Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 ( 21+)
Belum ada kata yang mampu terucap dari bibir Ajela . Keberadaan pria muda itu membuatnya menarik sebuah kesimpulan, bahwa lelaki tua yang menjemputnya tadi hanyalah perantara, dan yang sebenarnya menginginkan gadis adalah pria muda dan gagah ini.
"Kenapa kamu malah diam?" pekik pria itu, membuat tubuh Ajela tersentak.
"Ma-af."
"Kamu sudah berulang kali minta maaf dan aku bosan mendengarnya!"
"Sekali lagi saya minta maaf."
"Ya ampun! Dasar gadis bodoh!"
Kesabaran Alvian semakin terkikis dan hanya melirik gadis di hadapannya.
Ingin sekali Ajela berteriak meminta tolong. Matanya menatap ke kanan dan kiri. Tetapi, percuma sebab kamar yang mereka tempati kedap suara. Menjerit pun tidak akan ada yang mendengar.
"Saya mau keluar dari sini!"
"Keluar?"
Tanpa banyak bicara pria gagah itu menarik lengannya dengan kasar hingga menghempas ke tempat tidur. Ajela panik, pandang mengedar ke seluruh kamar demi mencari celah untuk melarikan diri. Namun, ruangan itu tertutup rapat dan tak ada jalan sedikit pun.
"Sebelum kita mulai aku ingin memperingatkan satu hal. Setelah malam ini lupakan semua yang terjadi di antara kita dan jangan sampai ada yang tahu. Kalau sampai kamu berani buka mulut, lihat bagaimana aku akan hancurkan hidup kamu."
"Tolong lepaskan saya! Saya ada di sini karena ibu tiri saya. Tolong biarkan saya pergi!" Ajela memberanikan diri menatap lelaki itu dengan kedua tangan mengatup di depan dada sebagai tanda permohonan.
"Melepas? Aku membayarmu dengan mahal, jadi lakukan tugasmu!" Alvian mencengkram dagu wanita itu. Namun, yang tertangkap dalam pandangannya adalah lebam membiru di sudut bibir sang wanita yang tampak masih segar. Selain itu, sorot matanya memancarkan luka. "Kenapa wajahmu lebam? Apa kamu habis dipukuli seseorang?"
Menahan air mata, Ajela hanya mengangguk.
"Siapa yang melakukannya? Apa orang yang tadi menjualmu?"
"Sa-ya ...." Selama beberapa saat Ajela tampak ragu menjawab.
"Ah, lama!" Belum selesai Ajela berbicara sudah dibungkam lebih dulu oleh Alvian.
Dengan sisa tenaga Ajela mencoba memberontak. Mendorong dada lelaki itu dan memukulnya kuat-kuat. Namun, tentu saja, hantaman Ajela itu sama sekali tak berpengaruh.
"Tolong lepaskan saya! Jangan sentuh saya!" jeritnya sekuat tenaga.Namun, tak ada siapa pun yang mendengar dan tak ada yang menolong. Kamar luas nan mewah itu pun menjadi saksi bisu hilangnya harta paling berharga yang dimiliki Ajela .
Pria itu menggenggam tangan Ajela. Lengan jari yang yang penuh dengan lebam itu harus bersatu dengan jari pria itu, sandang keperawanan yang di jaga oleh seorang perempuan itu telah dimasuki oleh alat pria itu. Ketika inti dari tubuh wanita itu bersentuhan di dalam, sontak mata Ajela membesar, namun bukan kenikmatan yang dirasakan—nya melainkan penderitaan yang seakan menusuk — nusuk batinya.
Sepanjang malam gadis itu terus menangis, meratapi hidupnya yang penuh dengan derita. Hingga lelah dan kantuk membawanya memasuki alam mimpi. Berharap jika esok terbangun, semua hanyalah mimpi buruk dan ia sedang berada di kamarnya yang sempit dan pengap.
**
Malam mendekati larut. Alvian masih terjaga dan bersandar di tempat tidur dengan tatapan kosong. Sesekali melirik gadis malang yang tertidur di sebelahnya.
Tangannya yang kekar meraih ponsel di meja, kemudian mencari sebuah nomor yang tersimpan di daftar kontak, lalu melakukan panggilan.
"Berikan satu miliar kepada wanita tadi sesuai perjanjian yang kamu sepakati!" perintahnya.
