NovelToon NovelToon
Angin Dari Gunung Kendan

Angin Dari Gunung Kendan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern / Toko Interdimensi
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Topannov

"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak Menuju Gunung Kendan

Setelah bertemu kembali, Rangga, Larasati, dan Ki Jayeng melanjutkan perjalanan menuju Gunung Kendan. Mereka mulai menemukan jejak misterius yang mengarah ke tempat tujuan, tetapi jejak itu juga memberi petunjuk bahwa musuh telah mendahului mereka.

Udara dingin di Leuweung Sunyi perlahan mereda saat matahari mulai naik lebih tinggi. Kabut yang menyesakkan perlahan-lahan memudar, memperlihatkan jalan setapak kecil yang melingkar di antara pepohonan besar. Rangga, yang berjalan paling depan, terus memandang ke tanah, mencari tanda-tanda yang bisa memandu mereka.

“Aku masih nggak ngerti kenapa mereka tahu ke mana kita pergi,” gumam Rangga sambil menyeka keringat di dahinya.

Ki Jayeng, yang berjalan di belakangnya, menjawab dengan suara berat. “Karena tujuan mereka sama seperti kita. Gunung Kendan menyimpan sesuatu yang mereka incar, dan kau—takdirmu terikat dengan tempat itu.”

“Ya, tapi kenapa mereka bisa sampai duluan?” Larasati menimpali sambil mengamati sekitar, masih waspada dengan kemungkinan serangan. “Bukankah hutan ini cukup sulit dilewati?”

“Mereka mungkin punya panduan lain,” kata Ki Jayeng sambil mengetukkan tongkatnya ke tanah. “Atau seseorang yang pernah mengenal jalur ini.”

Rangga menghela napas panjang, mencoba mencerna jawaban gurunya. Tapi sesuatu di jalan setapak itu menarik perhatiannya. Jejak kaki yang terlihat samar di tanah berlumut, seolah baru saja dilalui oleh sekelompok orang. Ia berjongkok, memeriksa jejak itu dengan seksama.

“Ki, ini bukan jejak kita, kan?” tanyanya sambil menunjuk ke bekas telapak kaki yang lebih besar dari milik mereka bertiga.

Ki Jayeng mendekat, mengamati jejak itu. Wajahnya mengeras. “Benar. Ini jejak mereka.”

“Berapa banyak?” Larasati bertanya, nadanya penuh kecemasan.

Rangga menyisir jejak itu dengan pandangan matanya, mencoba menghitung. “Mungkin lima atau enam orang. Mereka bergerak cepat.”

“Mereka menuju puncak Kendan,” Ki Jayeng berkata dengan nada tegas. “Kalau kita ingin mencegah mereka, kita harus mempercepat langkah.”

“Tunggu dulu,” Larasati menyela, memegang lengan Rangga. “Kita baru saja melewati pertempuran. Kamu sendiri juga terluka, Rangga. Kita nggak bisa terus memaksa seperti ini.”

Rangga menatap Larasati, lalu menunduk memandang tangannya yang masih memegang tongkat kayu. Memang benar, tubuhnya masih terasa berat. Luka di lengannya yang terkena tebasan saat pertarungan di kabut belum sepenuhnya sembuh.

“Tapi kalau kita berhenti, mereka akan sampai lebih dulu,” jawab Rangga akhirnya, mencoba menenangkan suara ragu dalam dirinya. “Dan kalau itu terjadi, kita nggak tahu apa yang bakal mereka lakukan.”

Ki Jayeng mengangguk. “Rangga benar. Tapi kau juga benar, Laras. Kita tak boleh terburu-buru tanpa persiapan. Kita akan bergerak cepat, tetapi hati-hati.”

Perjalanan mereka terus berlanjut melewati jalur yang semakin curam dan berbatu. Pohon-pohon di sekitar mereka semakin jarang, digantikan oleh semak-semak rendah dan rerumputan liar. Udara semakin dingin, dan suara angin mulai terdengar lebih jelas, seolah berbisik di antara celah-celah batu.

Rangga melangkah dengan hati-hati, matanya tetap tertuju ke jejak kaki di depan mereka. Jejak itu membawa mereka menuju sebuah jalan setapak yang lebih sempit, membelah tebing kecil yang terjal.

“Ini tempat apa?” tanya Larasati, memandang ke arah tebing di kedua sisi mereka. “Kenapa rasanya... seperti ada sesuatu yang mengawasi?”

Ki Jayeng berhenti sejenak, memandang ke atas tebing dengan tatapan serius. “Ini Jalur Karang Tanding. Tempat ini dulu digunakan oleh para pendekar sebagai jalur uji keberanian. Katanya, banyak yang tak pernah keluar lagi setelah masuk.”

“Maksud Ki Jayeng, tempat ini berbahaya?” Rangga bertanya sambil menggenggam tongkatnya lebih erat.

