Di ruang tamu rumah sederhana itu, suasana yang biasanya tenang berubah menjadi tegang.
"Ummi, Abiy, kenapa selalu maksa kehendak Najiha terus? Najiha masih ingin mondok, nggak mau kuliah!" serunya, suara serak oleh emosi yang tak lagi bisa dibendung.
Wajah Abiy Ahmad mengeras, matanya menyala penuh amarah. "Najiha! Berani sekarang melawan Abiy?!" bentaknya keras, membuat udara di ruangan itu seolah membeku.
"Nak... ikuti saja apa yang Abiy katakan. Semua ini demi masa depanmu," suara Ummi Lina terdengar lirih, penuh harap agar suasana mereda.
Namun Najiha hanya menggeleng dengan getir. "Najiha capek, Mi. Selalu harus nurut sama Abiy tanpa boleh bilang apa yang Najiha rasain!"
Amarah Abiy Ahmad makin memuncak. "Udah besar kepala rupanya anak ini! Kalau terus melawan, Abiy akan kawinkan kamu! Biar tahu rasanya hidup tak bisa seenaknya sendiri!" ancamnya dgn nada penuh amarah.
mau lanjut??
yuk baca karya aku ini🥰🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dia sebenarnya peduli!
Pagi itu, kepala Haidar terasa berat seperti dihantam palu. Dia memijat pelipisnya sambil mengeluh, "Emmmh, kepala gue pusing banget." Efek dari minuman keras semalam masih terasa kuat.
Tiba-tiba, suara bentakan yang familiar menggema di ruangan. "Haidar! Kamu minum alkohol lagi?!"
Haidar menoleh dengan kaget, meski pandangannya masih kabur. "Papa? Udah pulang dari Kalimantan?"
Dian Bhaskara, sang ayah, menatapnya dengan mata penuh amarah dan kekecewaan. "Kamu ini, Haidar! Papa udah ganti nama kamu biar kamu berubah jadi lebih baik!" katanya, mengacak rambut sendiri dengan frustrasi.
Suasana ruangan terasa tegang. "Kamu udah bikin banyak kekacauan waktu di SMA dulu," lanjut Dian, suaranya melembut meski tetap tegas. "Jangan bikin papa malu lagi, nak."
Haidar mendengus sinis. "Percuma, pah. Papa ganti nama gue jadi Haidar juga nggak ada gunanya. Gue ya gue, nggak bisa papa ubah."
Dengan langkah malas, dia menuju kamar mandi.
"Haidar! Papa belum selesai ngomong!" teriak Dian dengan nada perintah.
"Tapi gue udah selesai dengerin, pah!" sahut Haidar sambil menutup pintu kamar mandi dengan keras.
Dian hanya bisa menggelengkan kepala, berusaha menahan emosinya. Setelah menarik napas panjang, dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
"Halo, Den? Cepat ke kafe biasa. Ada hal penting yang harus kita omongin soal Haidar," ucapnya tegas sebelum mematikan sambungan telepon. Di wajahnya tergambar jelas kekhawatiran seorang ayah yang terus mencoba menarik anaknya kembali ke jalan yang benar.
...****************...
Setelah mandi, Haidar mengenakan pakaian santai, lalu dengan santai mengambil ponselnya. Jarinya dengan lincah mencari kontak Kasih, teman Najiha.
“Halo, Kasih. Gue mau minta nomornya Najiha,” ucap Haidar langsung tanpa basa-basi.
Kasih terdiam sejenak. Hatinya tak ingin banyak berurusan dengan Haidar—si ketua geng paling ditakuti di Jakarta, yang identitasnya hanya diketahui segelintir orang. Di kampus baru, rahasia itu harus tetap terjaga.
Tanpa banyak protes, Kasih mengirimkan nomor Najiha. Haidar tersenyum tipis. "Thanks," ucapnya singkat lalu langsung menutup panggilan.
Tanpa ragu, dia menekan tombol panggil dan menghubungi Najiha.
---
Di pinggir jalan, Najiha duduk menikmati semangkuk bubur ayam yang mengepul hangat. Rasa gurih dan lezatnya sarapan membuat suasana pagi terasa sedikit lebih baik, meski wajahnya tetap menampakkan ekspresi dingin.
Tiba-tiba, ponsel di saku cardigannya berdering. Najiha menghela napas kesal. "Haduh, siapa nih nelpon pagi-pagi?" gumamnya.
Matanya melirik layar ponsel. "Haidar?" tanyanya saat melihat foto profil yang terpampang jelas. "Ngapain anak ini nelpon segala?" ujarnya ketus, lalu menjawab panggilan tersebut.
"Hmm?" hanya itu yang keluar dari bibir Najiha.
Suara Haidar terdengar santai di seberang. "Yaelah, baru diangkat. Btw, soal tadi malam—makasih ya," ucapnya.