"Baik, Bos!" balas seorang pria di ujung telepon.
"Ingat, malam ini adalah rahasia.
Gak ada seorang pun yang boleh tahu dan jangan sampai terendus media. Kamu mengerti, kan?"
"Saya mengerti, Bos!"
"Bagus!"
Begitu panggilan berakhir, ia mendesahkan napas panjang.
Memijat kepala yang terasa berdenyut.
Ketika hendak turun dari tempat tidur, selimut melorot ke bawah. Punggung gadis muda itu menarik perhatiannya. Alis tebalnya saling bertaut ketika melihat banyak bekas lebam di punggung.
"Kenapa di badannya banyak sekali lebam? Siapa sebenarnya yang sudah menjualnya?"
Alvian menatap wajah lelah itu sejenak. Wajah polos yang membuatnya terpaku. Namun, kemudian ia tersadar dan segera bangkit menuju kamar mandi.
Berendam di air hangat dan menyandarkan kepala pada bath tub kamar mandi itu.
**
Pagi harinya Ajela terbangun lebih dulu dibanding Alvian. Wajahnya pucat dan rambut berantakan.
Matanya pun sembab karena menangis hampir sepanjang malam.
Matanya yang sembab dan sayu memancarkan luka saat memandang pria asing yang semalam memaksanya. Ingin sekali Ajela hujamkan pisau pada tubuh itu. Namun, percuma saja sebab semua telah terjadi. Membunuhnya pun tidak akan mengembalikan kehormatannya yang terenggut paksa.
Satu-satunya yang ia inginkan adalah menjauh dari tempat ini dan berharap tidak akan pernah bertemu lagi dengan lelaki itu meskipun hanya di dalam mimpi.
Setelah membenahi pakaiannya, ia mencari kartu akses yang ternyata berada di atas meja. Tanpa menunggu segera keluar kamar dan segera pulang ke rumah dengan berjalan kaki.
Sepanjang jalan ia terus menangis, mengabaikan orang-orang yang menatapnya heran. Hingga saat tiba di depan pintu rumah, langkahnya terhenti seketika saat mendengar suara Bu Nana dari dalam rumah.
"Satu miliar, Riana! Dia benar-benar memberi kita satu miliar, bukan 200 juta."
Ajela merapatkan telinga pada daun pintu agar dapat mendengar pembicaraan dari dalam dengan lebih jelas.
Biasanya di jam seperti ini rumah dalam keadaan sepi. Karena ibu dan kakaknya akan berangkat kerja. Bu Nana adalah seorang ART di rumah keluarga kaya, sedangkan Riana baru satu bulan bekerja di sebuah perusahaan dengan posisi sebagai sekretaris.
"Berarti orang tua semalam itu beneran orang kaya ya, Bu? Banyak banget uangnya. Memang Ibu kenal dia dari mana?"
"Semalam ibu dihubungi sama Mami Liona. Itu loh, teman ibu yang kerja di kelab malam. Katanya, ada laki-laki yang lagi cari perawan. Dia juga siap bayar berapa aja. Makanya ibu langsung tawarkan Ajela . Kapan lagi dapat satu miliar untuk semalam."
"Tapi kalau Ajela pulang, dia pasti marah banget sama Ibu," ucap Riana.
"Biarin aja kalau mau marah.
Memang bisa apa si Ajela itu? Yang penting ibu udah dapat satu miliar.
Dengan uang ini kita bisa beli rumah baru yang lebih layak, dan rumah jelek ini bisa kita jual.
Sisanya bisa kamu pakai sogok agensi untuk memasukkan kamu ke salah satu sinetron."
"Nggak usah sogok agensi lagi, Bu. Aku nggak tertarik jadi artis lagi. Lebih baik uangnya buat perawatan tubuh dan mempercantik diri. Sekarang aku lebih tertarik sama bos di tempat aku bekerja," balas Riana, tersenyum dengan mata berkilat bahagia.
"Bos tempat kamu bekerja? Bukannya bos kamu itu udah tua, ya? CEO-CEO atau pemilik perusahaan itu kan biasanya udah tua banget. Jangan cari orang tua. Kasihan anak ibu cantik-cantik dapat orang tua."
"Yang ini beda, Bu. Bos aku itu masih muda banget, ganteng dan kaya lagi. Dia juga belum menikah. Cuma ... agak galak dan sulit dideketin. Tapi, aku yakin bisa naklukin dia. Makanya aku rajin perawatan ke salon."
