Arav Hayes Callahan, seorang CEO yang selalu dikelilingi wanita berkelas, terjebak dalam situasi yang tak terduga ketika hatinya tertambat pada Kayla Pradipta, seorang wanita yang statusnya jauh di bawahnya.
Sementara banyak pria mulai menyukai Kayla, termasuk kakaknya sendiri, Arav harus menahan rasa cemburu yang terpendam dalam bayang-bayang sikap dinginnya. Bisakah Arav menyatukan perasaannya dengan Kayla di tengah intrik, cemburu, dan perbedaan status yang menghalangi mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEO Bucin
Bab 9
Melihat itu, Arav akhirnya memutuskan untuk turun tangan. Tanpa banyak bicara, ia meraih sabuk pengaman itu, mendekatkan tubuhnya ke arah Kayla. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci, membuat Kayla menahan napas seketika. Pandangan mereka saling bertemu dalam keheningan yang penuh ketegangan. Mata Kayla tertuju pada wajah Arav yang begitu dekat—matanya yang tajam, rahangnya yang tegas, dan kesempurnaan fitur wajahnya yang membuatnya hampir lupa cara bernapas.
Kayla terjebak dalam pandangannya, tidak mampu mengalihkan mata. Hatinya berdetak kencang, merasa aneh karena posisinya begitu intim dengan Arav. Dalam beberapa detik itu, seolah dunia di sekitar mereka menghilang, hanya tersisa tatapan mata yang saling berbicara tanpa kata.
Arav, tanpa terlihat terpengaruh, akhirnya berhasil melepaskan sabuk itu. Ia menariknya dengan sedikit tenaga, hingga sabuk melonggar dan kembali ke tempatnya. Kemudian, ia berkomentar dengan nada datar, “Hal sesederhana ini saja tidak bisa kau lakukan?”
Kayla menelan ludah, merasa sedikit tersinggung tapi juga tidak bisa menyangkal bahwa ia memang terlalu gugup tadi. “Aku… mungkin hanya belum terbiasa,” jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Arav mengangkat sebelah alis, tampak tidak peduli tapi jelas ada sedikit sindiran di balik ucapannya. “Kalau begitu, biasakan dirimu. Jangan merepotkan orang lain untuk hal kecil seperti ini.”
Meski ucapannya terdengar dingin, ada lapisan kehangatan yang tersirat. Kayla tahu, di balik sikap keras itu, Arav sebenarnya peduli, meskipun ia mengekspresikannya dengan cara yang tak biasa. Kayla tersenyum kecil, merasa sedikit lega, tetapi masih ada satu hal yang mengganjal di pikirannya.
Saat Arav sudah bersiap untuk kembali duduk tegak di kursi kemudi, Kayla memberanikan diri untuk bertanya, “Pak Arav, tadi di rumahmu… kau bilang aku calon menantu. Apa maksudmu dengan itu?”
Arav menghentikan gerakannya sejenak, kemudian menatap Kayla dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada keheningan singkat sebelum ia menjawab, “Aku tidak ingat mengatakan hal seperti itu.”
Kayla terdiam, merasa semakin bingung. “Tapi… aku yakin mendengar itu dari mulutmu.”
Arav menghela napas pendek, seolah tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini. “Jangan terlalu banyak berpikir. Fokus saja pada tugasmu di kantor,” jawabnya dengan nada yang tetap tenang dan tak tergoyahkan.
Jawaban itu membuat Kayla merasa canggung, tapi juga bingung. Arav seolah menyangkal ucapannya, namun cara dia mengatakannya terdengar seolah ada hal lain yang dia sembunyikan. Kayla mencoba membaca ekspresinya, tetapi wajah Arav tetap datar, tak memberi ruang sedikit pun untuk menerka apa yang sebenarnya ada di pikirannya.
“Aku akan menjemputmu besok pagi. Jangan terlambat,” ucap Arav singkat sebelum menutup pembicaraan, seolah ingin mengalihkan fokus dari topik yang baru saja mereka bahas.
Kayla hanya mengangguk, lalu membuka pintu mobil dan keluar. Sebelum ia benar-benar meninggalkan mobil, ia sempat melirik sekali lagi ke arah Arav, berharap menemukan petunjuk tentang apa yang sebenarnya dia pikirkan. Namun, Arav hanya membalas dengan tatapan singkat, lalu menyalakan mesin mobilnya tanpa berkata apa-apa lagi.
