Lunar Paramitha Yudhistia yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi harus menerima kenyataan pahit bahwa ayahnya menikah lagi dengan rekan kerjanya. Ia tak terima akan hal tersebut namun tak bisa berbuat apa-apa.
Tak disangka-sangka, wanita yang menjadi istri muda sang Ayah menaruh dendam padanya. ia melakukan banyak hal untuk membuat Lunar menderita, hingga puncaknya ia berhasil membuat gadis itu diusir oleh ayahnya.
Hal itu membuatnya terpukul, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di tengah derasnya hujan hingga seorang pria dengan sebuah payung hitam besar menghampirinya.
Kemudian pria itu memutuskan untuk membawa Lunar bersamanya.
Apa yang akan terjadi dengan mereka selanjutnya? Yuk, buruan baca!
Ig: @.reddisna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda Dwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 09: Second Day In The Beach
Cahaya mentari mulai masuk melalui celah-celah jendela kamar hotelku, aku membuka kedua mataku dengan malas dan segera bangkit dari tempat tidurku. Tidurku lumayan nyenyak malam ini.
"Hoaaam..." aku menguap dan melemaskan sendi-sendi tubuhku.
Aku berjalan ke arah jendela, membiarkan matahari masuk begitu saja dari sana. Cahaya matahari yang hangat menyapa tubuhku, membuat rasa kantukku menghilang.
Aku menyaksikan pemandangan pantai yang indah dengan langit biru yang menaunginya dari jendela, senyum tipis tergores di wajahku.
Shine bright like a diamond
Shine bright like a diamond
Shining bright like a diamond
We're beautiful like diamonds in the sky
Nada dering ponselku berbunyi, tanda panggilan masuk. Aku segera mengambilnya, nama 'Tuan Selatan' tertera di layar.
"Ada apa? Kau menganggu pagiku yang indah," ucapku sambil mendekatkan ponsel ke telinga.
"Maaf, ini mendesak. Datanglah ke kamarku sekarang," jawabnya dari seberang sana.
Aku mengerutkan dahiku. "Baiklah, tunggu aku."
Aku mengabaikan rambutku yang masih berantakan, baju tidur yang tidak rapi dan muka bantal yang tertampang jelas untuk memenuhi panggilan dari Tuan Selatan.
Kamar kami berdekatan, aku tak membutuhkan waktu lama untuk meraihnya. Aku segera mengetuk pintu kamarnya sebanyak tiga kali, menunggu jawabannya dari sang empu.
"Masuk saja," ucapnya dari dalam.
Aku membuka pintu itu dengan perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. "Jadi, apa masalahnya?" tanyaku.
Dia tampak begitu fokus dengan laptop dan berkas-berkas yang ada di genggamannya. Wajahnya berkerut, menandakan keseriusan.
Dia menyuruhku untuk mendekat, memperlihatkan laporan keuangan milik perusahaan selama enam bulan ini. Aku tak melihat sesuatu yang aneh di sana.
"Kau melihat ada yang aneh dengan laporan ini?"
Aku menggeleng polos. "Tidak, itu tampak normal."
Tuan Selatan menyentil jidatku. "Bodoh!"
Ia menjelaskan dengan seksama mengenai kesalahan dari laporan keuangan itu, pengeluaran dan pemasukan tidak dilaporkan dengan transparan, tidak sesuai dengan berkas-berkas yang ia pegang.
"Amati berkas-berkas ini, tidak sesuai dengan laporannya. Ku rasa ada yang mencoba menyabotase keuangan perusahaan. Aku ingin kau membuat ulang laporan selama enam bulan ini, harus transparan dan jelas. Sementara aku akan menyelidiki orang-orang di perusahaan," perintahnya.
Aku menarik napas panjang dan mengangguk tanda setuju, walaupun sebenarnya aku malas untuk mengerjakannya. "Baiklah, aku akan mengerjakannya. Tapi ... setelah kita pulang dari pantai."
Dia mengangguk pasrah.
Aku tersenyum lebar, tanda kemenangan. "Kalau begitu ayo ikut denganku untuk berkelana di pantai. Aku ingin membuat banyak kenangan indah disini," aku mendongak, menunjukkan puppy eyes untuk membujuknya.
Semburat merah terlihat begitu jelas di wajahnya, sial itu lucu sekali. Dia menundukkan kepalanya, dan menutup wajah dengan kedua tangannya. "Baiklah, dan berhenti menunjukkan wajah itu."
Aku tertawa lebar, menunjukkan deretan gigi yang rapi. "Baiklah, jemput aku pukul sembilan. Aku akan pergi bersiap," aku berjalan menuju kamarku dengan riang gembira, senyum lebar terukir di wajahku.
Jam dinding di kamar hotel sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit, aku bergegas ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk aku menyelesaikannya.
Kemudian, aku mengoleskan riasan tipis ke wajahku dan memakai lipstik merah favoritku. Aku menyisir rambutku agar terlihat rapi dan memakai bando berwarna putih dengan hiasan bunga kamboja.
Aku mengenakan bikini dan kain yang kubeli dari pusat perbelanjaan beberapa hari yang lalu. Kemudian melapisinya dengan sebuah outer berwarna senada dengan motif bunga-bunga. Tak lupa dengan tas selempang yang bertengger di bahuku.
