Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepingan Kenangan.
Hujan rintik-rintik menari di atas genting, berjatuhan ke dalam tanah yang meresapinya perlahan, menciptakan aroma khas yang mengingatkan pada masa-masa silam. Di ujung sebuah jalan sepi, berdiri sebuah rumah tua dengan cat tembok yang terkelupas, mengingatkan pada sebuah album kenangan yang sudah lama terkubur dalam debu waktu. Rumah itu bagai pelipur lara dari bayangan masa lalu yang tak kunjung padam. Namun, siapa sangka di balik kesunyian rumah tua itu tersimpan serpihan kenangan yang mengerikan, terpecah-pecah layaknya kaca yang retak.
Dara, seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, melangkahkan kaki dengan ragu ke dalam rumah itu. Matanya menyapu seluruh ruangan yang kosong, debu menempel tebal di setiap sudut. “Apakah aku siap menghadapi ini?” bisiknya dalam hati.
Ia kembali ke rumah tua itu bukan karena rindu, melainkan karena pesan aneh yang diterimanya tiga hari yang lalu—sebuah surat tanpa pengirim yang hanya berisi kalimat singkat: "Ingatlah yang terlupakan." Tidak ada nama, tidak ada tanda tangan, hanya kata-kata itu. Namun, Dara tahu apa yang dimaksud. Ia tahu pesan itu terkait masa lalu yang telah lama dikuburnya—masa lalu yang menghantui hingga hari ini.
Langkahnya membawa Dara ke dalam kamar yang dahulu pernah menjadi tempatnya bersembunyi saat ia masih kecil. Dinding kamar itu penuh coretan. Tangan Dara menyentuh goresan-goresan yang seolah-olah mencoba menceritakan kembali kisah-kisah yang telah dilupakan. Di salah satu sudut kamar, tergantung sebuah cermin kecil. Cermin itu berbingkai kayu, diwarnai emas, namun sekarang catnya sudah mengelupas, memperlihatkan lapisan kayu di bawahnya.
“Kepingan kenangan,” gumamnya, tatapannya terfokus pada cermin. Sesuatu tentang cermin itu membuatnya merasa tak nyaman, seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik pantulannya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lorong di belakangnya. Dara berbalik dengan cepat. Tidak ada siapa-siapa. Hanya suara angin yang merayap melalui jendela yang setengah terbuka.
"Kau akhirnya kembali."
Sebuah suara berat menyusup di antara kesunyian, membuat jantung Dara berdegup kencang. Matanya melotot, mencari sumber suara itu. Tiba-tiba, dari balik bayangan di dekat pintu, muncul sosok lelaki tua, tubuhnya tinggi dan kurus dengan mata yang menyipit seperti seseorang yang berusaha mengingat sesuatu yang telah lama hilang. Wajahnya pucat, hampir transparan, seperti kabut pagi yang bisa hilang dengan satu hembusan angin.
"Siapa kau?" tanya Dara dengan suara gemetar, meski ia sudah tahu jawabannya.
“Aku adalah bagian dari kenanganmu. Apakah kau masih mengingatku, Dara?”
Dara terdiam. Sosok itu bukan orang asing. Itu adalah Bayu, adiknya yang telah lama menghilang ketika mereka masih anak-anak. Rasa bersalah segera menyeruak dalam benaknya. Bayu hilang dalam insiden yang membuatnya merasa bertanggung jawab selama bertahun-tahun.
“Bayu?” Bisikan itu keluar dari bibir Dara dengan getir. “Kau… kau sudah mati.”
“Benar, tapi apakah kematian benar-benar menghapus segalanya? Apakah semua bisa terlupakan hanya karena waktu berlalu?” Bayu mendekat, tatapannya menembus langsung ke dalam mata Dara. “Kau meninggalkanku.”
Dara mundur selangkah, tubuhnya gemetar hebat. Ingatan tentang malam ketika Bayu hilang mendadak terputar di kepalanya seperti film tua yang berulang-ulang. Mereka bermain di hutan dekat rumah, tanpa izin dari orang tua. Malam itu gelap, dan mereka tersesat. Dara, yang lebih tua, seharusnya melindungi Bayu, tapi ketakutan yang luar biasa membuatnya lari meninggalkan adiknya sendirian. Esok harinya, ketika bantuan datang, Bayu sudah tak pernah ditemukan lagi.
"Aku... Aku tidak bermaksud...," Dara berusaha membela diri, tapi kata-kata itu tersendat di tenggorokannya. Penyesalan yang selama ini disembunyikannya tiba-tiba menyeruak ke permukaan seperti luka yang kembali terbuka.
