Agistya dan Martin awalnya pasangan yang bahagia.
Namun, semuanya berubah saat Agistya hamil di luar rencana mereka.
Martin yang ambisius justru membencinya dan merasa hidup mereka berantakan.
Tak lama setelah anak mereka lahir, Martin menceraikannya, meninggalkan Agistya dalam kesendirian dan kesedihan sebagai ibu tunggal.
Dalam perjuangannya membesarkan sang buah hati, Agistya bertemu dengan seorang pria yang baik hati, yang membawa kembali kebahagiaan dan warna dalam hidupnya.
Apakah Agistya akan memaafkan masa lalunya dan membuka hati untuk cinta yang baru?
Bagaimana pria baik ini mengubah hidup Agistya dan buah hatinya?
Apakah Martin akan menyesali keputusannya dan mencoba kembali pada Agistya?
Akankah Agistya memilih kebahagiaannya yang baru atau memaafkan Martin demi keluarganya?
Semuanya terjawab di setiap bab novel yang aku update, stay tuned terus ya!✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fareed Feeza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flek
Tya hanya bisa menangis tanpa suara, air matanya terus mengalir karena fikirannya yang sudah jauh membayangi nasib rumah tangganya nanti.
Semoga aja ini cuma bawaan hamil yang bikin aku mikir aneh-aneh terus, aku yakin suamiku gak akan pernah melakukan itu.
***
Beberapa hari setelahnya.
Sayup-sayup terdengar suara Komala berteriak kegirangan di dapur dengan mertuanya. Tya keluar kamar lalu menghampiri mereka untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Ternyata siang hari Martin sudah ada di rumah.
"Bener kan kak? Gak boong kan?"
"Iya, kalau kamu gak percaya boleh telpon Kak Listy." Kata Martin dengan lantang.
*Degh
Langkah Tya terhenti kala mendengar suaminya menyebut nama Listy.
Listy? Teman wanitanya Martin kan?
"Sayang, kamu udah pulang." Tya menyentuh kedua pundak suaminya.
Martin mendongak kebelakang, lalu mengangguk tanpa berkata apapun lagi.
"Mau aku siapin air buat mandi?"
"Masih siang begini di suruh mandi, aneh-aneh aja istri kamu tuh." Timpal Yunita.
"Tya hanya menawarkan Bu."
Yunita tidak menjawab, dia kembali fokus pada masakan yang akan di hidangkan di meja makan.
"Kamu gak bantu ibu sama sekali?" Tanya Martin yang melihat ibunya sibuk sendirian.
"Ibu yang larang aku." Sahut Tya.
"Ya ibu yang larang, ibu suka ikut mual kalau tiba-tiba istri kamu muntah, dia kan mual nya gak tau tempat, ibu kan jijik liatnya apalagi banyak makanan disini."
Martin menghela nafasnya, dan tidak berkata apa-apa lagi pada Tya.
Komala kembali dari kamarnya wanita itu sudah menelpon Listy untuk memastikan.
"Aaaaaaa kakak, bener kata kak Listy ... Kita sekeluarga mau di ajak menginap di villa puncak, Ahhhh gak sabar pengen cepet-cepet besok."
Semuanya tersenyum melihat Komala kegirangan seperti itu, terkecuali Tya, tatapannya sendu sambil jarinya memainkan kain bajunya.
"Sayang, kalau boleh tau ada acara apa sampai Listy mau mengajak kita ke villa?"
"Hah? Kita? Emang kakak di ajak? Kakak kan lagi hamil besar jalannya extreem banget loh naik turun gitu, Mala udah di ceritain sama temen Mala yang pernah kesana."
"Ulang tahun Listy, dia sebatang kara disini, orang tua dan keluarganya semua di luar kota. Jadi dia ngajak keluarga aku buat rayain ulang tahunnya di villa, aku sama Listy cuti 3 hari."
Tya memegang tangan Martin, "Aku? Aku gimana?"
"Ya kamu di rumah dong, kalau aku gak ikut gak ada yang jagain ibu, Mala sama Tya ... Tau sendiri papa udah tua, jadi aku yang pasti harus menjaga mereka."
"Tapi sayang ... "
"Ah sudahlah Tya, bisa gak sih kamu tuh gak ngerusak kebahagiaan kita? Cuman 3 hari kok, makanan semuanya sudah tersedia."
Tya menatap Martin penuh harap, berharap suaminya itu berubah fikiran dan mau tinggal bersamanya di rumah, karena Tya juga tidak mau ikut jika jalanannya curam seperti yang di ceritakan Komala.
"Nurut aja kenapa sih!" Sentak Martin.
Erlangga terlihat jengah dengan sikap manja Tya pada anaknya.
"Apa sih yang kamu mau Tya? Tidak bisa kamu membiarkan kamu merasa senang walau hanya 3 hari?" Ucap Erlangga menambahkan.
