"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
...****************...
Begitu mobil berhenti di halaman rumah, aku menarik napas panjang. Rasanya campur aduk. Aku lega karena akhirnya bisa pulang, tapi di sisi lain… aku masih merasa kesal dengan semua yang terjadi.
Pintu mobil dibuka oleh salah satu pelayan, dan Arsen langsung turun lebih dulu sebelum menghampiriku. Dengan sigap, dia melepas sabuk pengaman dan membantuku turun.
"Pelan-pelan," katanya lembut sambil membantuku duduk kembali di kursi roda.
"Aku bisa sendiri, kau tahu."
Dia hanya menatapku sejenak sebelum mendorong kursi roda masuk ke dalam rumah.
Begitu melewati pintu, beberapa pelayan sudah berjajar di dekat tangga. Wajah mereka terlihat cemas.
"Nyonya, apakah Anda baik-baik saja?" tanya salah satu pelayan perempuan dengan suara penuh kekhawatiran.
"Aku baik-baik saja." balasku sambil tersenyum tipis.
Tapi sejujurnya, aku gak benar-benar baik. Lututku masih nyeri dan pikiranku masih berantakan.
"Nathan baru saja bangun, Nyonya. Kami sudah memberinya susu." Ucap salah satu pelayan lain.
"Aku ingin melihatnya." balasku dan menoleh pada Arsen.
Tanpa menjawab, Arsen langsung mendorong kursi rodaku menuju kamar. Begitu pintu terbuka, aku melihat Nathan sedang duduk di tempat tidurnya dengan mata masih mengantuk.
"Hei, sayang…" aku langsung mengulurkan tangan, dan tanpa ragu, Nathan merangkak kecil ke arahku.
Arsen mengangkatnya perlahan dan meletakkannya di pangkuanku. Nathan memegang bajuku erat-erat, lalu menyandarkan kepalanya ke dadaku.
Aku tersenyum kecil, mengusap punggungnya. Entah kenapa, hanya dengan memeluk Nathan seperti ini, semua rasa sakit yang kurasakan sedikit mereda.
Arsen berlutut di sampingku, menatap kami berdua. "Maaf…" katanya pelan.
"Sudah cukup kau meminta maaf, Arsen. Yang penting sekarang, pastikan Tiara gak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi."
Matanya sedikit menggelap. "Percayalah, aku gak akan membiarkan dia mendekat lagi."
Aku mengangguk, percaya dengan ucapannya. Aku gak mau mengalami kejadian mengerikan seperti kemarin lagi. Aku gak mau Nathan melihat semua itu.
Sekarang, aku hanya ingin memulihkan diri—baik fisik maupun perasaanku. Aku ingin menjalani hari-hariku dengan lebih tenang. Meskipun aku gak tahu sampai kapan semua ini akan berlangsung, yang jelas, aku gak akan membiarkan diriku jatuh lebih dalam lagi.
...****************...
Keesokan harinya, aku terbangun dengan Nathan yang menggeliat kecil di sampingku. Semalaman dia tidur di sini, di ranjangku. Biasanya Arsen akan membawanya kembali ke kamarnya sendiri, tapi kurasa dia membiarkannya kali ini.
Aku mengusap wajahku, mencoba mengumpulkan kesadaran. Lututku masih terasa nyeri, tapi jauh lebih baik daripada kemarin.
Saat aku hendak bangkit, pintu kamar terbuka. Arsen masuk dengan tangan yang membawa nampan berisi sarapan. Matanya langsung menatapku.
"Kau sudah bangun," katanya pelan, menutup pintu dengan kakinya.
"Kau membawakanku sarapan?" tanyaku, mengerutkan kening.
"Tentu saja. Kau harus makan yang banyak biar cepat sembuh," jawabnya, mengangkat bahu ringan.
Aku diam sejenak sebelum akhirnya membiarkannya mendekat. Arsen meletakkan nampan di meja samping tempat tidur, lalu duduk di sisi ranjang, tepat di depanku. Aku bisa merasakan kasur sedikit tenggelam di bawah berat tubuhnya.
"Kau mau menyuapiku juga?" tanyaku, mengernyit saat melihatnya mengambil sendok dan mengaduk bubur di dalam mangkuk.
"Kenapa tidak?" ucapnya santai, mengangkat alis.
"Aku bukan anak kecil, Arsen," dengusku, melipat tangan di dada.
"Aku tahu," katanya santai. "Tapi aku tetap ingin melakukannya."
Dia menyendok sedikit bubur dan menyodorkannya ke mulutku. Aku menatapnya curiga, tapi akhirnya membuka mulut juga.
"Bagus," gumamnya sambil tersenyum kecil.
Aku mengunyah perlahan, lalu meneguk jus yang sudah tersedia. Saat aku hendak meletakkan gelasnya, Arsen tiba-tiba mengangkat tangannya untuk menyentuh sudut bibirku.
Aku membeku.
"Ada sisa bubur di sini," katanya pelan, ibu jarinya menyeka sudut bibirku dengan gerakan yang sangat lembut.
Aku merasa napasku tertahan. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat.
Aku gak bisa mengalihkan pandangan dari matanya. Dia juga gak berpaling, seolah menelanku bulat-bulat dengan tatapannya yang begitu dalam.
Suasana di antara kami terasa begitu intens. Aku bahkan bisa merasakan hangatnya napasnya yang begitu dekat.
Aku menelan ludah, tiba-tiba merasa gugup.
Arsen tersenyum miring. "Kenapa wajahmu memerah, hm?"