Bayu tersenyum tipis, senyum yang sama seperti dulu, tapi kini ada kegelapan yang menyelimuti wajahnya. "Tapi kau tetap melakukannya, dan aku mati sendirian di sana."
"Bayu, aku—"
Belum sempat Dara melanjutkan, cermin di sudut ruangan bergetar. Suara retakan halus terdengar, dan Dara merasakan sesuatu yang ganjil dari cermin itu. Perlahan, cermin tersebut mulai memudar, memperlihatkan pemandangan yang aneh—sebuah hutan yang tampak samar di balik lapisan cermin. Itu adalah hutan tempat Bayu menghilang.
"Cermin ini..." Bayu menunjuk ke arah cermin, "ini adalah gerbang. Gerbang ke tempat aku tersesat dan tak pernah kembali. Kau bisa memperbaiki kesalahanmu, Dara. Kau bisa menjemputku."
Dara terperangah. "Apa maksudmu? Bagaimana mungkin aku bisa memperbaikinya? Kau sudah—"
Bayu menggeleng. "Waktu di sini tidak berjalan sama seperti di duniamu. Di sini, aku terjebak di antara ingatanmu yang tak selesai, di antara kenyataan yang kau lupakan. Kau bisa datang ke sini dan membawaku kembali."
Tatapan Dara beralih ke cermin yang terus memancarkan aura magis. Apakah ini nyata? Apakah ada cara untuk menebus dosa masa lalu dan menyelamatkan Bayu? Pikirannya terombang-ambing di antara rasa bersalah dan ketakutan yang menghantui. Namun, sebuah bisikan kecil di hatinya menyuruhnya untuk bertindak.
“Bagaimana caranya?” tanyanya pelan.
Bayu tersenyum lebih lebar. “Cukup sentuh cermin itu, dan kau akan melihat apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Mungkin ada yang bisa kau ubah...”
Dengan tangan gemetar, Dara mendekati cermin itu. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya dipenuhi keraguan. Tapi rasa penyesalan yang menumpuk selama bertahun-tahun akhirnya membimbingnya untuk mengulurkan tangan dan menyentuh permukaan cermin.
Begitu jarinya menyentuh kaca, dunia di sekitarnya mulai memudar. Ruangan tempat ia berdiri lenyap, digantikan oleh pemandangan hutan yang gelap dan lebat. Suara-suara malam menyeruak, dan Dara menyadari bahwa dirinya telah kembali ke malam di mana segalanya bermula.
Di depannya, Dara melihat dirinya yang lebih muda, berlari panik di antara pepohonan, meninggalkan Bayu yang menangis di belakang. Bayu kecil memanggil-manggil namanya, namun rasa takut membuat Dara tak berpaling.
Dara dewasa mencoba mendekati Bayu kecil, namun setiap langkahnya terasa berat, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menghalanginya. “Bayu! Aku di sini!” teriaknya, namun suaranya seperti teredam oleh hutan yang gelap.
Saat Dara semakin mendekat, sesosok bayangan besar muncul dari balik pepohonan, mengintai Bayu kecil. Sosok itu berwujud menyerupai manusia, namun wajahnya tertutup topeng kayu yang kasar, matanya berkilau tajam di balik topeng tersebut. Bayu kecil menangis, ketakutan, dan Dara dewasa merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak.
“Tidak!” jerit Dara, berlari lebih cepat, mencoba mencapai Bayu sebelum bayangan itu menyentuh adiknya.
Namun terlambat. Sosok bertopeng itu meraih Bayu, dan dalam sekejap mata, mereka menghilang ke dalam kegelapan hutan.
Dara tersentak mundur, terengah-engah. Pemandangan di sekitarnya kembali memudar, dan ia kembali berada di dalam kamar rumah tua itu. Bayu berdiri di depannya, tersenyum getir.
"Kau mengingatnya sekarang?" tanya Bayu.
Dara hanya bisa mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Dia akhirnya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukan hanya ketakutannya yang membuatnya lari malam itu, tapi juga keberadaan sosok bertopeng yang tak pernah dia ingat sebelumnya—kepingan kenangan yang selama ini hilang dari ingatannya.
"Aku tidak bisa membawamu kembali," bisik Dara, suaranya serak karena rasa bersalah yang semakin dalam.
Bayu tersenyum tipis. "Aku tidak pernah meminta itu. Aku hanya ingin kau mengingat, Dara. Mengingat bahwa aku tidak pernah benar-benar pergi."
Dan dengan itu, sosok Bayu mulai memudar, seperti bayangan yang terhapus oleh cahaya pagi. Dara hanya bisa berdiri diam, menyaksikan adiknya lenyap sekali lagi—kali ini untuk selamanya.