Aku membuka ponselku dan mulai berpose, mengambil beberapa gambar dari berbagai sudut.
"Perfect!"
Sebelum meninggalkan kamar aku menghubungi Kak Hana dan Bibi Chen agar mereka tak mencariku. Mereka tampak begitu senang saat tahu aku akan menghabiskan waktu bersama Tuan Selatan. Kurasa mereka berdua adalah penggemar berat kami berdua.
Aku melangkahkan kaki jenjangku menuju lobi hotel, menunggu pria dengan wajah arogan itu datang kepadaku.
Aku dapat melihatnya dari kejauhan, seorang pria tinggi dengan badan tegap mulai berjalan ke arahku. Tak salah lagi, itu adalah Tuan Selatan. Ia mengenakan sebuah kemeja berwarna putih dengan celana pendek di atas lutut. Terlihat biasa saja, namun terlihat begitu tampan di mataku.
"Tampan," gumamku.
Mataku tak berpaling melihatnya, jantungku berdegup kencang. Semburat merah terlihat di wajahku. Manik hazelku terus mengikutinya yang mempesona.
Dia merangkul pundakku, memperlihatkan perbedaan tinggi yang cukup signifikan. Sementara aku masih diam terpaku.
"Kau melamun?" tanyanya.
"Eh- ah tidak-tidak! Aku tidak apa-apa," seruku.
"Jangan merangkulku, ini berat," gerutuku sambil memegang tangan besarnya itu.
Dia tertawa kecil, melepaskan rangkulannya dan malah beralih untuk merangkul pinggang mungilku. "Kalau begini, apa kau keberatan, Nona Lunar?" Dia tersenyum genit ke arahku.
Aku menghela napas panjang, memutar kedua mataku dengan malas. "Ya lakukanlah sesukamu."
Kami pun meninggalkan lobi dan mulai berkelana di atas hamparan pasir pantai dan naungan langit biru yang begitu indah. Kami berjalan dengan tempo yang sama, membicarakan banyak hal bersama.
"Jadi, Ayahmu mengusirmu karena Ibu tirimu?" tanyanya setelah mendengar cerita mengenai keluargaku.
Aku mengangguk. " Ya, begitulah. Aku tak menyangka dia akan membela wanita itu. Dia bahkan masih mencari masalah denganku setelah aku keluar dari rumah. Tapi aku bukanlah Lunar yang mudah ditindas lagi, aku berhasil membuatnya menangis di perseteruan terakhir kami. Wajahnya benar-benar menyedihkan," aku tertawa puas mengingat kejadian di pusat perbelanjaan kala itu.
Dia mengelus-elus pucuk kepalaku. "Apa perlu aku turun tangan untuk membereskannya?"
Aku menggeleng dengan cepat. "Kau tidak perlu melakukannya! Aku sendiri yang akan membereskan wanita itu, dan tentu saja Ayahku. Aku ingin mereka berdua mendapatkan balasan yang setimpal setelah membuangku. Aku punya rencana yang menarik," aku meletakkan jari telunjukku di bibir, dan tersenyum lebar.
Dia menatapku dengan tatapan yang tak dapat diartikan, manik hitamnya tampak begitu teduh. Tidak seperti biasanya. Apa dia merasa kasihan padaku setelah mendengar semua itu?
Dia menggenggam tanganku, mengelusnya dengan lembut. "Aku akan mendukungmu, lakukanlah apa yang kau suka. Ku pastikan tidak ada yang bisa menyentuhmu selama aku berada di sisimu," ia tersenyum ke arahku.
Senyuman itu tampak begitu tulus, bahkan kedua matanya turut tersenyum. Ia tampak begitu manis ... Tuhan, sepertinya aku jatuh cinta padanya.
Aku tersenyum lebar. "Benarkah? Wahai Tuan Selatan yang terhormat," ejekku sambil menangkup wajahnya.
Wajahnya terlihat begitu menggemaskan sekarang, tak ada lagi aura seram seperti sebelumnya. Dia hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum saja sudah membuatku meleleh. Kalau begini, dia bisa menaklukkanku dengan mudah!
"Aku akan membuktikannya sekarang, pasir pantai pun tidak akan bisa menyentuhmu tanpa seizinku!"
Tanpa aba-aba dia mengendong tubuhku, satu teriakan lolos begitu saja dari bibirku setelahnya. "Kau gila ya!" aku berusaha melepaskan diri. Memberontak dengan sangat, berharap dia melepaskanku.
Tubuhnya tak memberikan reaksi apapun, tampak begitu kokoh dengan pendiriannya. Dia malah membawa diriku dalam dekapannya, dan aku semakin memberontak namun tubuhnya terlalu kuat. Aku tak bisa melawannya.
Aku menghela napas panjang, "Baiklah, lakukan apapun yang kau mau!" aku mencubit dadanya dan melipat kedua tangan di depan dada.
Dia mengerutkan keningnya, membuat salah satu alisnya naik. Kemudian tertawa lebar, tawa penuh kemenangan setelah aku tak lagi melawan.
Awas saja! Aku akan membalasnya di lain waktu.
Mampir juga di karyaku ya ka
semangat terus