Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Eleanor menatap ayahnya sejenak, mencoba menakar sejauh mana ia harus berbagi. Ia menarik napas pelan sebelum menjawab, suaranya tenang namun tegas.
"Itu hanya kecelakaan kecil," katanya, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Aku sudah baik-baik saja sekarang."
Edmund mendengus pelan. "Kecelakaan kecil?" Ia menggeleng. "Jangan meremehkan kecerdasanku, Eleanor."
Ia jelas ingat, saat itu Eleanor sulit dihubungi selama satu minggu. Panggilan telepon tak terjawab, pesan tak dibalas.
Hingga akhirnya, seorang tetangga melaporkan ada suara keras dari apartemen milik Eleanor padanya. Ketika pintu didobrak, ia ditemukan tergeletak di lantai, dalam kondisi berlumuran darah.
Api di perapian ruang keluarga berkobar perlahan, menciptakan bayangan yang menari di dinding. Di hadapannya, Edmund menatap putrinya dengan tajam, ekspresinya penuh selidik.
Edmund menyipitkan mata sebelum memberi pertanyaan kembali. "Kamu menghilang selama seminggu, lalu ditemukan hampir mati di apartemenmu. Apa kamu lupa kejadian itu?"
Eleanor menelan ludah, tapi ia tetap duduk dengan punggung tegak.
Edmund menyandarkan diri ke kursinya, menyilangkan tangan di dada. "Katakan, Eleanor. Apa kejadian itu ada sangkut pautnya dengan Sergey?"
Nama itu menggantung di udara, berat dan dingin. Sergey, pria yang pernah ia pikir bisa menjadi tempat berlindung, tapi justru berubah menjadi belenggu dalam hidupnya.
Eleanor menatap ayahnya lama. Ia ingin berbohong, ingin mengatakan bahwa Sergey tak ada hubungannya dengan semua ini. Tapi tatapan Edmund terlalu tajam, terlalu mengenalinya.
"Ayah pasti sudah tahu jawabannya," Eleanor akhirnya berkata, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.
Edmund menghela napas, mencondongkan tubuh ke depan. "Aku tahu banyak hal, Eleanor. Tapi aku ingin mendengar langsung darimu. Aku tidak marah padamu, aku hanya ingin kamu lebih terbuka pada keluarga."
Eleanor menunduk, menatap bekas perban di tangannya yang tertutup lengan baju. "Aku pikir... aku bisa mengatasinya sendiri. Aku salah."
Edmund tidak langsung merespons. Ia hanya mengamati putrinya dengan ekspresi yang sulit ditebak, sebelum akhirnya berkata dengan suara datar, "Sergey harus disingkirkan."
Eleanor mengangkat kepalanya, terkejut. "Ayah tidak bisa begitu saja-"
"Aku bisa," potong Edmund. "Dan aku akan melakukannya. Kamu putriku satu-satunya, bagaimana bisa aku membiarkan pria itu terus menyakitimu!"
Seketika, ruangan itu terasa lebih dingin. Eleanor menghela napas panjang, ia tidak percaya bahwa ayahnya akan bersikap seperti ini.
Ia kira, ayahnya akan bersikap kasar seperti kebanyakan novel transmigrasi yang dulu sempat ia baca. Tapi ternyata dugaan itu salah besar, meski wajah ayahnya terlihat garang dan kejam tapi sikapnya cukup lembut dan tegas.
"Ayah, aku sendiri yang akan mengurusnya." Eleanor tersenyum tipis. "Perjanjian pernikahan keluarga kita dengan keluarga mereka cukup berat, jika Ayah turun tangan maka Ayah bisa kehilangan perusahaan Ayah."
Edmund menatap Eleanor lama, ekspresinya tetap tajam namun kini lebih penuh pertimbangan. Ia mengetuk jari-jarinya di lengan kursi, lalu menghela napas pelan.
"Ayah tidak peduli dengan perusahaan jika itu berarti membiarkanmu terus tersiksa," katanya akhirnya. "Keluarga kita punya cara untuk menangani masalah seperti ini tanpa kehilangan apa pun."
Eleanor tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu betul bahwa jika ayahnya turun tangan, Sergey tidak akan sekadar diperingatkan pria itu mungkin akan menghilang dari dunia ini tanpa jejak.
"Masalahnya, aku tidak ingin Ayah melakukan itu," kata Eleanor. "Aku ingin membereskannya dengan tanganku sendiri, terlebih ini masalah dalam rumah tanggaku."
Edmund menaikkan alis. "Dan bagaimana caramu melakukannya, Eleanor? Sergey bukan orang sembarangan. Jika kamu mencoba melawan tanpa persiapan, dia hanya akan menjatuhkanmu lagi dan lagi."
Eleanor meremas ujung bajunya, lalu menatap ayahnya dengan penuh keyakinan. "Aku tidak akan jatuh lagi, Ayah. Aku sudah cukup menderita, dan aku tidak akan membiarkan dia menang kali ini."
