Dewasa🌶🌶🌶
"Apa? Pacaran sama Om? Nggak mau, ah! Aku sukanya sama anak Om, bukan bapaknya!"
—Violet Diyanara Shantika—
"Kalau kamu pacaran sama saya, kamu bakalan bisa dapetin anak saya juga, plus semua harta yang saya miliki,"
—William Alexander Grayson—
*
*
Niat hati kasih air jampi-jampi biar anaknya kepelet, eh malah bapaknya yang mepet!
Begitulah nasib Violet, mahasiswi yang jatuh cinta diam-diam pada Evander William Grayson, sang kakak tingkat ganteng nan populer. Setelah bertahun-tahun cintanya tak berbalas, Violet memutuskan mengambil jalan pintas, yaitu dengan membeli air jampi-jampi dari internet!
Sialnya, bukan Evan yang meminum air itu, melainkan malah bapaknya, William, si duda hot yang kaya raya!
Kini William tak hanya tergila-gila pada Violet, tapi juga ngotot menjadikannya pacar!
Violet pun dihadapkan dengan dua pilihan: Tetap berusaha mengejar cinta Evan, atau menyerah pada pesona sang duda hot?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Pergolakan
Di atas ranjang, tubuh Nana yang telanjang terlentang, sementara seorang pria yang sangat Evan kenal, Roy, sedang bertumpu di atasnya. Mata Nana yang masih setengah terpejam tiba-tiba membelalak ketika mendengar suara pintu yang dibuka dengan keras.
"E-Evan?!" suara Nana nyaris tak keluar, tubuhnya menegang seketika.
Roy, yang masih dalam keadaan telanjang, refleks menoleh ke arah Evan dan buru-buru meraih selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Van! Ini nggak seperti yang Lo pikir!" katanya panik.
Evan terpaku di tempatnya, napasnya memburu. Matanya bergantian menatap Nana dan Roy, sahabatnya sendiri, yang kini tengah berusaha menutupi tubuh mereka dengan selimut.
"Kalian..." suaranya serak, nyaris tak terdengar. "Apa-apaan ini...?"
Roy yang panik langsung turun dari ranjang, berusaha mengambil celananya yang tercecer di lantai. "Van, tenang dulu, gue bisa jelasin—"
"Tenang?!" suara Evan meledak, penuh amarah. "Lo udah tidur sama cewek gue, di apartemen yang gue kasih buat dia, dan lo mau masih bisa nyuruh gue tenang?!"
"Evan, tolong dengar dulu!" Nana ikut turun dari ranjang, tubuhnya terbungkus selimut. Wajahnya terlihat sangat ketakutan.
Evan mundur selangkah, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Hatinya terasa diremukkan begitu saja oleh kenyataan pahit yang baru ia lihat. "Udah berapa lama?" tanyanya, suaranya bergetar.
Nana menelan ludah, tak bisa menjawab.
"Jawab, Nana! Berapa lama kalian udah main di belakang gue?!"
Roy menunduk, seakan tak sanggup menatap mata Evan. "Udah… sekitar enam bulan Van."
Evan tertawa miris. "Enam bulan? Jadi, selama ini waktu kita latihan bareng, tampil dari panggung satu ke panggung lain, lo juga tidur sama cewek gue di belakang gue?!"
Roy mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Gue nggak pernah maksud buat nyakitin lo, Van. Ini semua terjadi begitu aja…"
"Hal kayak gini nggak mungkin ‘terjadi begitu aja,’ Roy!" Evan mendengus. "Lo sahabat gue! Seharusnya lo nggak ngelakuin ini sama gue!"
Nana buru-buru melangkah mendekat dan mencoba menyentuh Evan, tapi Evan langsung menepis tangannya. "Evan, aku… aku masih sayang sama kamu… Aku cuma… aku kesepian…"
Evan menatapnya dengan jijik. "Kesepian?" Ia tertawa lagi, suaranya terdengar getir. "Jadi, ini cara lo ngilangin kesepian? Dengan tidur sama sahabat gue?"
