Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Hal tak terduga saat Liliana melirik ke arah Riana, ia melihat dokumen yang tergenggam di tangan sang adik. Tulisan di bagian atasnya terbaca jelas, Surat Perjanjian Perceraian. Napasnya tercekat. Pandangannya segera beralih ke arah Septian.
Ia tahu betul, seberapa besar adik iparnya itu mencintai Riana, meski rasa cinta itu kini tertutup oleh ego dan kemarahan. Jika Riana menyerahkan dokumen itu sekarang juga, ia yakin Septian tidak akan pernah menyetujuinya dalam keadaan waras.
Liliana buru-buru mendorong kursinya ke belakang dan berdiri, mencoba menengahi.
“Tian, kamu lagi marah. Biar aku yang bicara sama Riana, ya?” ucapnya lembut, mencoba menenangkan suasana yang sudah hampir meledak.
Namun Riana sudah di ambang batas. Suaranya bergetar, tapi ia berbicara dengan nadanya tegas. “Apa yang mau Kakak bicarakan? Semua sudah jelas. Lebih baik kita selesaikan sekarang juga.”
Liliana menghela napas, memilih tidak menanggapi ucapan itu. Ia segera menghampiri Riana dan menggenggam tangannya, lalu menariknya masuk ke dalam kamar.
Begitu pintu tertutup, suasana mendadak senyap. Hanya terdengar detak jam di dinding dan napas Riana yang berat menahan emosi.
“Riana, kamu yakin dengan keputusanmu ini?” tanya Liliana pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.
Riana tidak langsung menjawab. Ia melangkah pelan mendekati ranjang kecil di sudut kamar, tempat putri kecil kakaknya sedang terlelap dengan damai. Pandangannya melembut, lalu ia berlutut di tepi ranjang itu dan membelai rambut keponakannya dengan penuh kasih.
“Dulu… saat aku masih kecil, Kakak adalah pelindung terbaikku,” ucapnya lirih. “Aku tahu Kakak juga menderita setelah Ayah dan Bunda pergi. Kita cuma punya satu sama lain. Aku percaya, waktu itu, kita akan saling menjaga sampai kapan pun.”
Liliana menunduk, ada sesuatu yang menekan dadanya saat mendengar penuturan adiknya yang tiba-tiba seperti ini, ada perasaan yang entah kenapa menjadi rasa bersalah dan penuh tanya, apa adiknya sudah menyadari semua perilakunya?
Namun sebelum Liliana sempat bicara, Riana melanjutkan, suaranya bergetar menahan tangis.
“Tapi aku salah, Kak. Kamu bukan lagi Kakak yang dulu aku kenal. Kamu berubah! Kamu membiarkan orang lain menyakitiku, bahkan Kakak sendiri adalah pelaku yang bermain dengan saat baik.”
Air mata Riana akhirnya jatuh, menetes di atas selimut anak kecil yang tertidur pulas itu. “Setiap malam aku berdoa supaya Kakak sadar… supaya keluargaku kembali seperti dulu. Tapi mungkin Tuhan ingin aku berhenti berharap. Mungkin ini cara-Nya menyelamatkanku.”
Liliana menatap adiknya itu dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata yang bisa keluar.
Riana berdiri, menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Kak… aku akan pergi. Bukan karena aku benci, tapi karena aku ingin tetap kita menjadi saudara. Di dunia ini hanya Kakak yang aku miliki, meskipun Kakak menjadi musuh dalam selimut."
“Riana, aku—”
“Kakak nggak perlu jelaskan. Aku sudah tahu semua, Kak,” sela Riana cepat, suaranya bergetar namun tegas. Ia sudah tidak ingin terus berpura-pura.
Liliana mendengus, wajahnya berubah kaku. “Jadi selama ini kamu cuma pura-pura nggak tahu? Sekarang kamu mau bikin aku kelihatan seperti penjahat?”
Riana tak menjawab. Tatapannya kosong tapi tajam.
Liliana tersenyum miring. “Riana, aku nggak nyangka kamu sejauh ini menyimpan semuanya. Kalau tahu begini, aku nggak akan susah-susah berpura-pura menutupi semua.”
Riana menatap lurus, napasnya pelan namun begitu dalam. “Jadi sekarang Kakak mengakuinya? Kalau Kakak menyukai suamiku?”
Liliana tidak menghindar. Ia justru menatap balik dengan senyum getir. “Kamu bukan orang bodoh, Riana. Selama ini kamu sudah lihat, kan? Sejujurnya, aku juga nggak mau kita bermusuhan. Tapi… selama ini kita bisa hidup rukun, kenapa kamu nggak bisa berbagi suamimu denganku?”
Riana menatapnya tak percaya, tubuhnya gemetar. “Berbagi suami…? Kakak dengar diri Kakak sendiri? Kakak gak merasa ini lucu?”
Liliana menarik napas panjang, suaranya berubah tenang namun dingin. “Kamu tahu sendiri, aku butuh seseorang untuk menghidupi Lira. Aku lelah hidup seperti ini, Riana. Lagipula, kamu sudah ditalak, dan kamu sendiri yang ingin bercerai, kan? Jadi… kenapa tidak?”
Riana terdiam, dadanya terasa sesak. Ia menatap kakaknya lama, seolah mencoba mencari sedikit rasa manusiawi di balik kata-kata itu, tapi yang ia temukan hanyalah dingin dan penuh ambisi.
“Kak… aku nggak tahu harus sedih atau jijik dengan apa yang Kakak katakan,” ucap Riana lirih, suaranya hampir tak terdengar lancar. “Selama ini aku bertahan karena aku pikir kita masih saling menganggap persaudaraan ini. Tapi ternyata, Kakak yang paling dulu menusuk aku.”
Liliana menunduk, tapi bukan karena menyesal, tapi lebih karena tak mau melihat mata adiknya yang penuh luka.
Riana memalingkan wajahnya, menatap lagi ke arah Lira, “Kakak tenang saja, semua yang kakak inginkan akan segera terwujud."
"Apa maksudmu?"
"Ambil saja suamiku, kak! Karena aku bukan wanita yang dicintainya, jadi aku tidak akan berebut untuk sesuatu yang tidak akan pernah jadi milikku." Air mata jatuh tanpa bisa Riana tahan lagi. Langkahnya gontai meninggalkan kamar, meninggalkan segalanya yang dulu ia sebut keluarga.
Liliana terdiam, hanya bisa menatap punggung Riana yang perlahan berjalan menuju pintu. Ada sesuatu yang ingin ia tahan, tapi egonya lebih kuat dari hatinya. Riana pergi meninggalkan sejuta pertanyaan di benak Liliana.
"Siapa yang dicintai Septian?"