Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Tidak Akan Membiarkan
"Kalau untuk saat ini mami aku lagi sibuk-sibuknya, Mah. Ada kerja sama baru dengan perusahaan asing."
"Kalau begitu kasih ke mama nomor di sana yang bisa dihubungi. Nanti biar mama yang bicara dengan mami kamu." Permintaan Mama Veny membuat Riana semakin kalang kabut. Ia mengasah otak demi mencari alasan yang paling masuk akal untuk diberikan kepada Mama Veny.
"Mami sulit dihubungi beberapa hari ini, Mah. Aku saja sudah beberapa hari tidak komunikasi." Riana mencoba menyembunyikan rasa gugup dengan senyuman. "Tapi, nanti aku akan bicara dengan mami dan minta untuk meluangkan waktu."
"Harus begitu, Riana. Masa' hari penting anaknya tidak datang ."
Riana hanya mengulas senyum sambil meraba punggung lehernya.
"Oh ya, Mah, sore ini kita jadi fitting gaun, kan?" Mengalihkan pembicaraan mungkin adalah jalan terbaik untuk memutus pembicaraan tentang mami palsunya.
"Jadi, dong. Mama ke sini sekalian mau mengingatkan kamu dan Alvian. Jangan lupa nanti sore datang ke butik."
"Iya, Mah."
*
Riana dapat bernapas lega setelah Mama Veny meninggalkan gedung kantor. Tadinya Mama Veny ingin bertemu dengan Alvian sekalian. Tetapi, ternyata Alvian sedang berada di ruang rapat dan tidak bisa diganggu.
Riana menghempas tubuhnya di kursi. Saat ini pikirannya dipenuhi dengan sang mami palsu. Sepertinya Mama Veny benar-benar ingin agar calon besannya datang ke acara pertunangan itu.
Hampir satu jam Riana duduk dalam kebimbangan, hingga Alvian terihat berjalan menuju ruangannya. Riana langsung berdiri dan mengikuti langkah laki-laki itu.
"Al, tadi mama kamu ke sini,"
ucap Riana.
"Hemm." Seperti biasa Alvian selalu bersikap acuh tak acuh. Padahal Riana adalah calon istrinya dan sudah seharusnya Alvian memperlakukannya dengan lebih lembut, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Riana kadang dibuat kesal karena sikap Alvian ini.
"Mama kamu bilang sore ini kita harus ke butik buat fitting pakaian untuk acara pertunangan nanti."
Alvian duduk di kursi, tanpa mengindahkan ucapan Riana. " Kamu sajalah yang ke sana."
"Tapi Al, mama kamu minta kita berdua ke sana. Lagi pula apa susahnya sih kamu meluangkan sedikit waktu." Ucapan Riana yang terkesan mendesak membuat Alvian menghunus tatapan tajam. Tatapan yang membuat Riana bungkam seketika.
"Kamu baru akan jadi tunanganku, bukan istriku. Jadi jangan suka mengaturku karena aku tidak suka!"
"Baiklah, tidak apa-apa. Maaf, kalau aku terkesan memaksa," ucapnya, berusaha mengalah meski hati terasa dongkol.
"Sekarang keluar! Aku sedang tidak mau diganggu!"
"Tapi, Al-"
"Apa harus aku ingatkan kalau di kantor status kamu hanya seorang sekretaris, tidak lebih!"
Kekesalan merasuk semakin dalam ke hati Riana. Untuk saat ini ia memang bukan siapa-siapa bagi Alvian. Tapi lihat saja nanti kalau sudah menikah, dia akan membuat Alvian tunduk sepenuhnya.
Tanpa banyak kata, Riana langsung keluar dari ruangan sang presdir. Ia memilih pergi ke lantai teratas gedung pencakar langit itu untuk mendinginkan hati. Sudah dibuat panik oleh keinginan Mama Veny yang meminta maminya datang, sekarang Riana harus dibuat kesal dengan sikap Alvian.
Setibanya di balkon lantai atas, Riana segera menghubungi sang ibu. Butuh beberapa kali mengulang hingga panggilan terhubung.
"Ada apa, Riana? Tumben kamu telepon ibu di jam kerja," sahut Bu Nana.
"Bu, ini gawat!"
"Gawat apanya?"
"Tante Veny minta orang tuaku datang ke pertunangan aku sama Alvian. Aku harus bagaimana sekarang?" Ucapan Riana membuat Bu Nana ikut panik. Seandainya saja Riana tidak mengaku sebagai anak orang kaya, mungkin mereka tidak akan serepot ini. "Kamu juga sih, kenapa harus pura-pura segala jadi anak orang kaya! Kalau begini kan kamu sendiri yang susah!"
"Ya mau bagaimana lagi, Bu.Kalau Tante Veny tahu status aku yang hanya anak pembantu, mana mau dia jodohin Alvian sama aku.
Ibu kan tahu itu."
"Iya-iya. Jadi mau kamu apa sekarang?"
"Ibu cariin solusi, kek. Aku lagi pusing ini, Bu!"
"Bilang saja orang tua kamu sedang sibuk."
"Sudah, Bu. Tapi Tante Veny tidak mau tahu. Malah minta nomor telepon orang tuaku."
