"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 | MOS (3)
Aku memberanikan diri melangkah pelan-pelan ke arah aliran sungai yang tampak dangkal, berusaha menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Jantungku berdebar kencang, antara takut dan penuh harapan untuk menyelamatkan kucing itu.
Setiap langkah yang kutempuh terasa lebih berat, dan air sungai yang dingin mulai mengalir di atas kakiku, memperburuk rasa cemas yang memenuhi dadaku.
Byur!
Tiba-tiba, sebuah percikan air menyemprot tubuhku, aku terkejut melihat Ryan yang baru saja menjeburkan diri ke dalam sungai, membuatnya seketika basah kuyup.
“Ryan!” seruku, sedikit panik.
Aku tak mengira dia akan masuk ke dalam sungai begitu saja.
“Tunggu di sini! Meski kelihatan dangkal, sungainya cukup dalam dan alirannya kuat,” katanya dengan suara tegas, seolah tahu betul betapa berbahayanya keadaan itu.
Aku hanya bisa mengangguk dengan cepat, dan mengurungkan niatku untuk melangkah lebih jauh ke dalam air.
Miaw, miaw, miaw!
Suara kucing kecil itu semakin jelas terdengar, membuat cemas hatiku semakin mendalam. Aku melihat Ryan berenang dengan lihai, tubuhnya bergerak dengan cepat, mencari dan berusaha meraih kucing kecil yang terombang-ambing di papan kayu yang mengapung. Aku hanya bisa menatapnya, khawatir jika kucing itu hanyut.
Akhirnya, dengan ketekunan dan keberaniannya, Ryan berhasil menangkap kucing itu. Dengan satu gerakan cekatan, dia membawanya ke tepi sungai tempat aku menunggu, dengan napas yang tak kunjung tenang.
“Huh ... syukurlah selamat!” aku menghembuskan napas lega, akhirnya bisa merasa sedikit lebih tenang setelah semua ketegangan itu. “Kau hebat, Ryan.”
Ryan keluar dari sungai dengan tubuh basah kuyup, air mengalir deras dari seragamnya yang basah. Namun, tanpa ragu dia menyerahkan kucing itu padaku dan aku pun menerimanya dengan hati-hati.
“Boleh tolong gendong dia sebentar?” kata Ryan, menyerahkan kucing lucu itu padaku. Aku hanya mengangguk dan mulai menggendong kucing itu.
“Ya, tentu,” jawabku pelan, merasakan kehangatan tubuh kucing yang membuatku merasa lebih baik.
Matanya besar, dan terlihat sangat bahagia, seolah-olah dia tahu bahwa dia telah diselamatkan.
Saat menggendongnya, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Perut kucing itu terasa agak keras, aku terkejut ketika menyadari bahwa dia sedang hamil. Untunglah dia bisa cepat diselamatkan. Ini membuatku merasa lebih lega, sekaligus prihatin pada nasib kucing itu yang dalam keadaan hamil dan terjebak di sungai.
“Sial! Aku harus pulang ke rumah untuk ganti baju,” kata Ryan sambil mengelap wajahnya yang basah, aku bisa melihat ekspresi sedikit jengkel karena pakaian basah yang menempel di tubuhnya.
“Kamu tidak apa-apa, Ryan?” tanyaku, sedikit malu dengan situasi ini.
Kami berdua memang belum cukup dekat, namun entah kenapa, aku merasa perlu memastikan keadaannya, meskipun dia tampak baik-baik saja.
“Iya, nggak papa,” jawabnya, meskipun dengan sedikit menggerutu. “Ayo kembali ke lapangan.”
...»»——⍟——««...
Kami pun mulai berjalan kembali melewati hutan sekolah yang rindang, dengan langkah yang terasa lebih ringan meskipun tubuhku masih sedikit lelah. Kucing kecil itu nyaman berada di pelukanku, membuatku merasa lebih baik, seolah-olah kehadiran kucing itu memberi sedikit ketenangan setelah kejadian yang penuh kecemasan tadi.
Namun, tiba-tiba langkah kakiku melambat. Tubuhku terasa berat, dan kepala mulai berputar. Jantungku berdebar lebih cepat, dan aku berusaha menenangkan diri, mencoba mengingat untuk tetap berjalan. Tapi, pandanganku semakin menggelap, dan aku merasa seperti aku tak bisa mengendalikan tubuhku lagi.
