keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Menitipkannya di pesantren
Aza, dengan sikap ceplas-ceplos dan gaya barbar yang menjadi ciri khasnya, tampak begitu keberatan saat harus mengikuti Gus Zidan memasuki pesantren. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti menuju penjara, dan pikirannya penuh dengan rencana untuk kabur. Dia terus menggerutu pelan, mencoba membuat alasan untuk tidak masuk ke dalam.
“Gus Zidan, bukankah sebaiknya kita cari tempat lain saja? Lagipula, ini urusan kamu, bukan urusan aku,” ucap Aza, mencoba terdengar meyakinkan. “Aku juga merasa tidak pantas berada di tempat seperti ini. Lihat aku, dengan pakaian ini—mana cocok masuk pesantren?” ucapnya sembari menunjuk pakaiannya, meskipun panjang ia tidak memakai jilbabnya.
Gus Zidan berhenti sejenak, lalu menoleh pada Wahyu seperti menanyakan sesuatu.
"Tadi sudah ada bersama bajunya juga, Gus. sungguh." Tutur Wahyu seperti memberi pembelaan, lalu Gus Zidan beralih menatap Aza dengan tatapan tenang namun penuh kewibawaan.
"Dimana jilbabnya?"
"Ya aku pikir tidak perlu, lagi pula aku juga nyaman sama ini." jawab Aza santai tanpa menunjukkan rasa bersalahnya.
"Baiklah, tidak masalah, ayo masuk." ajak Gus Zidan sembari menggandeng tangan Aza tapi Aza kembali menahan tubuhnya agar tidak bergerak dari tempatnya.
"Sudah ku bilang kan, aku lebih baik nggak ke sini, aku nggak pakek jilbab, dan kayaknya aku terlalu kasar." Aza masih berusaha mencari alasan.
“Mazaya Farha Kaina, ini bukan tentang pakaian atau tempat. kamu sudah menjadi istri saya jadi apapun yang terjadi sama kamu menjadi tanggung jawab saya. Biarkan saya membimbingmu dengan cara yang tepat agar nanti saat saya dimintai pertanggung jawaban saya juga bisa menjawabnya dengan tepat juga.”
Aza berdecak kesal, mencoba lagi. “Tapi... aku baru saja lulus SMA. Aku belum siap dengan semua ini. Bagaimana kalau kita cari kontrakan saja, kos-kosan juga boleh asal jangan pesantren."
“Ke pesantren atau tidak sama sekali,” jawab Gus Zidan dengan nada tegas, namun tetap lembut. “Hanya dua Minggu. Lagipula, pesantren ini tidak seburuk yang kamu bayangkan. Ini tempat belajar, bukan penjara.”
Aza mendesah frustrasi, merasa semua alasannya dipatahkan dengan mudah. “Ah, Gus, saya ini takut dengan... eh, suasana pesantren! Pasti banyak aturan, dan aku bukan orang yang pandai mengikuti aturan!”
Gus Zidan tersenyum kecil mendengar dalih Aza. “Aturan ada untuk kebaikan kita, Aza. Dan selama kita mengikuti aturan dengan niat baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagipula, tidak semua aturan itu mengekang.”
Merasa kehabisan akal, Aza menyerah. Gus Zidan terlalu tegas namun sekaligus bijak dalam membalas setiap argumen yang dia buat. Dengan berat hati, dia mengikuti langkah Gus Zidan memasuki area pesantren. Meskipun masih kesal, dalam hatinya Aza tidak bisa menyangkal ada sesuatu yang menenangkan dalam cara Gus Zidan berbicara dan membawa dirinya.
“Baiklah, terserah,” gumamnya dengan nada kalah. “Tapi ingat aku tetap tidak suka ini.”
Gus Zidan hanya tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya. Aza, meski menggerutu sepanjang jalan, akhirnya berjalan di sampingnya, pasrah mengikuti takdir yang kini mengarahkannya ke pesantren.Saat mereka tiba di *dhalem*, rumah tinggal Kyai pengasuh pesantren, Gus Zidan memberi salam dengan penuh hormat. Suara salamnya menggema di teras yang asri, dikelilingi tanaman hijau. Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya dengan wajah teduh dan janggut yang mulai memutih keluar menyambut mereka dengan senyuman hangat.
"Wa'alaikumsalam, Gus Zidan. Alhamdulillah, sudah sampai dengan selamat," ucap Kyai Haji Mansur, pengasuh pesantren. Beliau memeluk Gus Zidan erat, menunjukkan hubungan yang sangat dekat antara keduanya.
Aza hanya bisa berdiri di belakang, merasa asing dan gugup. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di lingkungan pesantren, dan dia merasa setiap orang yang berada di dalam rumah ini seperti bisa membaca pikirannya—terutama kegelisahannya.
