"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebencian & Pertengkaran
Sesaat setelah Ibu Julia pulang, aku langsung naik ke kamar. Enggan melihat wajah Niklas terlalu lama. Ingatanku tentang kejadian semalam tidak pernah menghilang seharian ini.
Niklas benar-benar telah menodai rumah ini. Menodai cinta Elma, membuatku tak habis pikir oleh tingkahnya. Hal besar apa yang terjadi sampai-sampai Niklas begitu tega? Mungkinkah karena Elma sakit dan tidak bisa mengandung anaknya?
"Tsania!" sergah Niklas.
Aku terus menyeret langkah dengan cepat menuju lantai atas. Tak mau berhadapan dengannya untuk saat ini. Namun, langkah kaki Niklas makin mendekat.
Sampai akhirnya lelaki itu berhasil menarik tanganku dengan kasar. Membuat aku berbalik dengan penuh paksaan. Rasa sakit pada kakiku berulah lagi akibat tarikan Niklas.
"Apa-apaan kamu bicara seperti tadi pada ibuku?" tanya Niklas tanpa merasa bersalah telah membuat kakiku terasa makin sakit.
"Aku hanya bicara tentang pekerjaan di luar. Bukan tentang kelakuanmu yang membawa wanita ke rumah ini."
"Jaga bicaramu, Tsania!"
"Jangan mengelak lagi, Niklas. Ya, Tuhan! Aku kasihan sekali pada Elma, mengapa harus menikah dengan lelaki seperti kamu?"
"Kamu yang membuat kami menikah!" Lagi-lagi Niklas mengeraskan suara.
Perkataannya kali ini membuat hatiku sedikit nyeri. Kejadian menyakitkan di masa lalu kembali membayangiku. Aku melengos dari tatapan Niklas yang tampak menyimpan kebencian.
"Bukan berarti kamu bisa menyakitinya, Niklas," ujarku dengan nada yang sedikit rendah.
"Kalau kamu tidak tau apa pun, lebih baik jaga bicaramu, Tsania." Niklas menunjuk wajahku seiring ekspresi kesal yang terlihat di wajahnya. "Jangan sembarangan bicara lagi dan kalaupun aku memiliki hubungan dengan orang lain, itu bukan urusanmu."
"Jadi, kamu mengakuinya?"
Lelaki itu memilih berbalik pergi meninggalkan aku yang mematung kecewa. Bukan kecewa untuk diriku sendiri, tetapi merasa kecewa karena dia mungkin telah mengkhianati Elma sejak lama. Padahal aku selalu berharap dia bisa menjaga Elma dengan baik. Mencintainya seperti dia mencintaiku dulu.
Mencintaiku? Aku tersenyum hambar. Lebih baik aku tidak membahas kata 'cinta' di antara aku dan Niklas. Karena beginilah kami berakhir sekarang.
Lelah karena beberapa hari sejak menikah kami selalu bertengkar, aku menghela napas dalam-dalam. Inikah kehidupan kacau yang Elma inginkan untukku? Padahal aku sudah belajar dan berusaha menerima kenyataan bahwa Niklas adalah miliknya.
Namun, apa yang dia lakukan? Dia berpikir aku akan bahagia dengan Niklas yang sekarang? Tidak! Masa bahagia kami sudah lewat. Yang ada hanya kebencian dan pertengkaran.
"Kamu salah besar, Elma. Keputusan terakhirmu bukan hal yang tepat untuk aku dan Niklas," gumamku seraya bergegas memasuki kamar.
Gara-gara kaki yang masih bengkak, gerakanku harus terbatas. Rasa nyeri berdenyut di kakiku. Kalau saja Niklas tidak menarik aku dengan keras tadi, mungkin sakitnya akan sedikit berkurang.
Aku memandangi kakiku yang cedera akibat ulah sendiri karena tak fokus. Menyedihkan sekali. Niklas hanya menatap tanpa membantu sedikit pun. Padahal dulu dia orang pertama yang tidak ingin melihatku terluka.
"Ya Tuhan, apa yang kamu pikirkan, San? Nggak ada gunanya hidup di masa lalu. Ingatlah, Niklas yang sekarang bukan seperti yang kamu kenal dulu." Lagi-lagi aku bergumam di tepi ranjang. "Kamu yang melukai dia dan membuatnya membencimu, Tsania."
Ya, aku tidak pernah kabur dari fakta itu. Kebenaran bahwa akulah yang mulai bersikap jahat pada Niklas. Sehingga sekarang lelaki itu seperti bukan Niklas yang aku kenal.
Aku tersenyum sedih membayangkan pertengkaran yang terus terjadi. Bagaimana jadinya hubungan pernikahan ini selama beberapa bulan ke depan? Jika belum genap sebulan saja, kami terus bertengkar.