“Bahaya itu relatif, Nak,” jawab Ki Jayeng sambil tersenyum tipis. “Tergantung apakah kau siap menghadapi apa yang ada di depanmu.”

Rangga tidak menjawab. Ia melanjutkan langkahnya dengan lebih waspada, memimpin jalan di depan Larasati dan Ki Jayeng. Namun, perasaan cemas terus menghantuinya. Ia merasa bahwa bahaya semakin dekat, tetapi ia tidak tahu apa bentuknya.

Setelah melewati tebing, mereka tiba di sebuah dataran kecil yang dikelilingi oleh batu-batu besar. Jejak kaki yang mereka ikuti tampak berhenti di sini, seolah-olah orang-orang itu menghilang begitu saja.

“Mereka pasti ada di sekitar sini,” gumam Rangga, mencoba mencari tanda-tanda lain.

“Jangan terlalu percaya pada matamu,” kata Ki Jayeng sambil memejamkan mata, merasakan angin yang berhembus di sekitar mereka. “Gunakan perasaanmu.”

Rangga menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia berdiri diam, mendengarkan suara angin. Awalnya, ia hanya mendengar desiran biasa, tetapi perlahan-lahan, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Seolah-olah angin itu membawa pesan.

“Mereka tidak jauh,” kata Rangga tiba-tiba, membuka matanya. “Ke arah sana.”

Ia menunjuk ke sebuah celah sempit di antara dua batu besar. Ki Jayeng mengangguk, tetapi ekspresinya tetap waspada. “Baiklah. Kita akan masuk, tapi hati-hati.”

Mereka bergerak menuju celah itu, tetapi sebelum sempat melangkah lebih jauh, suara keras menggema di sekitar mereka. Gadubrak! Sebuah batu besar jatuh dari atas tebing, menghalangi jalan mereka.

Larasati berteriak kecil, mundur dengan wajah panik. “Apa itu?!”

“Ini jebakan,” jawab Ki Jayeng dengan tenang, meskipun matanya tetap awas. “Mereka tahu kita mengikuti mereka.”

Dari balik bayangan batu, tiga pria berpakaian hitam muncul, membawa senjata. Salah satu dari mereka tertawa kecil. “Jadi, kalian akhirnya sampai juga. Tapi perjalanan kalian berhenti di sini.”

Rangga maju, mengangkat tongkatnya. “Kalian lagi. Apa kalian tidak pernah bosan?”

“Bosanku hilang kalau bisa membunuhmu, bocah,” jawab pria itu sambil menghunus pedangnya.

Ki Jayeng melangkah ke depan, melindungi Larasati yang berdiri di belakangnya. “Rangga, biarkan aku yang menangani ini.”

“Tapi, Ki—”

“Percayalah padaku. Kau masih punya jalan panjang. Jangan buang tenagamu di sini.”

Rangga ragu sejenak, tetapi akhirnya ia mengangguk. Ia mundur ke sisi Larasati, membiarkan Ki Jayeng menghadapi musuh sendirian.

Pertarungan pun dimulai. Dengan tongkat kayunya, Ki Jayeng bergerak lincah, menghindari setiap serangan dengan mudah. Gerakannya yang tenang namun penuh kekuatan membuat lawan-lawannya kesulitan. Dalam hitungan detik, ia berhasil melumpuhkan dua dari tiga pria itu.

Namun, pria ketiga melarikan diri ke arah celah di antara batu besar. Ki Jayeng mencoba mengejarnya, tetapi batu yang menghalangi jalan membuatnya terhenti.

“Mereka menuju ke puncak,” kata Ki Jayeng, kembali ke tempat Rangga dan Larasati. “Kita tidak bisa mengejar mereka dari sini. Kita harus mencari jalan lain.”

“Tapi bagaimana kalau mereka sampai duluan?” tanya Rangga, suaranya penuh kekhawatiran.

“Kita hanya bisa mencoba yang terbaik,” jawab Ki Jayeng dengan tenang. “Jalan kita masih panjang, Nak. Tapi aku yakin kita akan tiba tepat waktu.”

Rangga mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa berhenti sekarang.

Kelompok Rangga terus melanjutkan perjalanan meskipun musuh berhasil melarikan diri. Bahaya di Gunung Kendan semakin nyata, dan mereka harus bergegas untuk mencegah musuh menguasai rahasia Tapak Angin Kendan.

1
Pangkalan 2405
up
Sri Wulandari Buamonabot
tolong gunakan bhs Indonesia...
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya
Pannov: baik kak, terimakasih masukannya
total 1 replies
Pannov
"Wow, novelnya bener-bener seru dan bikin penasaran! Ceritanya ngalir banget, karakternya juga terasa hidup. Salut buat penulisnya, sukses banget bikin pembaca susah lepas dari halaman ke halaman!"
Feri Fernando
menarik cerita ini
Pannov: terimakasi banyak kk, saya akan buat lebih seru lagi deh
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!