Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH
Di bawah redupnya lampu jalan yang menyinari mereka, Gala menangkap kegelisahan pada wajah Nara yang tampak semrawut.
"Dek...dek...kamu, selalu saja membuatku hawatir?" Suara Gala bergema hanya dalam pikirannya.
Sementara Nara, dengan kecemasan yang jelas terpancar dari gerak-geriknya, menarik lengan kemeja Gala seolah hendak muntah, menunjukkan bahwa dirinya benar-benar tidak tahan lagi. Mengerti isyarat itu, Gala segera mengarahkan mobil ke pinggir jalan.
Tepat saat pintu terbuka, Nara tersungkur keluar dan memuntahkan isi perutnya, sisa alkohol yang ia habiskan mengotori trotoar. Dengan tenang, Gala memberikan sebotol air mineral pada Nara.
"Apa sudah lebih baik?" tanya Gala lembut. Nara menoleh dengan mata yang sembab, tatapan penuh tanya yang tidak bisa dimengerti Gala.
"Apakah kamu benar-benar peduli, atau hanya merasa kasihan saja?" suara Nara terdengar pahit, sementara ia menepis tangan Gala dan mendorong pria itu menjauh dengan seluruh kekuatannya. Sesaat, udara di antara mereka terasa menyesakkan, memuat lebih dari sekedar udara malam yang dingin – namun sesak oleh kekecewaan yang mendera.
"Kamu bicara apa? Tentu aku peduli, kamu itu istriku," suara Gala tetap tenang meski mendung kesedihan tampak menyelimuti wajahnya.
"Hem... istri...?" suara Nara bergetar, penuh ragu, seolah-olah kata itu adalah luka baru yang terbuka. Ia mundur selangkah, tubuhnya bergetar dalam ketakutan, berusaha untuk menjauhi sosok Gala. Tak sadar bahwa bahaya mengintai tepat di belakangnya, sebuah mobil menderu mendekat dengan kecepatan yang menakutkan.
"Dek..." dalam sekejap, dengan reflex cepat layaknya pahlawan, Gala menerjang ke depan, menarik tangan Nara agar terlepas dari cengkeraman maut. Tubuh Gala terhempas keras ke aspal, dan mobil itu—seperti binatang buas—melaju tanpa perasaan.
Mata Nara terbelalak, kakinya terasa lumpuh melihat Gala tergeletak tidak berdaya dengan darah yang merah pekat mengalir di aspal. Suara tangisnya tercekik, "Prof...Gala!" Jeritnya menggema, memecah hening malam, seiring dengan mobil pembawa bencana yang menghilang dalam remang kegelapan.
Nara menahan getaran di tubuhnya. Dunianya seakan berhenti berputar. Nara bukannya menolong Gala,dia hanya mampu menekan kepalannya dengan kedua tanga, berusaha menjaga kesadarannya. Keringat tampak keluar membasahi keningnya.
Memori menakutkan kembali berputar laju di ke palanya, bayangan dirinya menangis meminta tolong untuk menyelamatkan ibunya berputar jelas, hingga akhirnya Nara pun terjatuh dan tersungkur ke aspal.
Tak lama setelah kecelakaan terjadi, polisi lalu lintas dengan cepat datang menghampiri. Debu masih berterbangan di udara ketika Gala dan Nara dilarikan ke rumah sakit terdekat dengan sirene yang memekakkan telinga.
Gala, dengan kepala yang berdenyut hebat, berusaha duduk meski matanya masih terpejam karena rasa sakit yang menyiksa. "Nara....?" Gala bergumam, suaranya terdengar berat, sambil berusaha turun dari tempat tidur dengan segala tenaga yang tersisa. Meski dalam keadaan luka di kepala, Gala lebih menghawatirkan keadaan Nara, ketimbang dirinya sendiri.
"Pak, tolong jangan banyak gerak dulu. Darah Anda masih mengalir," dokter jaga berusaha menenangkan dengan suara yang lembut namun tegas. Gala memandang dokter itu dengan mata yang serius.
"Dokter, di mana istri saya? Saya harus tahu keadaannya!"
"Tenang, Pak. Istri Bapak sedang istirahat di sebelah," ujar seorang polisi yang telah membantu membawa mereka. Ia menyingkap tirai yang memisahkan ruangan, mengungkap sosok Nara yang terbaring lemah.
Gala, dengan nafas yang tersengal-sengal, bertanya dengan penuh kecemasan, "Apakah dia baik-baik saja, Pak? Apakah ada luka di tubuhnya?" Di balik semua rasa sakit yang dideritanya, Gala menunjukkan kekuatan seorang suami yang cemas akan keselamatan sang istri.
"Sejauh ini, hasil pemeriksaan tidak menunjukkan adanya luka; istri Anda hanya mengalami syok, sebentar lagi dia akan sadar," ucap dokter dengan nada yang menenangkan.
Gala menghela nafas lega, rasa berat di dadanya sedikit terangkat mendengar penjelasan dokter itu. Tidak berapa lama, Nara pun tersadar. Dengan gerakan yang masih lemah, ia duduk tegak di atas tempat tidur ruang UGD.
Mata Nara menatap Gala tanpa berkedip, penuh dengan kebingungan dan ketakutan yang belum sepenuhnya sirna.