———oOo———
Seperti beberapa malam sebelumnya, aku menikmati makan malam sendirian. Walaupun hari ini Niklas berada di rumah. Dia mengurung diri di ruang kerjanya setelah perdebatan kami beberapa saat lalu.
Aku pun tidak mau memedulikan keberadaannya. Tak mau bersusah payah untuk menegur dan meminta Niklas bergabung di meja makan. Buat apa? Aku tidak harus bersikap seperti aku ini istri yang baik.
"Bu, besok saya akan kembali ke sekolah dan kemungkinan saya nggak sarapan. Besok disekolah saja. Jadi, Bu Hesti nggak perlu memasak," kataku memperingatkan Bu Hesti.
"Tapi, kaki Non Tsania kan masih sakit."
"Udah mendingan, Bu. Saya nggak enak kalau kelamaan izin."
Bu Hesti mengulas senyum tipis. "Wong baru sehari, Non."
Aku terkekeh menanggapi ucapannya. "Di rumah membosankan. Saya lebih suka beraktivitas di luar."
"Non Tsania benar-benar bertolak belakang dengan Bu Elma. Soalnya Bu Elma lebih suka di rumah, berkebun, dan merawat semua buku-buku di perpustakaan pribadinya."
Memang itu kebenaran yang ada. Aku dan Elma bertolak belakang. Elma yang lebih suka ketenangan di rumah; bisa saja berjam-jam menghabiskan waktu sendiri. Sangat kontras denganku yang lebih suka bekerja.
Ketika suatu hari aku mengabarkan pada Elma bahwa aku diterima bekerja menjadi guru di Taman Kanak-kanak, Elma langsung berkata itu sangat cocok denganku. Aku suka bekerja di luar dan suka anak-anak. Untuk itulah Elma bangga padaku.
Sekarang jika aku mengingatnya, perasaanku nyeri dan sedikit sedih. Mengingat sudah tidak ada Elma lagi di rumah ini.
"Maaf, Non, saya jadi bahas Bu Elma dan membuat Non Tsania sedih," imbuh Bu Hesti. Nada bicaranya terdengar sangat bersalah.
"Nggak masalah, Bu. Saya memang sering teringat Elma tanpa Bu Hesti membahasnya. Apalagi saya tinggal di rumah ini. Rumahnya Elma. Jadi, jejak Elma masih ada di sini."
Bu Hesti terlihat hendak menjawab, tetapi obrolan kami berakhir karena Niklas yang tiba-tiba keluar dari ruang kerjanya. Pria itu terlihat rapi dengan kemeja putih dan jas hitam. Aku kembali fokus pada sarapan, tak mau melempar tatapan ke arahnya.
"Pak Niklas, saya siapkan sarapan dan kopi," kata Bu Hesti.
"Tidak usah. Saya ada janji sarapan di luar," tukas Niklas merespons Bu Hesti.
Aku masih tidak mau menatapnya, sibuk mengunyah makanan yang tersisa di mulut. Meski begitu, aku tahu Niklas mencuri tatap padaku.
Tak mau diperhatikan terus, aku bangkit dari kursi dan segera membawa piring kotor ke dapur. Walaupun Bu Hesti selalu bilang untuk meninggalkan piring kotor di meja makan karena dia akan membersihkannya, aku tetap menolak. Karena itu bukan kebiasaanku, meski sekarang ada pembantu.
Niklas melempar sebuah lembaran ke arah meja dekat bak cuci piring. Tahu-tahu dia sudah menyusul aku ke dapur. "Temui dokter kandungan besok, ibuku sudah mengaturnya untukmu."
"Pagi?" Keningku mengernyit samar saat membaca kertas kecil tersebut. "Aku harus ke sekolah besok. Ada pekerjaan. Jadi, sebaiknya undur saja waktunya."
"Tidak bisa. Pergi sesuai jam."
"Niklas, aku bekerja!" sergahku karena dia terkesan sangat memaksa.
"Kamu lupa tujuan pernikahan kita? Jangan mengulur-ulur waktu, Tsania."
Lagi? Sepagi ini dia ingin mengajak bertengkar untuk ke sekian kali? Aku menatapnya dengan sorot penuh kemarahan.
"Dengar, aku hanya akan menuruti ucapan kalian jika menyangkut hal ini. Jika di luar itu, aku nggak akan mau diperintah oleh kamu, Niklas," cetusku.
Niklas hanya melengos dan berlalu meninggalkan aku. Punggungnya yang lebar perlahan menghilang di balik pintu utama rumah. Suara mesin mobilnya terdengar sesaat, lalu menjauh pergi.
Aku mengusap wajah sebentar karena pagi-pagi begini dia sudah merusak suasana hatiku. Atensiku tersita pada ponsel yang bergetar di saku cardigan. Nama si pengirim membuatku membulatkan mata; kaget sekaligus senang dan lega.