"Wah, ide bagus, Sayang. Kamu memang harus menunjang penampilan. Kalau kamu bisa dapat orang kaya, kita bisa hidup enak. Gak perlu tinggal di rumah jelek kayak rumah ini lagi."
Riana mengangguk setuju. "Kan Ibu Selalu bilang, aku harus dapat laki-laki kaya supaya bisa lepas dari kemiskinan. Nanti kalau aku berhasil dapetin bos aku itu, aku akan buat hidup Ibu enak. Kita bisa belanja sepuasnya."
"Bagus, Sayang. Tapi, kamu harus main cantik. Pasti bos kamu itu jadi incaran banyak perempuan di luar sana. Jangan sampai malah diambil orang!"
"Iyalah, Bu. Memang perempuan mana yang gak mau sama dia? Aku lihat para direktur sering ngenalin dia sama anak perempuannya, tapi untungnya ditolak semua. Sore ini aku mau keluar kota sama dia berdua aja. Ada kesempatan untuk lebih deket."
"Kamu memang cerdas, Riana."
Keduanya tertawa girang.Merencanakan apa pun yang bisa dibeli dengan uang satu miliar tersebut.
Sementara di depan pintu, Ajela masih mendengar pembicaraan ibu dan kakak tirinya. Rasa sakit memaksa bola matanya melelehkan cairan bening Tirta air mata itu tak sengaja harus melewati pipi Ajela. Ternyata ibu dan Riana sudah membohonginya dengan berkata uang itu untuk melunasi hutang mereka.
"Ya Allah, aku salah apa sampai mereka tega melakukan semua ini?"
Tak tahan, Ajela mendorong pintu keras, menerobos masuk hingga membuat Bu Nana dan Riana terlonjak.
Riana memandangi tubuh adik tirinya yang tampak kacau. Tubuhnya bergidik saat membayangkan adik tirinya itu menghabiskan sepanjang malam bersama kakek-kakek tua, gemuk dan jelek yang semalam datang menjemputnya.
"Ajela , kamu sudah pulang?" tanya Bu Nana dengan senyum pura-pura.
"Kenapa kalian begitu tega melakukan ini? Apa Ibu gak memikirkan masa depan aku?" teriak Ajela menahan amarah yang terasa meledak di dada.
"Santai, Ajela . Jangan teriak begitu. Kamu nggak malu didengar tetangga?" ucap Riana.
"Yang seharusnya malu itu kalian!" Kehilangan kesabaran, Ajela bergerak maju mencengkram rambut panjang Riana dan menariknya sekuat tenaga. "Kalian berdua benar-benar jahat! Di mana hati nurani kalian!" Ajela menyerang membabi buta.
Gerakannya yang cepat membuat Riana tak memiliki kesempatan untuk menghindar atau membalas.
Bahkan tenaga Ajela sekarang terasa besar dan ia kesulitan mengimbangi.
"Ah, Ibu tolong! Ajela narik rambut aku!" pekik Riana sambil berusaha melepas tangan Ajela .
Bu Nana yang panik lantas mendekat dan berusaha mendorong anak tirinya. Namun, Ajela kali ini benar-benar sulit dihentikan. "Heh, perempuan gila! Lepaskan Riana!""Lepaskan aku! Biar dia ikut merasakan sakit yang kurasakan!" jerit Ajela .
"Lepasin Riana, Ajela ! Apa kamu sudah gila?" Merasa geram, Bu Nana mendorong Ajela hingga terjerembab ke lantai. Kemudian memeluk Riana yang sedang meringis kesakitan. Jambakan Ajela membuat sebagian rambutnya tercabut dari kulit kepala. Bahkan make-up yang memoles wajahnya tampak berantakan.
"Sakit banget, Bu!" rintih Riana, membuat Bu Nana menatap Ajela penuh amarah.
"Berani sekali kamu menyerang Riana! Apa kamu sudah bosan hidup, hah?"
Bersambung ~
"Kalau perlu aku akan membu-nuhnya!" Ajela menatap geram. Seumur hidup ini adalah pertama kali ia berani melawan kedua orang itu. Biasanya ia diam saat dihina atau bahkan dipukuli.
"Dasar anak gak tahu diri! Sekarang juga keluar dari rumah ini dan jangan pernah kembali lagi! Awas kamu kalau masih berani pulang!"