Bruk!
Aku terjatuh tanpa sadar. Tubuhku terasa lemas, dan ketika aku membuka mata, semuanya terasa kabur. Aku sudah berada di sebuah kamar rumah sakit, dan ada suara yang terdengar samar di sekitarku. Di sampingku, Ryan dan Kak Endra tampak menungguku dengan cemas.
“Dia sudah sadar!” seru Kak Endra dengan nada panik, seolah lega melihat aku terjaga kembali.
Ryan menghampiriku dengan wajah yang sangat khawatir. “Kamu baik-baik saja, Aura?” tanyanya, suaranya penuh kepanikan. Sepertinya dia benar-benar khawatir padaku.
Aku menatapnya dengan bingung, dan tubuhku terasa lemah. “Iya ... aku sedang di mana ini?” tanyaku dengan suara lemah dan terputus-putus, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
“Kamu baru saja pingsan saat di hutan biologi sekolah. Ryan yang menggotongmu ke UKS, dan karena tidak kunjung sadar, pihak sekolah membawamu ke rumah sakit,” jelas Kak Endra, yang tampaknya sedikit lebih tenang.
Aku menatap Ryan yang duduk di dekat kasurku. Matanya sedikit terpejam, tampaknya lelah, tapi masih ada kecemasan yang tergambar di wajahnya.
“Terima kasih,” ucapku padanya, suara aku bergetar.
Aku merasa sangat bersyukur dia ada di sini, menemani dan memastikan aku baik-baik saja.
Kak Endra beranjak dari tempat duduknya. “Kalau begitu, aku akan menginformasikan pihak sekolah kalau kamu sudah sadar,” katanya sambil berjalan keluar, meninggalkan aku dan Ryan berdua.
Ruangan itu terasa sangat sunyi setelah Kak Endra pergi, hanya ada kami berdua. Aku menatap ke arah langit-langit, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Kenapa tubuhku begitu lemah? Aku merasa sangat tidak enak karena sudah merepotkan orang lain, terutama Ryan.
Tiba-tiba, rasa malu datang begitu saja, menyelimuti hatiku. Ryan ada di sini, dan aku tidak ingin dia melihatku begitu lemah. Aku berusaha tersenyum, meskipun hanya sedikit.
“Maaf, sudah merepotkanmu,” kataku pelan, berusaha mengubah suasana yang terasa canggung.
Ryan menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Tidak apa-apa. Yang penting sekarang kamu sudah sadar. Aku sempat khawatir tadi,” katanya, suaranya sedikit lebih lembut.
“Ryan, kabar kucing itu bagaimana?” tanyaku dengan rasa penasaran, ingin memastikan bahwa kucing kecil itu baik-baik saja setelah semua yang terjadi.
Ryan terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. “Kamu baru saja pingsan, tapi hanya kucing itu yang kamu pikirkan?” dia sedikit jengkel, meski ada senyum kecil yang terlukis di wajahnya.
“Iya, aku baru pertama kali menggendong seekor kucing. Biasanya orang tuaku melarangku untuk dekat-dekat dengan hewan. Daya tahan tubuhku memang lemah,” jelasku, merasa sedikit canggung.
Ryan menghela napas dan mencoba mengubah topik pembicaraan. “Oh, iya ... kelompok kita tadi mendapat juara satu pada kegiatan petualangan itu!” ucapnya dengan nada bangga.
“Wah! Syukurlah ... tapi ... aku merasa tidak enak pada teman-teman yang lain karena tidak bisa berkontribusi banyak ...” ungkapku, merasa sedikit bersalah.
Mereka semua berlari dan bekerja keras, sementara aku hanya bisa terbaring di sini.
“Sudah lah ... teman-teman pasti mengerti tentang keadaanmu.” Ryan tersenyum padaku, entah kenapa, senyumannya itu membuat suasana hatiku menjadi sedikit lebih lega.
Dengan segala perasaan yang masih membingungkan ini, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa terima kasih. Ada ikatan yang tumbuh antara kami, sesuatu yang tak bisa kujelaskan.
...»»——⍟——««...