Najiha tetap tak berubah ekspresi. "Terus?"
"Dan soal perjanjian tadi malam..." Haidar terdengar ragu, seakan memilih kata yang tepat.
Najiha langsung memotong, nadanya dingin. "Mau ngomong apa lo? Langsung aja."
“Hemmm...” Haidar terdiam, berpikir terlalu lama.
"Kebanyakan mikir lo," ucap Najiha tanpa basa-basi. "Mending lo ke sini aja, biar jelas ngomongnya."
Tanpa menunggu jawaban, Najiha memutuskan sambungan telepon, kemudian mengirimkan lokasi tempatnya duduk santai. Dia kembali menyendok buburnya, tatapan matanya tetap dingin seperti biasanya, seakan tak ada yang bisa menggoyahkan ketenangannya.
HAidar merasa senang melihat sikap Najiha yang dingin namun peduli, sesuatu yang jarang ia temui. Ada sisi lain dari Najiha yang begitu menarik, meskipun terlihat keras dan tertutup, ia tak bisa menyembunyikan perhatian yang diberikan kepada orang lain.
“Yesss!!” Haidar berseru dengan semangat, kemudian turun dari tangga, mengendarai motor sport-nya menuju alamat yang dikirim oleh Najiha. Setibanya di tukang bubur, ia langsung mendekati meja tempat Najiha duduk.
“Hai,” sapa Haidar dengan senyum sumringah, wajahnya penuh kegembiraan. “Ternyata lo nepatin janji juga ya, Naj?” godanya, dengan senyum tengil yang khas.
Najiha menatapnya dengan tatapan tajam, tapi ada sedikit kelembutan di baliknya. “Hemm, cepetan lo mau apa dari gue?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi, sambil menyodorkan bubur ayam ke depan Haidar. “Makan buburnya, lo belum sarapan kan? Baru bangun tidur dan mandi juga kan?” ucapnya dengan nada khas, penuh perhatian meskipun disertai sikap dingin.
“Heheh, kok lo tau aja tentang gue,” jawab Haidar sambil menyendok bubur pemberian Najiha ke mulutnya. Rasanya hangat, dan sedikit senyum merekah di bibirnya. “Hmm, ntar aja deh gue minta sesuatunya,” lanjutnya dengan nada menggoda, senyum nakal terukir di wajahnya.
“Jangan minta yang aneh-aneh ya! Awas aja lo kalau aneh-aneh,” Najiha mengingatkannya dengan tegas, meskipun suara itu penuh perhatian, menandakan bahwa ia benar-benar peduli.
“Iya, nggak kan aneh-aneh kok,” jawab Haidar, tetap santai sambil melanjutkan makan buburnya.
Haidar memperhatikan Najiha yang sibuk mengotak-atik ponselnya, tatapannya serius namun penuh kehangatan yang tak bisa disembunyikan. “Hmm, lo itu... cuek-cuek begini, tapi lo itu baik ya, peduli orangnya,” ucap Haidar, suaranya sedikit lebih dalam, mencoba menangkap sisi lain dari Najiha yang tak terlihat banyak orang.
Najiha berhenti sejenak, menatap Haidar dengan tatapan yang seakan mengukur, sebelum kembali menatap ponselnya. “Cepetan makan buburnya, keburu dingin,” ucapnya singkat, tapi entah mengapa ada kehangatan yang samar di balik kata-katanya.
“Baik, nona,” jawab Haidar dengan senyum, merasa dihargai meskipun sikap Najiha tetap tegas.
Lalu, Najiha kembali bertanya dengan nada lebih serius, “Hem, lo itu sebenarnya punya masalah apa sih sama Rio? Kalau boleh tahu?”
Haidar terdiam sejenak, wajahnya berubah sedikit lebih serius, tapi tak menghilangkan senyum tipis di bibirnya. “Ouh itu... hemm... masalah lama,” jawabnya santai, meski terdengar ada beban yang tidak bisa diungkapkan begitu saja.
Najiha yang merasa tak puas, menatapnya dengan serius, “Lo ini, gue serius!” ucapnya dengan sedikit kesal, mencoba menggali lebih dalam.
“Hemm, panjang ceritanya, Naj,” ucap Haidar sambil memandang ke jauh, seakan mengingat kembali sesuatu yang sulit ia lupakan. “Kapan-kapan, gue cerita deh,” tambahnya dengan suara lebih pelan, seakan ada kepedihan yang tersembunyi dalam kata-katanya.
Suasana jadi sedikit hening, dan meskipun Haidar tetap mencoba menjaga sikap cerianya, ada keheningan yang terasa dalam percakapan mereka. Namun di balik itu semua, Najiha merasa ada sisi yang lebih dalam pada Haidar yang belum sepenuhnya ia pahami.