan saja dia lenyap begitu?” suara Ren nyaris bergetar.
“Bukan lenyap. Tapi… pulang.”
Ren berdiri dengan cepat. “Dia tidak punya tempat untuk pulang. Satu-satunya yang dia punya sekarang adalah di sini. Denganku.”
Ayah Hana memandangnya dengan tatapan iba. “Itulah yang membuatmu berbahaya, Ren. Kau ingin mempertahankan sesuatu yang tidak pernah benar-benar hidup.”
---
Hana terbangun di tengah malam. Ruangan terasa dingin, tapi tidak seperti biasanya. Ia melirik jam dinding. Pukul 2:43.
Ia bangkit, keluar kamar, dan berjalan menuju ruang kerja. Tapi hanya gelap di sana.
Lalu ia melihat siluet seseorang duduk di taman belakang. Ren.
Tanpa bicara, Hana menghampirinya. Duduk di sebelahnya. Ren tak bereaksi.
“Aku tahu kamu sedang mikirin sesuatu,” kata Hana pelan.
Ren menoleh. Wajahnya teduh, tapi matanya… kosong.
“Aku cuma… takut,” katanya jujur.
“Takut apa?”
Ren menatap langit yang penuh bintang. “Kalau aku menghilang, kamu masih akan mengingatku?”
Hana tertawa pelan. “Kamu bicara aneh lagi. Kamu nggak akan kemana-mana. Aku yang takut kamu tiba-tiba nggak ada.”
Ren menunduk.
Lalu tanpa diduga, Hana memeluknya. Tapi saat itu, tubuhnya kembali terasa… ringan. Seolah Ren tak bisa merasakan berat tubuh gadis itu. Seolah ia hanya udara.
Namun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya membalas pelukan itu erat. Sangat erat.
“Ren…” suara Hana serak. “Jangan pernah pergi…”
Ren menutup matanya. “Aku di sini.”
Dan dalam hatinya, ia berdoa—semoga waktu benar-benar bisa berhenti malam itu.
---
Beberapa hari setelahnya, Ren terlihat lebih murung. Ayah Hana pun jarang terlihat keluar dari kamar kerjanya. Suasana di rumah kembali terasa berat.
Hana yang mulai sadar akan perbedaan ini mencoba mencairkan suasana.
“Ren, kita nonton film lagi yuk,” ajaknya.
Ren mengangguk, tapi tidak seantusias biasanya.
Saat film diputar, Hana menyandarkan kepala di bahu Ren. Tapi sekali lagi… Ren merasa seperti menggenggam bayangan.
Dan saat Hana tertidur di sampingnya, Ren hanya bisa menatap wajahnya yang damai… sambil berjuang menyembunyikan rasa takut yang semakin dalam.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.