Terdengar hela napas panjang di telepon. Keduanya terdiam selama beberapa saat. Hingga akhirnya Bu Nana menemukan sebuah ide untuk menyelamatkan putrinya.
"Kalau sudah tidak ada jalan lain, kamu sewa orang saja untuk pura-pura menjadi mami kamu."
"Maksudnya gimana, Bu?"
"Ibu punya teman. Kamu bisa sewa dia untuk pura-pura menjadi mami kamu di acara pertunangan nanti."
Riana terdiam sebentar sambil menimbang ucapan ibunya. Sepertinya apa yang dikatakan Bu Nana masuk akal. "Tapi teman Ibu itu tidak akan buat aku malu, kan?"
"Tenang saja, Riana. Teman ibu ini bisa diandalkan. Kamu tinggal kasih dia pakaian yang bagus dan dandan cantik kayak ibu-ibu sosialita."
Senyum mengembang sempurna di bibir Riana. Perlahan rasa takut dan khawatir yang dirasakannya menghilang. Ibunya itu memang pintar kalau urusan mengelabui lawan.
"Makasih, Bu. Ibu memang pintar."
**
**
**
Hingga sore menjelang, Riana harus kembali menelan kekecewaan. Alvian benar-benar tidak datang ke butik untuk melakukan fitting pakaian.Sehingga Riana harus menanggung malu dan menjadi tontonan beberapa karyawan karena datang seorang diri tanpa calon suaminya.
Alvian hanya berpesan agar karyawan butik mengantarkan setelan tuxedo tersebut ke apartemen pribadinya. Namun, Riana memutuskan untuk membawakan sendiri.
Saat ini Riana sudah berada di dalam lift khusus yang akan mengantarkannya ke lantai paling atas gedung apartemen mewah itu.
Sejak masuk, ia tak henti-hentinya mengagumi kemewahan yang memanjakan mata. Unit biasa di apartemen itu saja sangat mewah, apalagi milik Alvian yang merupakan unit penthouse.
Riana sudah membayangkan betapa menyenangkan kehidupannya nanti setelah menikah dengan Alvian. Semua orang akan tunduk dan hormat kepadanya. Ia tak perlu lagi bekerja karena tinggal menunggu transferan dari suami. Selain itu Alvian pasti akan memberinya kartu belanja tanpa batas.
"Aku akan bisa beli mobil mewah, tinggal di rumah spek istana, jalan-jalan keliling Eropa, atau perawatan kecantikan yang mahal di salon tanpa harus ngutang. Ah, selamat tinggal kemiskinan."
Pintu lift akhirnya terbuka.
Riana melenggang menuju pintu satu-satunya yang ada di sana dan menekan bel berulang-ulang.
Hingga beberapa menit, pintu akhirnya terbuka dan memunculkan sosok Alvian yang hanya menggunakan handuk putih terlilit di pinggang. Sepertinya ia baru saja selesai mandi.
Riana terpaku di tempat.Memandangi setiap pahatan sempurna di tubuh Alvian yang atletis nan menggoda. Riana bahkan hanyut dalam aroma segar yang tercium dari tubuh laki-laki itu.
"Kenapa kamu yang datang?"
Kalimat sarkas itu menjadi sambutan pertama bagi Riana.
Alvian bahkan belum mempersilahkannya untuk masuk.
"Karyawan butiknya sibuk, jadi aku yang bawakan pakaian kamu. Kebetulan aku lewat sekitar sini."
Tanpa dipersilahkan, Riana langsung saja masuk. Ia harus kembali terpukau dengan kemewahan penthouse super mewah milik Alvian. Ada fasilitas lengkap di dalamnya. Benar-benar hunian sultan. Dan sepertinya Alvian sedang sendirian di sana.
"Gantung saja di sana." Alvian menunjuk ke sudut ruangan, di mana terdapat gantungan pakaian.
"Aku akan coba nanti."
"Oke, tidak masalah."
Riana berjalan ke sudut ruangan dan menggantung setelah tuxedo tersebut. Sejenak ia melirik Alvian yang sedang menuang minuman ke dalam gelas. Punggung tegap laki-laki itu benar-benar menggoda. Riana pikir harus bisa memanfaatkan keadaan ini dengan baik untuk membuat Alvian terikat dengannya.
Jika Ajela saja yang kampungan dan jelek bisa membuat Alvian tergoda sampai hamil, apalagi dirinya yang jauh lebih cantik dan modern. Terlebih,saat ini Riana hanya menggunakan mini skirt dan dalam tanktop di balik blazer yang memperlihatkan belahan dadanya yang menantang.
"Kucing mana yang akan menolak dikasih ikan?" Begitu pikiran Riana tentang Alvian.
Perlahan Riana mendekati Alvian yang berdiri dalam posisi membelakanginya. Membuka kancing blazer hingga bagian dadanya terbuka. Lalu, melingkarkan tangan ke tubuh Alvian sangat erat, hingga bagian dadanya menempel sempurna ke punggung tegap laki-laki itu.
Alvian bereaksi cepat. Hendak melepas tangan Riana, namun...
Bersambung ~