"Bukan begitu yah, tapi Tya sudah mau melahirkan, kalau kalian ga ada di rumah ... Tya minta tolong siapa?"
Yunita tersenyum sinis, sambil meletakan beberapa hidangan di meja makan, "Duh nyusahinnya wanita satu ini, Martin ... Martin ... Yang sabar ya kamu ngadepin istri model begini."
Komala terus saja menunjukan foto-foto temannya yang sudah berkunjung kesana pada Martin, menguatkan Martin agar tetap ikut ke villa dan meninggalkan Tya di rumah.
"Sudahlah ... Kita makan dulu, biarlah istri kamu itu mah kayak gimana, ayah laper." Ucap Erlangga, tangannya menyendokan nasi ke piring lalu menyantap makanan dengan lahapnya seperti habis bekerja keras, padahal seharian aktivitasnya hanya di kebun belakang rumah merawat beberapa tanamannya.
.
.
Di kamar.
Tya mendekat pada Martin yang sedang santai sambil bermain game di ponselnya.
"Sayang, anak kita bergerak loh, pegang ini." Tya menghampiri Martin dan memajukan perut buncitnya.
"Ah males ah, minggir aku lagi main game!"
Tya memilih menurut daripada Martin kembali membentaknya, dia duduk di samping Martin ... Menunggu suaminya selesai bermain game."
Beberapa menit, Martin sudah selesai dan meletakkan ponsel nya di sofa.
"Ngapain sih nempel-nempel?" Martin menjauh dan memberi jarak diantara dia dengan Tya.
"Hm sayang, udah kasih nama buat anak kita? Kata dokter anak kita laki-laki, pasti ganteng kayak papa nya." Puji Tya, berharap Martin tersenyum walau sedikit.
"Namain aja, Asep yang tidak di inginkan." Kemudian Martin terbahak-bahak dan meninggalkan Tya keluar kamar.
Nak, papa cuma bercanda ya sayang. Kita sayang kamu. Tya mengelus perutnya dengan bibir yang sudah bergetar, wanita itu sudah pandai menahan tangisnya sekarang.
***
Hari yang di tunggu keluarga Martin pun tiba, semuanya sibuk memasukan barang ke koper, begitu juga Martin.
Tya keluar dari kamar mandi dengan wajah sendunya, bukan karena akan di tinggal Martin selama 3 hari ke puncak, tapi karena ada flek darah yang keluar saat Tya buang air kecil tadi.
"Sayaaaang." Panggil Tya pada Martin dengan mata yang sudah basah, karena sudah menangis sejak dari dalam kamar mandi, Tya takut terjadi apa-apa pada bayi di dalam perutnya.
"Hm?" Sahut Martin tanpa menengok sedikitpun ke arah Tya.
"Aku keluar flek, aku takut ... Ke rumah sakit aja yuk, please batalin ke villa nya."
"Ngaco aja deh kamu, sewa villa itu buka uang sedikit, udahlah positif thinking aja, emang dasar nyusahin hamil kamu tuh!"
"Sayang, aku takut."
"Apa aku bilang?! Jangan hamil! Kalau udah kayak gini nangis-nangisnya sama aku!"
Tya duduk di atas tempat tidur dengan suara Isak tangisnya.
"Mending gausah keluar kamar dulu deh, daripada nanti ibu kesel lagi liat kamu nangis kayak gini, kita mau pada seneng-seneng, hobi kamu nih emang bener bikin kacau mood orang." Oceh Martin, tangannya menggeret kopernya keluar kamar dan menutup pintu kamar dengan kencang.
Ya ampun aku harus gimana? Aku takut. Aku harus pulang ke rumah ibu, gak ada pilihan lain ... Lagipula ibu harus tau kalau sebentar lagi dia akan punya cucu. Aku harus tunggu semuanya berangkat dulu, aku gak mau sampe bayi aku jadi korban karena aku terlalu nurutin maunya mereka untuk tetap diam di rumah.
Satu jam berlalu, sudah tidak ada suara siapapun dari luar kamar, Tya berjalan mengendap-endap... Memeriksa mobil Martin di halaman yang sudah tidak ada, dan ini saatnya giliran Tya untuk pergi ke rumah ibunya, demi kebaikan dia dan juga keselamatan anaknya.
Tya sudah memesan taxi, lalu rumah Martin di biarkan kosong ... Kali ini Tya tidak peduli lagi, yang terpenting adalah keselamatan bayi nya.
.
.
Di rumah Tya.
"Yaaampun Tyaaaaaa!!!!!!! Perut kamu ... Kamu hamiiiil? Kenapa gak bilang sama ibu dari kemarin-kemarin sih?!" Ucap Rini panik, saat Tya masuk ke dalam rumah dengan keadaan perut yang sudah membuncit sambil menenteng tas besar.
puasssss banget tuhhhh si Martin 😡😡😡
thank you Thor 😘😍🤗
semangat lanjut terus yaaa 💪💪😘🤩🤗🤗