Aku tersentak, buru-buru mengalihkan wajah. "Tidak! Kau hanya berhalusinasi!"
Dia terkekeh pelan, tapi tetap menatapku lama. Seolah dia tahu sesuatu yang bahkan aku sendiri belum menyadarinya.
Sial.
Tembok yang selama ini kubangun perlahan runtuh lagi.
...****************...
Malam itu, aku baru saja selesai mengganti perban di lututku ketika pintu kamar terbuka. Aku menoleh dan melihat Arsen masuk dengan langkah santai, mengenakan kaus putih tipis dan celana tidur longgar.
"Kau sudah siap tidur?" tanyanya sambil menutup pintu di belakangnya.
"Kenapa kau menanyakan itu?" tanyaku heran.
"Karena aku juga akan tidur di sini," Jawabnya sambil berjalan mendekat lalu duduk di tepi ranjang.
"Tunggu, apa?" Aku langsung menegang.
"Ya, kita kan sudah menikah secara hukum. Meski hanya di atas kertas, kita tetap sah sebagai suami istri," ucapnya santai, menatapku dengan ekspresi tenang seolah yang dia katakan itu hal yang wajar.
"Dan itu artinya kita harus tidur satu ranjang?" Aku memelototinya.
"Kenapa tidak?" katanya santai dan mengangkat bahunya.
"Arsen, kita sudah sepakat untuk tidur di kamar masing-masing!" Aku mengerang frustrasi.
Dia hanya terkekeh sebelum berbaring begitu saja di sampingku, menyandarkan kepalanya di bantal dan menatapku dengan tatapan menggoda.
"Tapi sekarang aku berubah pikiran."
"Kalau kau tetap di sini, aku akan menendangmu keluar," ancamku dan menatapnya dengan tajam.
Dia melirik lututku yang masih diperban, lalu tersenyum. "Dengan kondisi kakimu seperti itu? Jangan bercanda, Sienna."
"Arsen, aku serius!" dengusku kesal.
Dia tertawa pelan, lalu tiba-tiba mendekat. Tangannya bertumpu di samping kepalaku, wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku.
"Kenapa? Takut jatuh hati padaku?" bisiknya dengan suara rendah, membuat jantungku berdetak lebih cepat.
Aku langsung menoleh ke samping, menghindari tatapannya. "Tidak, aku takut kau yang jatuh hati padaku."
"Terlambat," katanya sambil terkekeh.
Aku menoleh kaget, tapi dia sudah lebih dulu berbalik, menarik selimut, dan memejamkan mata.
"Tidurlah, Sienna."
Aku menatapnya lama, ragu, sebelum akhirnya menghela napas pasrah. "Dasar menyebalkan," gumamku pelan.
“Sienna.”
Aku menoleh, hanya untuk menemukan wajahnya yang sudah lebih dekat dari yang seharusnya. Nafasnya hangat, nyaris menyentuh kulitku.
"Hm?" Aku mencoba terdengar biasa saja, meski dadaku tiba-tiba terasa sempit.
Arsen tidak menjawab. Aku pikir dia akan menarik diri, tapi ternyata… dia justru lebih mendekat. Bibirnya menyentuh puncak kepalaku, mengecupnya pelan.
Aku membeku. Jantungku seolah lupa cara bekerja selama beberapa detik.
"A-Arsen..." suaraku terdengar lebih lirih dari yang kuharapkan.
Dia menarik diri sedikit, tapi bukan untuk menjauh—melainkan untuk melihat reaksiku. Matanya menatapku penuh arti, sudut bibirnya terangkat dengan ekspresi menggoda.
"Kenapa?"
Aku mengerjap, berusaha keras mengendalikan diri. "Kenapa kau tiba-tiba...?"
Dia tersenyum miring. "Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya mencium istri sendiri."
Darahku langsung naik ke wajah. "Arsen! Kita—"
"—menikah, iya, aku tahu," potongnya dengan suara rendah. Matanya masih mengunci mataku, membuatku sulit berpikir jernih. "Aku tidak melakukan sesuatu yang salah, kan?"
Aku menelan ludah, lalu buru-buru membuang muka. "Itu... tetap saja."
Arsen tertawa pelan. "Kau gugup?"
"Tentu saja tidak!" jawabku cepat, meski aku yakin aku tidak terdengar meyakinkan.
Dia menggeser tubuhnya lebih dekat, hingga aku bisa merasakan hawa tubuhnya menyelimuti tubuhku.
"Sienna," bisiknya di dekat telingaku. "Apa aku terlalu dekat?"
Aku menggigit bibir, tidak berani menoleh. "Kau tahu jawabannya."
Tangannya terangkat, menyentuh daguku dan memaksaku menoleh ke arahnya. Aku bisa melihat tatapan jahil sekaligus menggoda di matanya.
"Aku ingin melihat ekspresimu," katanya, jari-jarinya bergerak dengan lembut menyusuri rahangku.
Aku merasa seperti ada listrik yang menjalar di kulitku. Aku seharusnya mendorongnya menjauh, tapi tubuhku tidak bisa bergerak.
"Arsen, bagaimana dengan Nathan?"
"Dia sudah tidur, aman.."
Dia hanya tersenyum tipis, lalu mendekat lagi—lebih dekat dari sebelumnya. Bibirnya hampir menyentuh pipiku ketika dia berbisik, "Selamat malam, istriku."
Dan dengan itu, dia menarik diri, berbalik, lalu benar-benar tidur.
Sementara aku masih terbaring dengan jantung berdebar tak karuan, wajah memanas, dan pikiran yang berantakan.
.
.
.
Next👉🏻