Sean Ronald Javindra, putra ketiga Eriel dan Edna ditugaskan daddynya ke Surabaya. Tas kecil satu satunya yang dia bawa tertinggal di toilet bandara. Untung dia sudah melewati bagian imigrasi.
"Sial," makinya kesal. Dia jadi ngga bisa menghubungi keluarga dan teman temannya, kaena ponselnya berada di dalam tas kecil itu.
Dia dengan sombong sudah menolak semua fasilitas daddynya karena ingin jadi orang biasa sebentar saja.
"Emang lo udah siap nerima hinaan?" cela Quin saat mengantarkannya ke bandara beberapa jam yang lalu.
"Yakin naek pesawat ekonomi?" ejek Theo mencibir.
"Jangan banyak protes ntar," sambung Deva dengan wajah mencelanya.
Sean malah terkekeh, menganggap enteng semua perkataan mereka.
Sekarang dia baru rasakan apesnya. Kaki panjangnya terasa pegal karena terpaksa di tekuk. Duduknya yang ngga bisa bebas karena kursinya berderet untuk tiga orang. Belum lagi tangis bocil yang ngga berhenti di depannya.
Rasanya saat itu kemarahan Sean mau meledak,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah diantisipasi
Sean memperhatikan ruang kerja yang tampak kaku saat dia sudah berada di dalamnya.
"Duduk."
Sean menurut, karena kakek itu sudah lebih dulu duduk.
"Kamu siapa? Kenapa cucuku bisa bisanya memperkerjakanmu jadi supir? Dia kenal kamu dimana?" berondong kakek tua itu ngga sabar.
Hampir saja Sean tergelak. Seumur umur opa opanya ngga pernah menanyainya dengan model begini.
Satu senyum miring tersungging tipis.
"Nama saya Javin, kek. Saya ngga sengaja ketemu cucu anda di bandara."
Kakek tua itu-Luthfi Muhsin menatapnya sengak.
Anak muda ini ngga takut dengannya, batinnya jengkel. Setelah seenaknya saja mengintip dan menggendong cucunya, kini menghadapinya pun dia cengar cengir saja.
Luthfi Muhsin terus mengumpat dalan hati.
"Kenapa cucuku langsung percaya sama kamu. Bisa saja kamu penculik," ucapnya geram.
Bibit Sean kembali berkedut.
Mami.... Anak gantengmu dituduh penculik, tawanya dalam hati.
"Ngapain saya menculik cucu anda, kek. Lebih mudah kalo saya menculik anak kecil," sahutnya enteng.
Luthfi Muhsin menggeram menahan marahnya yang sudah sampai ke ubun ubunnya. Tapi kata kata anak kurang adab ini separuhnya memang benar.
"Katakan yang sebenarnya terjadi! Tampangmu bukan tampang supir! Siapa kamu sebenarnya!"
Memang, sih, batinnya menyahut geli.
"Aku ngga kepikiran jadi supir." Sengaja Sean ingin menggoda kakek pemarah itu.
BRAK!!
"Jangan buat aku marah!" Nafasnya mulai memburu saking emosinya.
"Just relax, kek," senyumnya tambah melebar.
"Oke, oke, akan aku jelaskan." Sean mengalah ketika kakek itu mengancam akan melemparkan asbak kaca yang cukup tebal itu ke arahnya.
"Saya menolongnya ketika di bandara. Mobilnya macet. Saat saya mau pergi, dia malah maksa saya jadi supirnya dan langsung dibayar tiga ratus juta untuk masa kerja enam bulan," jelas Sean panjang lebar. Ngga tega kalo kakek ini bakal terkena stroke karena candaannya yang usil.
"APA! TIGA RATUS JUTA!" Penjelasan Sean malah membuat bola mata kakek itu ingin keluar dari sarangnya.
"Iya," jawab Sean membenarkan. Sayangnya kartu atmnya tertinggal di dalam kamar.
Luthi Muhsin menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil membetulkan jalan nafasnya.
Tapi gaji supir tiga ratus juta yang dibagi enam bulan dibayar cash, membuat Luthfi Muhsin makin ngga bisa mikir. Logikanya jebol.
Apa yang cucunya pikirkan....
"Jadi gajimu lima puluh juta satu bulan?" Luthfi Muhsin merasa perlu mempertegas.
"Ya."
"Sudah dibayar dimuka?"
"Ya."
Terdengar helaan nafas kasar kakek tua itu.
Hari ini jantungnya sudah beberapa kali menerima kejutan berat.
"Memangnya mobil cucuku kenapa?" Alasan laki laki ini ternyata berkolerasi dengan keterlambatan cucunya yang datang ke perusahaan.
"Mogok."
"Kenapa dia ngga telpon montir?! Kenapa harus kamu yang nolong?! Kamu ada maksud tertentu, ya?!"
Sean tertawa pelan. Jadi ingat omanya Khanza yang rada cerewet.
Tapi sekarang yang dia hadapi malah kakek tua yang bawel.
"Mana saya tau kakeeek.... Saya yang mau pergi langsung dicegat cucu kesayangan anda. Ada saksi, kok, satpam bandara," jelasnya sambil terkekeh.
Luthfi Muhsin tambah melotot melihat reaksi ngga sopan dan kurang ajarnya.