Nana terisak. "Maaf…"
"Maaf?" Evan menggeleng tak percaya. "Asal Lo tau, Gue udah siap ngelamar lo, Nana," katanya lirih, membuka kotak cincin yang sedari tadi tergenggam di tangannya. "Gue pikir kita bakal nikah. Gue pikir lo setia sama gue. Tapi ternyata, empat tahun kebersamaan kita nggak ada artinya buat Lo,"
Nana makin terisak, ia menutup mulutnya dengan tangan. "Evan, aku…"
Evan mengatupkan kotak cincin itu dengan kasar, lalu melemparkannya begitu saja di sembarang tempat. "Gue udah muak." Ia menatap Roy tajam. "Dan lo, jangan pernah muncul lagi di depan gue."
"Evan—"
"Jangan pernah manggil nama gue lagi," Evan menunjuk tajam ke arah Roy. "Mulai sekarang, Lo udah bukan temen gue."
Tanpa menunggu lebih lama, Evan berbalik dan keluar dari apartemen dengan langkah berat, meninggalkan Nana yang menangis dan Roy yang terdiam penuh rasa bersalah.
Begitu berada di mobil, Evan menggebrak setir dengan keras, dadanya naik turun menahan emosi. Semua yang ia bangun selama empat tahun ini hancur begitu saja dalam hitungan detik.
Matanya terasa panas, tapi ia menolak menangis.
Dengan tangan gemetar, Evan menghidupkan mesin mobil dan menancap gas dengan kecepatan tinggi.
...----------------...
Di dalam kamarnya, William duduk termenung sambil memandangi layar ponselnya. Wajahnya tampak bimbang. Di layar, terpampang nama dan nomor ponsel Violet.
Sebenarnya, tadi William sudah mengantarkan Violet sampai ke kosannya dan memastikan gadis itu masuk dengan selamat. Tapi, bayangan wajah sembab Violet yang menangisi Evan masih menghantuinya. Ada sesuatu yang membuat hatinya terasa berat.
"Haish..." William mendesah kesal. "Sampai kapan aku harus begini, sih?"
Dia sadar betul ada yang tidak normal dengan perasaan dan tingkah lakunya. Bayangkan saja, pria 44 tahun sepertinya jatuh cinta pada gadis berusia 19 tahun. Bisa-bisa dia dicap predator karena menyukai seseorang yang jauh lebih muda, meskipun secara hukum Violet sudah tergolong dewasa.
Tapi, mau bagaimana lagi? William tidak bisa menahan perasaannya sendiri. Air jampi-jampi itu benar-benar membuatnya kehilangan akal setiap kali berada di dekat Violet. Seolah-olah, ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Padahal, sejak bercerai dengan mantan istrinya sepuluh tahun lalu, William tidak pernah tertarik pada wanita mana pun. Banyak perempuan cantik dan seksi yang mencoba menggoda, tapi tak satu pun yang bisa mengetuk hatinya. Namun anehnya, keberadaan Violet dalam waktu singkat berhasil membuatnya tergila-gila. Meskipun kembali lagi itu semua ada campur tangan dari air jampi-jampi yang tak sengaja ia minum.
William menghela napas panjang, masih menatap layar ponselnya. Tangannya gatal ingin menekan tombol panggil, tapi ia ragu. Menelepon gadis itu malam-malam? Bukankah itu aneh?
Dan lagipula, apa yang harus ia bicarakan jika Violet mengangkat teleponnya nanti?
"Arghh, kenapa aku jadi kayak remaja yang baru jatuh cinta begini sih?!" Geramnya, sambil mengacak rambutnya frustrasi.
Dia menendang-nendang selimut kesal, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang terus berputar di kepalanya. Namun, tepat pada saat itu—
Ponselnya berdering.
Tubuh William langsung menegang. Napasnya seakan tertahan.
Tatapannya turun ke layar ponsel, dan di sana, nama yang terpampang membuat dadanya berdebar kencang.
Purple
Sebelumnya, author mau ngucapin selamat menunaikan ibadah puasa bagi para pembaca yang muslim 🥰🙏
Terus.. untuk menjaga kekhusyukan para pembaca dalam beribadah, mulai besok bab selanjutnya akan update setelah buka puasa. Jadi tenang aja, meskipun ada adegan plus plusnya, ga akan bikin batal 🤭
Terimakasih atas perhatian nya...
Dukung terus karya ini dengan kasih like, komen, gift, subscribe, dan lain-lain.
Terimakasih! ❤