Edmund mengamati putrinya sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis, ada rasa bangga yang tersembunyi di balik ekspresinya yang keras.
"Baiklah," katanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Tapi kamu harus tahu, Eleanor, jika kamu butuh bantuan, Ayah tidak akan tinggal diam."
Eleanor mengangguk, rasa hangat yang jarang ia rasakan mengalir dalam dadanya. "Terima kasih, Ayah."
"Lea, kamu menginap saja malam ini di sini, ya." Suara ibunya kembali terdengar setelah pembicaraan anak dan ayah itu selesai.
Eleanor menoleh ke samping kanan, sudut bibirnya terangkat hingga membentuk lengkungan. "Maaf, Bu. Aku tidak bisa, nanti malam aku harus ke rumah mama. Mereka mengajak makan malam bersama."
Seketika raut wajah Hanna berubah murung, "Mereka selalu memonopolimu, padahal kamu putriku bukan putri mereka."
Eleanor tersenyum tipis melihat ekspresi ibunya. Hanna memang selalu seperti itu protektif dan sedikit posesif, terutama sejak Eleanor menikah dengan Sergey.
"Bu, aku juga putri Mama meski hanya sekedar menantu. Tapi mereka sudah menganggapku seperti putrinya sendiri," ujar Eleanor lembut.
"Tapi aku yang melahirkanmu," balas Hanna cepat, suaranya mengandung ketidakpuasan yang sulit disembunyikan.
Edmund menghela napas pelan, lalu meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Hanna, kita sudah membicarakan ini. Tidak ada gunanya mempermasalahkan siapa yang lebih berhak atas Eleanor."
Hanna mendengus pelan, tapi tidak membantah. Ia hanya menatap putrinya dengan ekspresi terluka, seolah Eleanor telah memilih pihak lain.
Eleanor meraih tangan ibunya dan menggenggamnya erat. "Bu, aku tidak berpihak pada siapa pun. Aku hanya mencoba menjaga keseimbangan di antara dua keluarga."
Hanna mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya tersenyum lemah. "Baiklah, tapi janji, setelah ini kamu akan lebih sering menghabiskan waktu di rumah."
Eleanor mengangguk. "Aku janji."
***
Suara detak jam memenuhi ruangan milik Sergey, pria itu sangat sibuk hari ini. Tumpukan berkas yang harus ia tanda tangani sangat banyak, belum lagi beberapa panggilan dari klien yang bekerjasama dengannya.
"Sial, kalo saja ini tidak menghasilkan uang sudah aku bakar semua kertas ini." Gerutunya.
Suara ketukan pintu terdengar, Sergey menyahut dan mengatakan agar orang itu masuk saja ke ruangannya.
Saat pintu terbuka, sosok pria jangkung berpakaian rapi muncul dengan membawa berkas di tangannya.
"Selamat siang, Tuan. Ini ada berkas tambahan dari perusahaan Collins." Ujar Derrick, asisten Sergey.
Sergey mendesah berat, menyandarkan punggungnya ke kursi dan memijat pelipisnya. "Collins lagi? mereka pikir aku ini mesin tanda tangan atau apa?"
Derrick hanya tersenyum tipis, sudah terbiasa dengan keluhan bosnya yang satu ini. Ia melangkah mendekat dan meletakkan berkas di atas meja.
"Apa isi berkas itu?" tanya Sergey tanpa langsung mengambilnya.
Derrick membuka halaman pertama dan menjelaskan, "Ini revisi kontrak kerja sama mereka dengan kita. Ada beberapa klausul yang mereka sesuaikan, terutama soal pembayaran dan jadwal distribusi."
Sergey mengangkat alis. "Jadwal distribusi? apa mereka mencoba mengubah tenggat waktu lagi?"
Derrick mengangguk. "Benar, Tuan. Mereka meminta tambahan dua minggu karena ada kendala produksi."
Sergey mendecakkan lidah, lalu mengambil berkas itu dan mulai membaca dengan cepat. Matanya menyipit saat melihat beberapa bagian yang terasa tidak menguntungkan bagi perusahaannya.
"Hmph, mereka pikir aku akan menyetujui ini begitu saja?" gumamnya, sebelum menutup berkas dengan cukup keras.
"Derrick, beri tahu tim hukum kita untuk meninjau ini lagi. Aku tidak mau mereka semena-mena hanya karena kerja sama kita sudah berlangsung lama."
Derrick mengangguk patuh. "Baik, Tuan. Saya akan segera menghubungi mereka."
Sergey kembali menyandarkan tubuhnya, merasa sedikit lebih waspada sekarang. Collins memang mitra lama, tapi bukan berarti mereka bisa begitu saja mengubah kesepakatan seenaknya.
Hingga di tengah keheningan, ponsel Sergey bergetar. Ia melirik sekilas nama di atas layar itu, lalu mematikan panggilan tersebut.
thor 😄😄😄😄😄😄