"Kamu... kamu baik-baik saja?" suara Gala terdengar begitu hawatir, ketika ia mencoba menjangkau jemari Nara. Nara hanya mengangguk kaku, matanya terpaku pada kemeja Gala yang ternoda darah.
Gala tersenyum lega, napasnya pelan terdengar menyerupai bisikan angin. "Syukurlah," gumamnya lirih. Nara, dengan mata yang tajam dan penuh kerinduan, terus memandang Gala, mencoba membaca kebenaran yang mungkin terselip di balik pandangan itu.
"Mas Gala," gumamnya dalam hati, keyakinan itu menguat — semua memorinya yang hilang kini telah kembali. Bahkan lelaki yang kini terbaring lemah dengan perban melilit kepalanya itu, adalah 'Gala' cinta pertamanya, pangeran yang telah merebut hatinya sejak masa sekolah menengah pertama. Meski tak pernah benar-benar berpacaran, Nara dan Gala pernah saling berjanji akan menunggu satu sama lain, hingga Nara mencapai usia dewasa.
"Apakah kami benar-benar telah menikah? Apakah Mas Gala menikahiku hanya untuk menepati janjinya, atau ada paksaan lain yang memintanya terikat janji denganku? Lalu siapa wanita berhijab syar'i itu, yang Mas Gala temui?" Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikirannya, bergema tanpa henti di kepalanya.
Kali ini Nara memilih untuk merahasiakan kembali ingatannya yang telah pulih. Dia bertekad untuk menggali lebih dalam, menyingkap tabir misteri yang mengganjal di hatinya, sebelum segala kebenaran terungkap.
"Maafkan aku, Mas, jika aku terlalu egois. Aku telah menyembunyikan kenyataan bahwa ingatanku sudah pulih," gumam Nara dalam hati dengan nada penuh penyesalan. "Akan kuberitahu segera, setelah segalanya jelas dalam benakku, tentang kita dan wanita yang terus menghantui pikiranku,mengganggu ketenangan jiwaku." Suara hatinya bergetar, penuh dengan konflik batin yang mendalam, mencoba memecahkan teka-teki emosi yang kian membelenggunya.
Saat Nara sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba tiba suara Gala memecah keheningan.
"Dok, apa saya sudah boleh pulang?" tanya Gala, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Dokter itu mengangguk, "Tunggu sebentar ya, Pak. Kami akan melakukan rontgen di bagian kepala untuk memastikan segalanya aman. Jika tidak ada masalah, Bapak bisa pulang setelah pemeriksaan," jelas dokter jaga itu dengan rasa tanggung jawab yang kental terasa dalam suaranya.
"Baik, Dok," jawab Gala koperatif, meski pikiran sebenarnya tengah bercampur aduk. Gala berusaha tetap tenang sambil mencuri pandang ke arah Nara di sampingnya. Ia terlihat melamun, matanya kosong seolah-olah ada sesuatu yang tengah disembunyikan.
Gala pun memberanikan diri untuk bertanya, "Ada apa? Apa yang kamu lamunkan?" Namun Nara hanya menggeleng, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Sikapnya yang tertutup semakin membuat Gala resah, tapi ia tahu ini bukan saatnya untuk memaksa.
Beberapa saat kemudian, seorang polisi mendekati ranjang Gala, untuk meminta keterangan mengenai insiden tabrak lari yang baru saja menimpanya. Gala menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan kronologi kejadian itu secara rinci, berusaha mengingat setiap detail meski rasa sakit akibat benturan masih samar menghiasi tubuhnya.
Setelah selesai memberikan kesaksian, Gala kembali fokus pada kondisi tubuhnya. Hasil rontgen menyatakan bahwa Gala baik-baik saja, meski perasaan tegang belum sepenuhnya hilang. Gala pun akhirnya diperbolehkan pulang, dan kali ini Nara yang mengambil alih kemudi mobilku. Sepanjang perjalanan, diamnya Nara hanya menambah banyak pertanyaan di kepala Gala.
"Apa yang sedang ia pikirkan? Apakah ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku?" Pertanyaan itu hanya tertahan di ujung lidahnya. Sesampainya di apartemen, Nara membantu memindahkan Gala ke kamar.
"Istirahatlah, biar Ara yang ambilkan minum hangat untukmu," bisik Nara lembut, membuat detak jantung Gala berpacu tak terkendali. Mata hitam Gala menatap Nara tak berkedip.
"Apa aku tak salah mendengarnya, 'Ara'..." Gala terpaku, alisnya mengerut dalam keraguan. Nama itu,bukan sekedar nama panggilan, namun itu panggilan kesayangan Gala untuk Nara. Haya Gala yang memanggil Nara dengan panggilan 'Ara', nama kesayangan itu tersimpan sebagai kenangan manis masa indah mereka berdua.Itu bukan hanya sekadar nama, melainkan simbol cinta yang sempat terlupakan oleh Nara.
Gala memandang Nara tak berkedip.
"Apakah ini tandanya, kau telah mengingat sesuatu, Nara?" seru Gala dalam hati, sembari harapan bergejolak di dadanya. Harapan bahwa secercah memori itu akan membawa pulang kekasihnya yang hilang dalam labirin amnesia. Jantungnya berdesir, menunggu jawaban yang akan mengubah segalanya.