Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Setelah Dion pergi, aku berdiri di tengah ruang tamu yang sunyi, memandang ponselku yang hancur di lantai. Rasanya seperti simbol dari semua yang baru saja terjadi—hubungan kami yang rusak, usaha yang hancur, dan dukungan yang tak pernah ada. Perlahan, aku menunduk, mengambil ponsel yang pecah itu. Layarnya retak, sebagian tombol tidak merespons, dan bahkan saat aku mencoba menyalakannya, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Aku duduk di meja makan, memandangi benda yang dulunya menjadi alat utama untuk meraih sedikit kemandirian. Semua konten yang telah kuusahakan, semua ide yang akan kuunggah, hancur dalam sekejap.
“Bagaimana bisa dia sekejam ini?” gumamku sambil menyeka air mata yang jatuh tanpa sadar. Aku mencoba memikirkan solusi, dan satu-satunya yang terpikirkan adalah mencoba memperbaiki ponsel itu. Meski harapannya tipis, aku tidak punya banyak pilihan.
Aku menggenggam ponsel itu erat, lalu bergegas keluar rumah menuju tukang servis ponsel di ujung jalan. Sepanjang perjalanan, pikiranku berkecamuk dengan berbagai skenario—apakah aku akan berhasil memperbaikinya? Apakah Dion akan semakin marah jika tahu aku tetap meneruskan pekerjaanku sebagai konten kreator? Tapi aku harus melakukannya. Ini bukan hanya soal uang. Ini soal harga diri, soal membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.
Saat aku sampai di toko servis, aku mendapati seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal yang sedang sibuk memperbaiki ponsel lain. "Selamat siang, Pak," sapaku sambil menunjukkan ponsel yang sudah rusak.
Dia menatap ponselku sebentar, lalu mengangkat alis. "Wah, parah juga ini. Apa yang terjadi?"
Aku menghela napas, menahan rasa kesal yang kembali menyelinap. "Suami saya yang merusaknya. Bisa diperbaiki, Pak?"
Dia mengambil ponsel itu dari tanganku dan memeriksanya dengan teliti. Beberapa kali dia mencoba menyalakan ponsel, membuka bagian belakangnya, dan memeriksa komponen di dalamnya. Setelah sekitar sepuluh menit, dia menggelengkan kepala.
"Maaf, Mbak. Kerusakannya terlalu parah. Komponen dalamnya kena semua. Mungkin bisa diperbaiki, tapi harganya hampir sama dengan beli ponsel baru."
Perkataannya membuat harapanku runtuh. Aku mengangguk lemah, lalu menatap ponsel yang kini hanya menjadi seonggok barang tak berguna.
"Baik, Pak. Terima kasih sudah memeriksanya," kataku dengan senyum pahit sebelum membayar biaya pemeriksaan dan keluar dari toko.
Jalanan terasa sepi saat aku melangkah pulang. Kepalaku dipenuhi oleh berbagai pikiran. Ponsel itu adalah alatku untuk bekerja, dan tanpa ponsel baru, aku tak bisa melakukan apapun. Tapi bagaimana aku bisa mendapatkan ponsel baru? Uang yang aku punya saat ini tidak cukup untuk membeli perangkat seperti itu, apalagi setelah semua uang tabungan sudah habis untuk kebutuhan rumah tangga. Dion tak akan memberiku uang untuk hal yang dianggapnya tak penting.
Sesampainya di rumah, aku duduk termenung di kamar tidur. Mataku tertuju pada cermin di dinding, di mana pantulan diriku tampak lesu dan bingung. Tapi kemudian, mataku tertuju pada kalung emas yang terletak di atas meja rias. Itu adalah satu-satunya barang berharga yang masih kumiliki—kalung emas hadiah dari ibuku saat pernikahanku dengan Dion.
Aku memandang kalung itu cukup lama, merenung apakah aku siap melepaskannya. Tapi kemudian, kenyataan menghantamku lagi. Kalung itu hanyalah simbol, sementara aku butuh alat nyata untuk bisa bertahan. Jika aku ingin tetap bekerja dan mencari nafkah, aku harus mengambil langkah drastis.
Dengan hati berat, aku mengambil kalung itu dan menggenggamnya erat. "Maafkan aku, Bu," bisikku pelan, merasa seolah-olah sedang mengkhianati warisan kecil dari ibuku. Tapi di sisi lain, aku tahu ibuku pasti akan mendukung keputusanku. Dia selalu mengajariku untuk mandiri dan tidak bergantung pada siapa pun, termasuk pada suami.
Pagi itu, aku pergi ke toko emas di dekat pasar. Di dalam toko, seorang pegawai menyambutku dengan senyuman ramah.
"Mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
Aku membuka genggamanku, menunjukkan kalung emas yang kubawa. "Saya mau jual kalung ini. Berapa harganya sekarang?"
Pegawai itu memeriksa kalung dengan hati-hati sebelum memasukkan datanya ke komputer. Setelah beberapa saat, dia menyebutkan harga. Jumlah yang ia tawarkan cukup untuk membeli ponsel baru, meski tidak lebih dari itu.
Aku mengangguk pasrah. "Baik, saya jual."
Prosesnya berlangsung cepat, dan aku keluar dari toko dengan uang di tangan. Meski terasa menyakitkan, ada sedikit rasa lega karena aku tahu ini langkah pertama untuk mendapatkan kembali kendaliku atas hidupku. Aku segera menuju ke pusat perbelanjaan untuk membeli ponsel baru, ponsel yang akan menjadi alat utama dalam meraih kemandirianku.
Sesampainya di toko elektronik, aku melihat-lihat berbagai pilihan ponsel yang sesuai dengan budget. Ponsel yang bagus, dengan kamera berkualitas tinggi—seperti yang kubutuhkan untuk membuat konten. Akhirnya, setelah membandingkan beberapa pilihan, aku memutuskan membeli ponsel yang cukup canggih tapi sesuai dengan uang yang kumiliki.
Aku pulang dengan perasaan campur aduk, namun lebih kuat dari sebelumnya. Setidaknya sekarang aku punya alat untuk melanjutkan pekerjaanku. Dion mungkin tidak akan suka dengan apa yang kulakukan, tapi aku sudah tidak peduli. Ini adalah hidupku, dan aku berhak untuk menentukan jalannya sendiri.
Setelah kembali ke rumah, aku langsung mulai mengatur ponsel baruku. Aku memasukkan kembali semua aplikasi yang kubutuhkan untuk bekerja, login ke akun TikTok, dan mulai memikirkan konten baru yang bisa kuunggah. Aku tahu aku harus lebih berhati-hati, lebih profesional, dan lebih fokus agar hasil yang kudapat bisa semakin berkembang.
Malam itu, saat Dion pulang, dia melihatku sedang duduk di meja kerja, sibuk dengan ponsel baruku. Dia tidak langsung mengatakan apapun, tapi aku bisa merasakan ketegangan di antara kami. Aku tahu ini hanya masalah waktu sebelum konflik besar berikutnya meledak, tapi aku sudah memutuskan. Kali ini, aku tidak akan menyerah.
Tanpa menoleh padanya, aku melanjutkan pekerjaanku, mengetik dan merancang konten baru dengan hati yang semakin mantap. Apapun yang terjadi, aku akan terus maju.