Setelah Kayla menutup pintu dan berjalan menuju gedung apartemennya, mobil Arav perlahan meninggalkan tempat itu. Namun, di balik sikap dinginnya, ada perasaan yang tidak bisa Arav abaikan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa pernyataan “calon menantu” itu keluar begitu saja karena kecemburuan dan keinginannya untuk melindungi Kayla, tapi ia juga belum siap untuk mengakuinya—bahkan kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, Kayla merasa semakin bingung dengan perasaannya. Arav memang tetap dingin dan kaku, tetapi di balik sikapnya yang terkesan acuh, ada momen-momen kecil yang membuat hatinya berdebar lebih cepat. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi satu hal yang pasti, setiap kali bersama Arav, ia selalu merasa ada sesuatu yang berbeda.
###
Keesokan harinya.
Pagi itu, Kayla terbangun dengan perasaan masih bimbang setelah kejadian semalam. Di satu sisi, ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kata-kata Arav tentang dirinya sebagai calon menantu, namun di sisi lain, bayangan wajah Arav yang begitu dekat terus terngiang di benaknya. Ia yakin, semuanya hanya bentuk perhatian dari seorang atasan yang perfeksionis—tidak lebih.
Namun, keyakinan itu seketika goyah ketika ia menerima telepon dari Arav pagi ini. “Pak Arav?” suaranya sedikit tergagap saat menjawab panggilan itu.
“Kau masih di atas? Aku sudah menunggu di mobil,” suara Arav terdengar datar namun jelas ada nada kesabaran yang menipis.
Kayla tersentak panik. Ia tidak menyangka Arav benar-benar datang menjemputnya. Dalam pikirannya, tidak mungkin seorang CEO besar seperti Arav mau bersusah payah menjemput karyawannya sendiri. Tapi kenyataannya, Arav benar-benar sudah ada di bawah menunggunya.
“B-baik, Pak. Saya segera turun,” jawab Kayla terburu-buru. Ia memutus panggilan dengan jantung yang berdetak cepat. "Kenapa harus sekarang? Pagi-pagi sekali pula," gerutunya sambil buru-buru mengambil perlengkapan make-up seadanya. Ia bahkan tidak punya cukup waktu untuk menyisir rambutnya dengan sempurna.
Kayla merias wajahnya sekadarnya, hanya memoleskan bedak dan lipstik tipis sebelum bergegas keluar dari apartemennya. Saat ia tiba di lobi, ia melihat Arav sedang duduk di dalam mobil mewahnya dengan ekspresi yang sama sekali tidak sabar. Begitu melihat Kayla menghampiri, ia hanya melirik sekilas sebelum kembali memusatkan pandangannya ke depan.
Saat Kayla masuk ke mobil dan duduk, keheningan sejenak menyelimuti. Arav menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah sedang mengamati setiap detail penampilannya. Tanpa diduga, ia berkomentar dengan nada dingin, “Riasanmu terlalu pucat. Kau harus lebih memperhatikan penampilan saat bersama atasanmu.”
Kayla menunduk, merasa tersindir. “Maaf, Pak. Saya tadi terburu-buru,” jawabnya pelan. Ia tahu, tidak ada maksud jahat dari ucapan Arav, namun tetap saja komentar itu membuatnya sedikit gugup.
Arav mendengus ringan, seolah menahan diri dari mengatakan lebih banyak. “Jika terburu-buru, setidaknya pastikan kau tetap terlihat rapi. Kau mewakili Callahan Corp, ingat itu,” ujarnya dengan nada datar namun tajam. Meski kedengarannya seperti teguran, Kayla bisa merasakan bahwa di balik sikapnya yang dingin, Arav sebenarnya memperhatikan hal kecil seperti ini—sesuatu yang tak pernah ia bayangkan dari seorang CEO.
Setelah percakapan singkat itu, suasana di dalam mobil kembali hening. Arav tampak fokus mengemudi sementara Kayla hanya bisa duduk diam, menahan diri agar tidak terlihat terlalu gugup. Ia menyadari bahwa meski Arav tidak berbicara banyak, setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu memberi kesan mendalam, baik dalam bentuk teguran maupun perhatian.
Kayla memandangi jalanan yang mulai dipadati kendaraan, namun pikirannya masih terfokus pada pria di sebelahnya. Arav yang biasanya tampak tak terjangkau kini berada begitu dekat, bahkan memperhatikan detail-detail kecil seperti riasannya. Perasaan hangat bercampur dengan canggung memenuhi hatinya, membuatnya sulit memutuskan apakah ini perhatian seorang atasan, atau ada sesuatu yang lebih dalam dari itu.
---
Bersambung...
Ini enggak loh. Kayla tidak ada sangkut paut tanggung jawab apa pun pada CEO/Arav atau pun keluarga. Namun, dia tetap harus nikah dengan Arav.
Kira-kira alasannya apa ya? Yang gak baca novelnya, pasti gak bakal tahu alasannya.