Gus Zidan mengajak Aza masuk, dan mereka duduk di sofa ruang tamu yang sederhana namun nyaman. Ruangan itu dipenuhi buku-buku agama di rak-rak yang menghiasi dinding, menambah suasana religius dan tenang.
Baru beberapa saat mereka duduk dan berbincang ringan, seorang wanita paruh baya muncul dari dalam rumah. Senyumnya lembut, penuh kasih, membuat Aza sedikit rileks meskipun perasaan canggungnya masih menguasai. Wanita itu segera duduk di samping Kyai Mansur.
"Ini istri saya, Nyai Khadijah," kata Kyai Mansur memperkenalkan. "Dia sudah mendengar tentang kedatangan kalian dan ingin bertemu dengan istri Zidan."
Aza menelan ludah. Meski merasa canggung, dia berusaha memberikan senyum kecil. “Assalamualaikum, Bu Nyai.”
“Wa’alaikumsalam, Nak Aza,” jawab Nyai Khadijah, suaranya hangat dan ramah. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Gus Zidan tidak banyak bercerita, tapi kami sudah mendengar kabar kalian."
Aza mengernyit sedikit. “Kabar kami?” gumamnya pelan, tidak yakin harus bereaksi bagaimana.
Gus Zidan hanya tersenyum tenang di sampingnya, sementara Nyai Khadijah melanjutkan, “Pesantren ini akan selalu terbuka untukmu, Nak. Jangan sungkan. Anggap ini rumahmu juga.”
Aza hanya mengangguk, merasa semakin canggung. Dalam hatinya, dia tahu ini bukan tempat yang ingin dia tinggali, tetapi keramahtamahan keluarga Kyai membuatnya sulit untuk menolak atau menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan.
Setelah berbincang beberapa saat, Gus Zidan menghela napas dalam, seolah bersiap untuk mengutarakan sesuatu yang penting. Ia menatap Kyai Mansur dan Nyai Khadijah dengan penuh hormat sebelum akhirnya berkata, "Abah Yai, Nyai... Saya sebenarnya datang ke sini dengan satu niat. Saya ingin menitipkan Aza di pesantren ini sebagai santri."
Mendengar kata-kata itu, mata Aza langsung melebar. Seolah baru saja ditimpa petir di siang bolong, dia tak bisa menahan diri. "Apa?! Titip di sini? Maksudnya jadi santri? Dan di tinggal?" Aza bertanya dengan nada tak percaya, wajahnya berubah pucat.
Gus Zidan menoleh ke arah Aza, wajahnya tetap tenang. "Iya, Aza. Di sini kamu bisa belajar lebih banyak tentang agama dan memperdalam pemahamanmu. Ini tempat yang baik untukmu."
Aza merasa dadanya sesak. "Katanya hanya dua Minggu, kenapa malah jadi di titipkan sih?" protes Aza. Dia memang sudah pernah menduga Gus Zidan akan membawanya ke pesantren, tapi mendengarnya secara langsung membuat semuanya terasa lebih nyata dan menghantamnya dengan keras.
"Meskipun hanya dua minggu tetap aku harus meminta ijin menitipkanmu, Mazaya Farha Kaina"
"Tapi... aku kan sudah bilang aku nggak mau masuk pesantren!" protesnya.
Kyai Mansur dan Nyai Khadijah saling pandang, tersenyum kecil seolah memahami kebingungan Aza.
Nyai Khadijah, dengan suaranya yang lembut, menenangkan, "Nak Aza, tidak ada paksaan di sini. Kami akan memberimu ruang untuk beradaptasi. Semua santri yang datang ke sini adalah keluarga. Kamu akan diterima dengan baik."
"Tapi saya..." Aza berusaha mencari alasan lain, namun kata-katanya terhenti saat Gus Zidan kembali menatapnya dengan sorot mata yang tegas namun lembut.
“Aza, ini bukan tentang apa yang kamu inginkan sekarang. Ini tentang apa yang terbaik untukmu,” ujar Gus Zidan dengan bijak. “Dan aku yakin, tempat ini bisa memberikanmu bimbingan yang baik. Kamu akan belajar banyak hal di sini.”
Aza hanya bisa terdiam, jantungnya berdebar kencang. Semua alasan yang ingin dia katakan seakan sirna. Sesuatu dalam tatapan Gus Zidan membuatnya merasa tak punya pilihan lagi, meski dalam hatinya dia masih ingin menolak keras.
...Apa yang kita inginkan belum tentu baik untuk kita, tapi apa yang Allah tetapkan untuk kita sudah tentu baik untuk kita...
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....