Bisa bisanya Ariella mempekerjakan orang seperti ini. Padahal dia tau kakek maupun papanya punya banyak kualifikasi orang yang bisa dihandalkan.
PRANK
Untung Sean gesit mengelak ketika asbak rokok yang terbuat dari kaca yang cukup tebal itu beneran terbang ke arah kepalanya.
Dia cepat merunduk tadi hingga lewat sejengkal di atas kepalanya, hingga asbak kaca itu menabrak dinding di belakangnya.
Hufff.... Beneran si kakek ini pengidap hipertensi akut.
Tenaganya kuat juga, batin Sean geli karena sudah membuat kakek itu marah besar.
"Udah, ya, kek. Aku besok harus bangun pagi," pamit Sean santai, dia bermaksud pergi, ngga mau membuat si kakek tambah mengamuk.
Ngga terdengar jawabannya, tapi saat Sean akan membuka pintu, langkah kakinya tertahan oleh suara ancaman si kakek Ariella.
"Sekali saja kamu telat, kamu akab didenda! Lima puluh juta!"
"Siap." Sean melambaikan tangannya tanpa menoleh. Kekehannya pun terdengar.
Lima puluh juta? Keciiil keeek, tawanya dalam hati.
*
*
*
Beberapa jam sebelumnya.
"Pa, kita mendukung Ariella?" tanya Nikko setelah mereka meninggalkan rumah kakeknya.
"Kita berhutang banyak pada Om Ghosam. Masa di saat dia sakit, kita tinggalkan?"
Istrinya mengangguk mengerti.
"Aku ramalkan, ngga sampai enam bulan, perusahaan bisa langsung pailit kalo Om Idrus yang menjadi CEOnya," tambahnya lagi.
Fredo baru tau tentang hobi baru kakak laki laki nomer duanya. Judol. Beberapa bulan lalu dia memergokinya.
"PAPA, HATI HATI!" seru Niko tiba tiba mengingatkan.
"AAAHH....!" jerit istrinya ketika melihat sebuah mobil yang ukurannya lebih besar dari milik mereka mulai merapat.
Fredo menginjak pedal gasnya lebih dalam hingga mobilnya kini melesat lebih cepat.
BRAK!!
"Aaahhh...!"
Bagian belakang mobil sempat terhantam hingga terdorong lumayan keras.
Untunglah Fredo tetap tenang mengendalikan stirnya. Dia semakin dalam menginjak pedal gas.
"Mobil itu ngga ngejar lagi?" seru istrinya panik sambil menoleh ke belakang. Nikko juga melihat ke arah yang sama dengan mamanya.
Yang mengagetkan mobil yang menabrak mereka sudah terguling di belakang sana.
Ngga tau siapa yang melakukannya, karena Fredo sudah sangat ngebut.
"Ada yang menolong kita, pa," ucap Nikko setelah mobil mereka semakin jauh meninggalkan mobil penabrak.
"Kita mulai mendapat serangan dari orang orang Mas Idrus. Kalian harus lebih waspada."
"Pa....," ucap istrinya masih takut. Jantungnya saja masih berdebar sangat keras dan cepat Belum lagi nanti dia akan menghadapi intimidasi istrinya Mas Idrus.
Nikko tak berkomentar apa apa. Dia tau papanya pasti akan berbuat sesuatu.
"Papa nanti akan menghubungi Om Giri. Dia pengawal bayangan Om Ghosam. Papa akan minta dia melindungi kita, Ariella dan kakek kamu."
"Ya, papa."
Harusnya dia langsung menghubungi Mas Giri setelah merealisasikan dukungannya pada putri mas Ghosam.
Berharap Ariella dan papanya akan baik baik saja.
Hanya saja, siapa tadi yang sudah menolong mereka? Benaknya diliputi penuh tanda tanya.
*
*
*
"Idrus sudah memulai aksinya, Riel," ucap Devin. Pengawalnya baru saja melapor.
Setelah menyelidiki siapa yang sedang didekati Sean, Devin langsung fast response.
Karena dia tau Idrus bekerja dengan orang orang yang berbahaya. Fazza juga termasuk yang memberikan info tentang dunia hitam Idrus.
"Thank's, Vin. Anak gua memang merepotkan," kekeh Eriel yang mendapat laporan via telpon.
Devin pun tergelak juga.
"Ngga apa, aku juga lagi gabut," sahutnya santai di sela tawanya.
Setelah Dewa menikah yang ternyata dibarengi Aaron, keadaan keluarga besar mereka lagi sangat senggang. Mereka masih dalam suasana bahagia.
Tapi Eriel tiba tiba bawa kabar udah dapat calon mantu untuk Sean, tentu saja membuat mereka semua bereaksi antusias. Apalagi keluarga besar calon mantunya Eriel ternyata cukup bermasalah.
"Seharusnya Sean mengaku saja, jadi dia lebih mudah melindungi gadis itu," cela Eriel dalam gelaknya.
"Tiap generasi keturunan keluarga besar kita selalu ada yang seperti itu. Memang cukup menyusahkan," timpal Devin juga dalam tawanya yang berderai.
"Ya, ya," kekeh Eriel.
DinDut Itu Pacarku ngasih Iklan
rumahku perbatasan gersik lamongan ...
😁😁