Bu Nana bergegas masuk ke dalam kamar dan keluar dalam dua menit dengan membawa setumpukan pakaian. ia lemparkan ke arah Ajela .
"Ambil semua pakaian kamu dan pergi sekarang juga dari rumah ini!"
Tak ada sepatah kata pun lagi yang terucap. Ajela hanya dapat memunguti lembar demi lembar pakaiannya sambil terisak-isak. Hidupnya telah hancur. Rasanya ingin mengakhiri hidup saja.
Ia lantas menatap ibu dan kakak tirinya dengan derai air mata. Dua wanita jahat yang sama sekali tidak terlihat merasa bersalah.
"Semoga Tuhan membalas kejahatan kalian suatu hari nanti!"
**
Sementara itu di apartemen ....
Waktu sudah menunjuk pukul sebelas ketika Alvian membuka mata. Satu tangannya terangkat demi memijat kepala yang terasa berdenyut. Kemudian bangun dan duduk bersandar di tempat tidur.
Matanya meneliti di kamar yang hanya berbalut kesunyian. Tak ada sosok wanita yang semalam telah memuaskan hasratnya. Di lantai hanya ada pakaian miliknya yang teronggok bersama sepatu.
"Argh! Sial! Apa yang sudah aku lakukan semalam?"
Alvian Setyo Darmawan adalah seorang pria berusia 28 tahun. Merupakan ahli waris tunggal Darmawan Grup. Sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di beberapa bidang bisnis. Di usia yang sudah terbilang matang untuk menikah, ia masih betah melajang.
Gadis-gadis cantik yang selama ini mendekat padanya ditolak mentah-mentah.
"Ajela ...." Entah mengapa nama itu terlintas dalam pikiran.
Lamunan Alvian membuyar ketika deringan ponsel terdengar. Pria itu segera meraih benda pipih tersebut dan melihat nama sang sekretaris pada layar ponsel. Matanya langsung melirik jam yang ada di sudut atas ponselnya dan baru ingat
Bahwa ada jadwal keluar kota sore ini.
"Ya, Riana?" ucap Alvian sesaat setelah panggilan terhubung.
"Anda di mana, Pak?"
"Saya masih ada urusan di luar, kenapa?"
"Saya mau mengingatkan sore ini kita harus berangkat keluar kota. Apa Bapak sudah menyiapkan semuanya?"
Alvian memijat kepala yang terasa berdenyut. Untuk saat ini ia merasa tubuhnya benar-benar lemas. Mungkin efek minuman yang semalam ia tenggak. "Sepertinya saya gak bisa ikut keluar kota.
Kamu bisa hubungi Galih dan minta dia menggantikan saya berangkat."
"Ta-tapi, Pak-" Wanita di seberang berusaha menyela.
"Gak ada tapi-tapian, ini perintah!" bentak Alvian, memutus panggilan begitu saja dan meletakkan kembali ponselnya ke meja. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Entah mengapa bayangan Ajela terus menari-nari di pikirannya.
Di sisi lain, Riana membanting ponsel mahal yang baru saja dibelinya.
Dua kali usahanya untuk mendapatkan Alvian gagal total.
Semalam saat menghadiri undangan pesta di sebuah hotel, ia sengaja memasukkan obat ke dalam minuman sang bos. Tetapi, bukannya berhasil menjebak, Alvian malah menghilang secara tiba-tiba.
Riana sampai lelah mencari hingga berjam-jam dan akhirnya memutuskan untuk pulang.
Sekarang keluar kota juga batal.
Padahal niatnya ingin keluar kota bersama Alvian adalah agar dapat berduaan saja dengan sang bos. Ia bahkan sengaja membeli lingerie tipis berwarna merah dengan harga selangit.
"Sialan! Sialan! Kenapa sih dia cuek banget sama aku walaupun aku udah usaha maksimal! Percuma ke salon bayar perawatan malah kalau kayak gini jadinya!"
"Ada apa, Riana? Kenapa kamu marah-marah?" tanya Bu Nana yang mendapati putrinya sedang mengomel.
Riana menatap ibunya dengan bibir mengerucut kesal.
"Bos aku gakjadi ikut keluar kota, Bu. Padahal aku sudah habisin banyak uang ke salon untuk tampil cantik! Dia malah batalin keluar kota dan suruh aku pergi sama orang lain!"
Bersambung ~